Tips Direksi dan Komisaris Hindari Korupsi dalam Aksi Korporasi
Berita

Tips Direksi dan Komisaris Hindari Korupsi dalam Aksi Korporasi

Salah satunya, keputusan yang diambil dalam pengambilan kebijakan korporasi tidak mengandung unsur fraud dan atau conflict of interest

Oleh:
CR22
Bacaan 2 Menit
Diskusi bertema
Diskusi bertema "Perlindungan Hukum Bagi Direksi dan Dewan Komisaris Terhadap Pidana Korporasi" di Jakarta, Kamis (15/12). Foto: CR22
Mahkamah Agung (MA) hingga kini masih menggodok Peraturan MA (Perma) Kejahatan Korporasi. Peraturan ini diharapkan mampu menjawab problematika dalam praktik penerapan korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana korupsi. Ketiadaan hukum acara dalam penanganan kejahatan korporasi selama ini merupakan salah satu alasan kenapa penanganan kejahatan korporasi terkesan lamban.  

Meski begitu, perlu ada awareness dari para pengurus korporasi seperti direksi maupun komisaris agar bisa terhindar dari kejahatan korupsi. Chief Legal Counsel  & Compliance PT Pertamina (Persero), Genades Panjaitan mengatakan, setidaknya terdapat tujuh tips bagi direksi maupun komisaris agar bisa terhindar dari kejahatan korupsi dalam setiap aksi korporasi. (Baca Juga: Ketua MA: Perma Kejahatan Korporasi Tinggal Finalisasi)

Pertama, Direksi maupun komisaris harus mampu memastikan keputusan yang diambil dalam pengambilan kebijakan korporasi tidak mengandung unsur fraud dan atau conflict of interest. Kedua, pengambilan keputusan tersebut harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.

Ketiga, setiap urusan korporasi yang diperuntukan demi kepentingan korporasi dan sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi, wajib dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Keempat, setiap direksi maupun komisaris wajib mematuhi setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kelima, pengambilan setiap keputusan mesti berdasarkan data dan informasi yang benar. Keenam, dalam menjalankan perusahaan, setiap direksi maupun komisaris harus berangkat dari tugas, tanggung jawab, dan kewenangannya masing-masing. “Ketujuh, khusus untuk BUMN, jika diperlukan, dapat meminta LO (Legal Opinion) dari Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan TUN),” katanya dalam diskusi yang digelar Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia (LKDI) di Jakarta, Kamis (15/12).

Dalam kesempatan yang sama, mantan pimpinan KPK Adnan Pandu Praja menambahkan terdapat sejumlah upaya bagi direksi maupun komisaris baik di BUMN maupun swasta agar bisa mengurangi risiko terlibat dalam tindak pidana korupsi. Pertama, menegakkan instrumen etik melalui pakta integritas. Cara ini diharapkan dapat menjadi pengingat bagi korporasi dalam setiap melaksanakan aksinya. Bahkan, langkah ini telah diterapkan korporasi swasta. (Baca Juga: KPK Tunggu PERMA untuk Jerat Pelaku Korupsi Korporasi)

Ia membandingkan dengan kondisi di Amerika, di mana setiap kali korporasi menjalankan proyek, selalu menandatangani pakta integritas. Sedangkan di Indonesia pakta integritas ditandatangani sekali secara seremonial. “Di Amerika sekalipun, (pakta integritas) dibuat lebih dari sekali, di Indonesia, (dibuat) sekali pada saat pelantikan” ujar Adnan.

Upaya kedua adalah Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Menurut Adnan, LHKPN menjadi sangat penting untuk mengetahui signifikasi kekayaan pejabat. Hal ini dapat diterapkan juga oleh korporasi swasta agar pengurusnya lebih berhati-hati. “Di swasta juga sebenarnya diterapkan (LHKPN) itu,” katanya.

Menurut Adnan, di luar negeri LHKPN merupakan pelengkap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. “Di seluruh dunia, tandemnya Undang-Undang Tipikor itu adalah LHKPN”, tambahnya.

Ketiga adalah gratifikasi. Adnan menjelaskan, terkait gratifikasi, KPK selalu menyesuaikan dengan toleransi gratifikasi yang diatur oleh setiap instansi. “Misalnya kalau kementerian mengatur (batasan gratifikasi) Rp1 juta boleh, maka kita tunduk ke situ,” katanya.

Sebagai perbandingan, lanjut Adnan, di Jerman, pejabat negara yang dibayarkan tiket pesawatnya, diperbolehkan. Keempat adalah kode etik. “Sangat penting karena itu adalah nilai-nilai yang ideal. Dalam perusahaan swasta, kode etik profesi sangat penting,” terang Adnan.

Kelimaadalah menerapkan wishtleblower system. Adnan mengilustrasikan bahwa keberhasilan KPK mengidentifikasi tindakan korupsi pejabat negara dikarenakan adanya mekanisme ini. Dalam sistem ini, perlu ada jaminan bagi orang yang menjadi pelapor. “Inilah yang membuat KPK sukses dalam OTT (operasi tangkap tangan),” katanya. (Baca Juga: Segera Terbit! Hukum Acara Penanganan Kejahatan Korporasi)

Keenam dan ketujuh adalah island of integrity dan good corporate governance (GCG). Menurut Adnan, hal ini bisa diaplikasikan dengan menyiapkan intrumen-instrumen penunjang tata kelola korporasi yang baik, dan yang terakhir, governance risk management compliance.
Tags:

Berita Terkait