Hakim Agung: Korupsi Tidak Akan Berkurang Hanya Dengan Penegakan Hukum
Berita

Hakim Agung: Korupsi Tidak Akan Berkurang Hanya Dengan Penegakan Hukum

Pemberantasan korupsi baru seperti pemadam kebakaran, perlu pendekatan budaya hukum kasus korupsi seolah tidak pernah berhenti dalam berbagai pemberitaan oleh media massa.

Oleh:
CR-21
Bacaan 2 Menit
Hakim Agung Surya Jaya (paling kiri) dan Rasamala Aritonang (kedua dari kiri). Foto: CR-21
Hakim Agung Surya Jaya (paling kiri) dan Rasamala Aritonang (kedua dari kiri). Foto: CR-21
Sejumlah pejabat negara terjerat berbagai tindak pidana korupsi bahkan disergap langsung dalam operasi tangkap tangan oleh KPK. Bahkan tidak sedikit penegak hukum mulai dari advokat, jaksa, hingga hakim yang ikut terseret pusaran kasus korupsi akibat praktik mafia hukum.

Data yang diperoleh dari KPK mencatat misalnya, advokat senior OC Kaligis terjerat kasus pemberian uang kepada hakim PTUN Medan. Kasus lain, jaksa penuntut umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Deviyanti Rochaeni menjadi terdakwa kasus penerimaan suap terkait penanganan perkara korupsi penyalahgunaan anggaran dalam pengelolaan dana jaminan kesehatan nasional.

Bahkan Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang sekaligus hakim tindak pidana korupsi Janner Purba terjerat kasus penerimaan suap untuk mempengaruhi putusan terkait kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah Bengkulu. (Baca Juga: Dua Hakim Tipikor Bengkulu Diduga Terima Suap untuk Putusan Bebas)

Berdasarkan Corruption Perceptions Index 2015 oleh Transparancy International, Indonesia berada di peringkat ke-88 dari 168 Negara dalam hal bebas korupsi di sektor publik. Sementara berdasarkan Rule of Law Index 2015 Indonesia menempati peringkat 52 dari 102 Negara yang diukur aspek penegakan hukumnya termasuk bebas dari korupsi di lembaga pemerintahan.

Menanggapi kondisi tersebut, Hakim Agung Surya Jaya mengungkapkan pendapatnya. “Memberantas korupsi di Indonesia tidak cukup dengan penegakan tindakan represif saja, nggak cukup,” tegasnya.

Dalam seminar bertajuk 'Refleksi Akhir Tahun Pemberantasan Pungli dan Mafia Hukum Indonesia' yang diadakan Ikatan Alumni FH Universitas Hasanudin akhir pekan lalu itu, Surya mengungkapkan bahwa perlu ada pendekatan lain yang dijalankan bersamaan dengan penegakan hukum sebagai langkah represif untuk memberantas korupsi.

Profesor Hukum Pidana di Universitas Hasanudin yang menulis disertasi tentang Strategi Pemberantasan Korupsi ini menyebutkan bahwa penegakan hukum hanya salah satu cara yang digunakan, namun tidak akan pernah bisa mengurangi tingkat korupsi jika sebatas itu saja.

“Kalau hanya menggunakan pendekatan-pendekatan hukum saja, pasti nggak bisa,” lanjutnya. (Baca Juga: 4 Perspektif Unsur Melawan Hukum dalam UU Tipikor)

Surya mengambil contoh Jepang dan Korea Selatan dimana korupsi ditangani tidak dengan mengandalkan peraturan perundang-undangan melainkan dengan strategi kebudayaan. Yaitu dengan menggunakan kebudayaan sebagai instrumen untuk memberantas korupsi. Menurutnya, pendekatan inilah yang belum dilakukan di Indonesia.

Ia menyebutkan di Jepang hanya ada 3 pasal dalam hukum pidananya yang mengatur mengenai korupsi. Bahkan Jepang menempatkan korupsi sebagai tindak pidana biasa, berbeda dengan Indonesia yang mengategorikan korupsi sebagai extraordinary crime. Menurutnya, ada pandangan bahwa korupsi sudah menjadi budaya, oleh karena itu sudah seharusnya melawan budaya juga dengan budaya.

Indonesia sebenarnya memiliki budaya ‘malu’ di berbagai wilayah, misalnya budaya siri di Sulawesi. Siri adalah suatu konsep budaya mengenai nilai-nilai luhur sebagai harga diri yang dijunjung tinggi, termasuk kejujuran.

Saat ini masyarakat, menurutnya, telah dibiarkan semakin permisif sehingga menganggap korupsi sebagai hal yang biasa. Perlu ada sistem yang diprogramkan secara masif dan serius untuk menghidupkan budaya anti-korupsi yang berlandaskan budaya khas Indonesia.

“Berapapun berat hukumannya, polisi hanya disuruh menangkap, jaksa disuruh menuntut, kemudian dihukum berat, nggak cukup, pendekatan kita harus gunakan culture. Penegakan hukum tetap jalan,” jelasnya.

Surya melihat pemberantasan korupsi saat ini hanya seperti pemadam kebakaran, spontan melakukan pemadaman dimana-mana tapi tidak menyelesaikan akar masalah untuk mencegah kebakaran terjadi. Hal lain yang disorot adalah sistem penegakan hukum yang belum terintegrasi antara penyidik dan penuntut umum. Sejak proses pendidikan para calon aparat penegak hukum telah terbiasa berjalan terpisah. Sehingga saat bertugas menangani kasus korupsi pun masing-masing sibuk berjalan sendiri.

Di tempat yang sama, Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, Rasamala Aritonang, mengungkapkan total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2016 adalah, penyelidikan 833 perkara, penyidikan 549 perkara, penuntutan 459 perkara, inkracht 387 perkara, dan eksekusi 400 perkara. (Baca Juga: Penting! Begini Caranya Maknai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor)

Dari Januari hingga 31 Oktober 2016, KPK telah melakukan penanganan tindak pidana korupsi sebanyak81 perkara penyelidikan, 81 perkara penyidikan, 70 perkara penuntutan, inkracht 58 perkara, dan eksekusi 67 perkara. Adapun tindak pidana Korupsi berdasarkan profesi/jabatan, hingga 31 Oktober 2016, di tahun 2016 ini KPK menangkap pelaku korupsi yang terdiri dari kalangan swasta sebanyak 22 orang, Anggota DPR/DPRD sebanyak 23 orang, Pejabat Pemerintah Eselon I, II, III sebanyak 12 orang, dan lain-lain 23 orang.
Tags:

Berita Terkait