Pakar: Perlu Kesepakatan Soal Kategori Tindak Pidana Korporasi
Berita

Pakar: Perlu Kesepakatan Soal Kategori Tindak Pidana Korporasi

Korporasi tidak bisa melakukan kejahatan yang sifatnya personal, sehingga apapun kejahatan personal yang terjadi di sekitar korporasi, dengan ataupun tanpa hubungannya dengan korporasi tidak bisa dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.

Oleh:
CR22
Bacaan 2 Menit
Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Mudzakir. Foto: RES
Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Mudzakir. Foto: RES
Dalam penerapan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi, penyidik sering kali menemukan kesulitan. Penyebab utamnya adalah ketiadaan hukum acara yang mengatur tata cara penanganan kejahatan korporasi. Selain itu, kesulitan penyidik dalam membuktikan modus korupsi korporasi dikarenakan setiap tindakan korporasi selalu dipayungi oleh kebijakan-kebijakan direksi yang tidak berdiri sendiri.

“Sebelum pada hukum acara itu harus disepakati terlebih dahulu, korporasi dapat melakukan tindak pidana apa saja, sebab selama ini seolah-olah korporasi dapat melakukan banyak hal terkait tindak pidana,” kata pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Mudzakir, melalui sambungan telepon kepada hukumonline, Sabtu (17/12).

Mudzakir mengatakan, pada prinsipnya, korporasi hanya mungkin melakukan tindak pidana fungsional yang mana lazim dikenal dengan kejahatan fungsional. Sehingga apapun kejahatan personal yang terjadi di sekitar korporasi, dengan ataupun tanpa hubungannya dengan korporasi tidak bisa dikategorikan sebagai kejahatan korporasi, melainkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pengurus korporasi. (Baca Juga: 6 Persoalan Korporasi Sebagai Subjek Tipikor Versi Kejaksaan)

“Kalau itu terjadi yang ada hubungannya dengan korporasi maka itu namanya penyalahgunaan wewenang pengurus korporasi. Apabila hal ini yang terjadi, maka pertanggungjawaban dalam proses hukum harus dilakukan oleh pengurus korporasi yang disinyalir telah melakukan penyalahgunaan wewenang,” ujar Muudzakir.

Terkait kejahatan Fungsional, Mudzakir menjelaskan bahwa hal ini biasanya berupa kejahatan yang disebabakan karena korporasi tidak menjalankan fungsi-fungsi tertentu sebagaimana yang diwajibkan atau diharuskan oleh peraturan perundang-undangan. Ia mencontohkan korporasi yang tidak membayar pajak.

“Karena pajak itu keharusan, sementara korporasi tidak membayar pajak maka korporasi tersebut bisa bertindak untuk dan atas nama korporasi. Maka manajemen yang seharusnya menjalankan itu bertindak dan atas nama korporasi dengan tidak membayar pajak,” terangnya. (Baca Juga: Ketua MA: Perma Kejahatan Korporasi Tinggal Finalisasi)

Dengan contoh kejahatan fungsional tersebut, Mudzakir memberikan batasan yang jelas antara kejahatan Korporasi yang sebenarnya dengan kejahatan personal yang kerap disalahartikan sebagai kejahatan Korporasi.

Selanjutnya, Mudzakir menjelaskan apabila dalam kejahatan personal yang terjadi ternyata memberikan keuntungan terhadap korporasi, maka korporasi itu bisa dikenakan hukuman dan dapat dijadikan subjek hukum sejauh yang terkait dengan kejahatan fungsional tadi.

“Misalnya, pengurus itu mengerti bahwa uang itu adalah hasil tindak pidana terus dimasukkan sebagai saham, berarti siapa yang menyalahgunakan? Kalau korporasi tidak mungkin, tapi penguruslah yang menyalahgunakan uang hasil tindak pidana untuk dicuci melalui korporasi,” katanya. (Baca Juga: Tips Direksi dan Komisaris Hindari Korupsi dalam Aksi Korporasi)

Jadi, lanjut Mudzakir, yang menjadi subjek utamanya adalah pengurus yang menyalahgunakan wewenang, kemudian bila korporasi mendapat keuntungan dari hasil pencucian uang itu maka korporasi dapat menjadi subjek hukum pidana karena memperoleh keutungan dari penyalahgunaan yang dilakukan oleh pengurus.

“Tapi sanksi pidana korporasi adalah sanksi pidana denda,” kata Mudzakir.

Selanjutnya, untuk Korporasi yang sejak awal pendiriannya terdapat saham hasil pencucian uang dari tindak pidana, menurut Mudzakir, Negara dapat mengambil alih saham yang merupakan hasil tindak pidana pencucian uang tersebut.

“Kalau hasil pencucian uang itu menguasai saham korporasi sampai 60 persen misalnya, maka korporasi dapat menjadi subjek hukum dalam perkara itu (pencucian uang) dan hakim dapat menjatuhkan hukuman terhadap korporasi tadi terutama saham yang 60 persen tadi disita oleh Negara yang bisa dalam bentuk korporsai itu di take over oleh Negara, kemudian pengururs, dan manajemen korporasi (pun) di take over oleh Negara,” jelas Mudzakir.

Lantas bagaimana penerapannya? Menurut Mudzakir, semua tindak pidana korporasi, penyelesaiannya diwakili oleh pengurus. Sementara apabila pengurus korporasi tersebut terlibat dalam tindak pidana pencucian uang, maka dia bertanggung jawab terhadap tindakannya tersebut.

“Sama juga, jadi pengurus itu bertanggung jawab secara pribadi karena dia menyalahgunakan kekuasaan sebagai pengurus di satu sisi, kemudian di sisi yang lain pengurus juga bertindak mewakili kepentingan korporasi, kecuali dalam kasus itu segera dilakukan RUPS untuk menggantikan pengurus, itu adalah teknis hukum keperdataannya boleh saja, tapi prinsipnya pengurus pada saat itu bisa mewakili kepentingan korporasi,” pungkas Mudzakir.

Sebelumnya, diberitakan bahwa salah satu problematika penerapan korporasi sebagai subjek Tipikor adalah kesulitan penyidik menentukan siapa pihak yang berhak mewakili korporasi dalam proses hukumnya. Sementara dalam pelaksanaannya, pengacara yang kerap dijadikan wakil pengurus memilih mundur sebelum putusan keluar.

Tags:

Berita Terkait