3 Poin Kaleidoskop Hukum Indonesia Sepanjang 2016
Berita

3 Poin Kaleidoskop Hukum Indonesia Sepanjang 2016

Ketiga poin itu adalah profesionalitas, penegakan hukum dan legislasi kebijakan pidana.

Oleh:
M25
Bacaan 2 Menit
Diskusi ‘Kaleidoskop Penegakan Hukum Indonesia 2016: Menuju ke Arah Penegakan Hukum yang Ideal’. Foto: M25
Diskusi ‘Kaleidoskop Penegakan Hukum Indonesia 2016: Menuju ke Arah Penegakan Hukum yang Ideal’. Foto: M25
Menuju penutup tahun, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menerbitkan kaleidoskop hukum di Indonesia sepanjang tahun 2016. Ketiga poin itu antara lain profesionalitas, penegakan hukum dan legislasi kebijakan pidana.

Kepala Divisi Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI FHUI Anugerah Rizki Akbari mengatakan, legislasi dan kebijakn pidana di tahun 2016 sangat represif. Hal itu diikuti dengan masifnya penggunaan hukum pidana untuk menyelesaikan berbagai masalah di Indonesia. (Baca Juga: Laporkan Narasumber Acara Televisi, Polisi Dinilai Berlebihan)

"Di awal tahun, peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar dijadikan tersangka kasus pencemaran nama baik institusi Polri atas komentarnya di salah satu program televisi nasional karena menyebut Polri sebagai mesin kriminalisasi," katanya dalam diskusi bertema ‘Kaleidoskop Penegakan Hukum Indonesia 2016: Menuju ke Arah Penegakan Hukum yang Ideal’ di Jakarta, Rabu (21/12).

Anugerah melanjutkan, Selain itu, pada Agustus 2016, Koordinator KontraS Hariz Azhar bernasib serupa. Saat itu, Hariz dilaporkan oleh Polri, TNI dan BNN lantaran menyebarluaskan informasi yang diberikan terpidana mati Freddy Budiman terkait keterlibatan oknum di ketiga institusi tersebut dalam transaksi narkotika.

"Meski Haris dihentikan penyelidikannya, dua kasus di atas menunjukkan minimnya kontrol yang diberikan perundang-undangan atas kewenangan Polri untuk menetapkan tersangka," katanya. (Baca Juga: Ratusan Advokat Tiga Kubu PERADI ‘Bersatu’ Bela Haris Azhar)

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Divisi Monitoring MaPPI, Muhammad Rizaldi, menganggap kasus korupsi yang dilakukan pegawai-pegawai pengadilan dikarenakan masih adanya mafia pengadilan. Ia melanjutkan, untuk mengatasi ini diperlukan sistem pengawasan baik secara eksternal maupun internal.

Meski pengawasan ini sudah ada, Rizaldi menilai, peran pengawas baik secara eksternal maupun internal tidak berjalan lancar. “Pengawasan baik eksternal dan internal sudah ada (MA dan KY). Tapi ini jadi poin tersendiri, karena dua elemen ini bekerja tidak sinkron,” tambahnya.

Begitu juga soal kedisiplinan hakim, meskipun ada tim penghubung, namun lembaga tersebut masih berjalan secara paralel. Hal ini ditunjukan oleh kasus permainan perkara yang 50 persen diantaranya tidak ditindaklanjuti oleh penegak hukum. “Ini bukan soal etik saja, tapi juga persoalan hukum,” ucapnya.

Selain itu, Kepala Divisi Portal Data Peradilan, Cendy Adam mengatakan, banyak kebijakan yang dilahirkan pemerintah tapi tidak didasarkan pada fakta dan data yang valid. Mulai dari anggaran hingga jangka waktu penanganan perkara di Kejaksaan yang selama ini dianggap selalu kurang. (Baca Juga: Mau Tahu Biaya Penanganan Perkara Korupsi? Simak Angka dan Masalahnya)

“Di pusat (Jakarta), sampai saat ini kesulitan berapa anggaran yang dibutuhkan untuk satu perkara. Berapa uang transport untuk saksi yang diperlukan, berapa lama jangka waktu penanganan perkara. Karena tidak memiliki basis data per penanganan perkara, akhirnya anggaran disusun tidak berdasarkan fakta. Akhirnya anggaran Kejaksaan masih kurang,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait