Diminta Hati-Hati, MK Berpotensi Langgar Asas Nemo Judex Ideoneus in Propria Causa
Berita

Diminta Hati-Hati, MK Berpotensi Langgar Asas Nemo Judex Ideoneus in Propria Causa

Berkaitan dengan perkara masa jabatan hakim konstitusi. Publik perlu mempercayakan putusan perkara ini kepada MK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan MK menyambangi Dewan Etik Hakim Konstitusi. Mereka menyampaikan kekhawatirannya atas uji materi Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK terkait masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun atau seumur hidup. (Baca juga: CSSUI Luruskan Isu Jabatan Hakim MK Seumur Hidup).

Koalisi menilai para hakim konstitusi terindikasi melanggar kode etik ketika mengadili pengujian periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi per lima tahun selama dua periode dan masa jabatan pimpinan MK per tiga tahun. Sebab, permohonan ini syarat konflik kepentingan yang potensial melanggar asas nemo judex ideoneus in propria causa, seorang tidak dapat menjadi hakim untuk mengadili kepentingan dirinya sendiri.

“Permohonan ini syarat konflik kepentingan pribadi hakim konstitusi ya, karena yang diminta memperpanjang masa jabatan sampai usia pensiun (70 tahun), atau potensial bisa seumur hidup,” ujar salah satu perwakilan Koalisi dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO FH Unand) Feri Amsari usai beraudiensi dengan Ketua Dewan Etik dalam pertemuan tertutup di Gedung MK, Kamis (8/12). Koalisi ini terdiri dari PUSaKO, ICW, KoDe Inisiatif, Perludem, YLBHI.

Dalam pertemuan itu, Koalisi meminta Dewan Etik segera memanggil dan memeriksa para hakim konstitusi karena permohonan ini mengandung konflik kepentingan. Baginya, sedari awal seharusnya MK menyatakan tidak menerima permohonan ini dengan dalih bukan kewenangannya. Hal ini demi menjaga independensi dan marwah lembaga MK sendiri.

“Minimal mereka (para hakim konstitusi) diingatkan agar hati-hati memutuskan permohonan ini karena sangat syarat konflik kepentingan personal para hakim,” kata Dosen FH Unand ini mengingatkan. (Baca juga: MK Diminta ‘Mentahkan’ Uji Persamaan Jabatan Hakim MK dan Hakim Agung).

Dia tak menampik pengujian UU MK memang kerap dimohonkan pengujian. Namun, permohonan yang dimaksud umumnya menyangkut tugas dan kewenangan kelembagaan MK, seperti kewenangan larangan ultra petita. “Kalau permohonan ini kan jelas-jelas menyangkut personal hakim konstitusi untuk memperpanjang masa jabatannya. Jadi, ini mesti dianggap bermuatan conflict of interest,” tegasnya.

Seperti dituturkan Feri, Dewan Etik tersirat mengakui permohonan ini mengandung muatan konflik kepentingan para hakim konstitusi. Meski begitu, Dewan Etik belum menyimpulkan ada atau tidak pelanggaran etik berupa konflik kepentingan dalam permohonan ini. “Dewan Etik akan menelusuri lebih lanjut. Sebagai awal, sepertinya, Dewan Etik memanggil Panitera MK sore ini,” ungkapnya.

MK mendalami
Terpisah, Juru Bicara MK Fajar Laksono bisa memahami adanya polemik dalam perkara ini. Hanya saja, MK mengingatkan UU apapun termasuk UU MK boleh saja diuji konstitusionalitasnya sepanjang pemohonnya memiliki legal standing (kedudukan hukum) dan menjadi kewenangannya.       

Kalau MK tidak boleh menyidangkan perkara ini sejak awal, bagaimana hak konstitusional Pemohon yang merasa dirugikan akibat norma UU MK bisa dipulihkan?” kata Fajar mempertanyakan. “Bukankan salah satu fungsi MK memberi perlindungan hak konstitusional warga negara, kalau bukan MK kepada siapa lagi.”

MK kini tengah mendalami perkara ini karena ada indikasi terjadi konflik kepentingan terkait putusan masa jabatan hakim konstitusi, apakah hakim Konstitusi boleh mengadili perkara tersebut ditinjau dari sisi etik dan kemungkinan timbulnya kontroversi memutus perkara tersebut.

“Isu ini harus diakui memang sensitif karena memunculkan pendapat mengadili norma ini dapat bertentangan dengan asas umum bahwa hakim tidak boleh menyidangkan perkara yang terkait dirinya (nemo judex in causa sua) dan anggapan akan timbul conflict of interest,” kata dia.

Meski begitu, dia meminta publik mempercayakan sepenuhnya putusan perkara ini kepada MK. Sebab, para hakim konstitusi ini merupakan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Baginya, apapun putusannya nanti sekaligus menjawab polemik benturan asas nemo judex in causa sua yang berakibat conflict of interest dan kewenangan MK dalam menjalankan fungsi peradilan konstitusi.

“Serahkan sepenuhnya kepada para hakim konstitusi untuk menggunakan otoritasnya menjawab isu pokok perkara dimaksud. Terlepas apapun amar putusannya, publik dapat melihat dan menilai bagaimana posisi hakim konstitusi terhadap perkara ini,” katanya.

Sebelumnnya, pengurus  Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) mempersoalkan aturan periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi per lima tahun selama dua periode dan masa jabatan pimpinan MK per tiga tahun lewat uji materi Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK. Aturan ini dianggap diskriminatif karena kedudukan hakim di lembaga peradilan manapun seharusnya tidak mengenal periodeisasi masa jabatan.

Pemohon membandingkan dengan masa jabatan hakim agung dalam UU No. 3 Tahun 2009  tentang Mahkamah Agung (MA). Dalam UU MA, masa jabatan hakim agung atau pimpinan MA diberhentikan dengan hormat ketika memasuki usia pensiun 70 tahun tanpa periodeisasi lima tahunan.

Bagi Pemohon norma tersebut mengandung pembatasan masa jabatan hakim konstitusi yang bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dijamin Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Aturan ini setidaknya potensial membatasi MK dalam penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Karena itu, Pemohon berharap kedua pasal tersebut dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.

Aturan yang sama juga dimohonkan pengujian Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom bersama Hakim Tinggi Medan Lilik Mulyadi yang memohon pengujian Pasal 6B ayat (2); Pasal 7 huruf a angka 4 dan 6; Pasal 7 huruf b angka 1 sampai angka 4 UU MA jo Pasal 4 ayat (3); dan Pasal 22 UU MK terkait periodeisasi masa jabatan hakim MK dan pimpinan MK. Khusus Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK, Para Pemohon meminta ada persamaan masa jabatan hakim konstitusi dan pimpinan MK dengan masa jabatan hakim agung dan pimpinan MA. Kedua permohonan ini tinggal menunggu putusan.
Tags:

Berita Terkait