Surat Dakwaan Ahok Hanya 7 Halaman
Utama

Surat Dakwaan Ahok Hanya 7 Halaman

Sidang berlangsung hampir tiga jam.

Oleh:
CR21
Bacaan 2 Menit
Ahok duduk di kursi terdakwa PN Jakarta Utara dalam sidang perdana dugaan penistaan agama. Foto: Pool/Tatan/RES
Ahok duduk di kursi terdakwa PN Jakarta Utara dalam sidang perdana dugaan penistaan agama. Foto: Pool/Tatan/RES
Meskipun kasus dugaan penistaan agama begitu menghebohkan, dan Kejaksaan sampai menunjuk 13 orang jaksa untuk menanganinya, surat dakwaan penuntut umum ternyata hanya berisi 7 halaman.  Isi surat dakwaan pun hanya dibacakan ketua tim jaksa, Ali Mukartono. (Baca juga: 13 Jaksa Perkara Ahok Punya 11 Tugas).

Nama Ali Mukartono seorang pula yang tertera dalam surat dakwaan yang dibacakan dalam sidang perdana kasus Ahok itu di ruang sidang eks gedung PN Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada Jakarta. Berdasarkan catatan jurnalis hukumonline yang hadir di ruang sidang, majelis dipimpin H. Dwiarso Budi Santiarto membuka sidang pada pukul 08.52 WIB, dan menutupnya sekitar pukul 11.30 WIB. (Baca juga: Hakim Putuskan Larang Live Sidang Pembuktian Perkara Ahok).

Dalam surat dakwaan setebal 7 halaman itu penuntut umum menguraikan setengah halaman identitas terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Selanjutnya, penuntut umum menguraikan dakwaan dan peristiwa yang membuat Ahok duduk di kursi pesakitan. Penuntut umum menilai Ahok melanggar Pasal 156a huruf a KUHP, atau Pasal 156 KUHP.

Dakwaan alternatif itu dipakai karena penuntut umum menilai terdakwa telah mengeluarkan pernyataan di Tempat Pelelangan Ikan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016. Pernyataan itu pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Pernyataan Ahok mengenai surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu dinilai jaksa seolah-olah terdakwa mengatakan ayat dari Kitab Suci itu telah dipergunakan oleh orang lain untuk membohongi atau membodohi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Padahal, urai jaksa, ‘terdakwa sendiri yang mendudukkan atau menempatkan surat Al Maidah ayat 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi atau membodohi dalam proses pemilihan kepala daerah’. Berdasarkan pengalaman terdakwa saat mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur-wakil gubernur di Bangka Belitung, terdakwa mendapatkan selebaran yang isinya larangan memilih pemimpin non-muslim dengan mengacu pada surat al-Maidah tadi.

Dalam surat dakwaan, jaksa mengutip Pendapat dan dan Sikap Keagamaan Majelis Ulama Indonesia tertanggal 11 Oktober 2016.

Penuntut umum menguraikan Ahok diduga menempatkan surat Al Maidah ayat 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi dan membodohi dalam proses pemilihan kepala daerah. Ahok diduga menyalahkan kandungan Al Maidah ayat 51.  Padahal, penafsiran baik dalam pemahaman maupun penerapan Al Maidah ayat 51 adalah domain bagi pemeluk dan penganut agama Islam.

Dalam alternatif dakwaan pasal 156, Jaksa berpendapat Ahok harus diadili atas perbuatan di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia melalui perkataannya dalam hal ini pemeluk dan penganut agama Islam yang merupakan salah satu golongan rakyat Indonesia.

Dengan dakwaan alternatif ini, Ahok menghadapi ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun untuk pasal 156 a huruf a KUHP atau paling lama 4 tahun untuk pasal 156 KUHP.

Pasal 143 ayat (2) KUHAP menyebutkan penuntut umum membuat surat dakwaan yang berisi tanggal dan ditandatangani serta berisi beberapa hal. Pertama, nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. Kedua, uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Tags:

Berita Terkait