2 Sisi Antisipasi Risiko Hukum UU ITE Baru
Seribu Wajah UU ITE Baru:

2 Sisi Antisipasi Risiko Hukum UU ITE Baru

Peran pemerintah untuk mensosialisasikan UU ITE menjadi penting agar masyarakat memahami risiko hukum dari UU ITE.

Oleh:
FITRI NOVIA HERIANI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi risiko hukum UU ITE. BAS
Ilustrasi risiko hukum UU ITE. BAS
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah berlaku sejak Oktober lalu. Sejak saat itu, pro dan kontra mulai bermunculan karena beberapa pasal di dalam UU ITE berpotensi menjerat masyarakat yang aktif di media sosial ataupun menilai kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Komikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terlalu besar dalam UU ITE.

Dengan pasal-pasal baru yang ada di UU ITE, ada risiko hukum yang juga harus dipahami oleh masyarakat dan lembaga penegak hukum. Untuk itu, perlu adanya antisipasi risiko hukum dari UU ITE yang baru.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Sinta Dewi, mengatakan bahwa apapun kandungan dari UU ITE, semua pihak harus menghargainya sebagai produk hukum dari DPR dan pemerintah. Sinta berpendapat pembaharuan UU ITE dilakukan karena pemerintah melihat bahwa ujaran-ujaran masyarakat yang dilakukan melalui media sosial sudah pada tahap mengkhawatirkan. (Baca Juga: Siapa Saja Bisa Diadukan: Mereka yang Terjerat UU ITE)

“Itu bisa dipahami karena di sini pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan, tapi di sisi lain banyak juga yang merasa khawatir karena bisa menjerat berbagai macam unsur masyarakat walaupun sebetulnya hukumannya sudah diturunkan,” kata Sinta kepada hukumonline, Jumat (23/12).

Sinta memberikan dua catatan dalam mengantisipasi risiko hukum dalam UU ITE. Dua catatan tersebut dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu sisi kepolisian selaku penegak hukum dan sisi masyarakat selaku pengguna media sosial. Pertama, dari sisi penegak hukum atau kepolisian. Sinta mengatakan bahwa kepolisian harus berhati-hati menggunakan pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE.

Dalam penegakan hukum melalui UU ITE, Sinta mengingatkan bahwa kepolisian harus benar-benar melihat unsur-unsur pelanggaran dengan teliti. Ia mencontohkan pasal pencemaran nama baik. Agar tidak terjadi kesalahan penegakan hukum, maka unsur-unsur pencemaran nama baik harus dipenuhi, yakni berita yang disiarkan adalah tidak benar dan adanya unsur ingin menghina atau menistakan orang lain. (Baca Juga: UU ITE Baru dan Risiko Hukum Bagi Pengguna Media Sosial)

“Jadi ada maksud dan niat, memang harus dipilah hati-hati karena di sisi lain nanti orang mau mengkritik kebijakan kena pencemaran nama baik karena di Negara lain pencemaran nama baik itu antara pribadi, bukan antara pejabat Negara atau pejabat publik dengan masyarakat,” jelasnya.

Misalnya, cyberbullying. Dalam pasal ini, Sinta menilai pihak kepolisian tidak boleh mengambil pengertian secara luas. Kepolisian, lanjutnya, harus cermat melihat cyberbullying, apakah masuk ke dalam opini atau atau hanya sekadar mengeluarkan pendapat.

Apalagi, kata Sinta, dalam UU ITE pasal cyberbullying dikembalikan ke KUHP, sementara defensif atau hal yang membebaskan dalam KUHP hanya mencakup demi kepentingan umum dan untuk membela diri. Padahal, lanjutnya, kepolisian juga harus melakukan pengecekan apakah berita tersebut benar atau tidak. Jika informasi dari berita tersebut benar maka tidak dapat dikategorikan ke dalam pencemaran nama baik. (Baca Juga: Dilema Cyberbullying dan Euforia Media Sosial)

“Kalau di Negara lain, misalkan informasi itu benar dan dapat dibuktikan maka orang bisa lepas, jadi kurang satu unsurnya,” tambah Sinta.

Kedua, dari sisi masyarakat. Diakui bahwa tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih rendah. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat tidak bisa menyikapi fenomena media sosial sesuai dengan etika menyampaikan pendapat di media sosial. Pada tahap saat ini, masyarakat yang menggunakan media sosial bisa mengeluarkan pendapat sesuka hati. Padahal, hal tersebut tidak dibenarkan jika merujuk kepada etika menyampaikan pendapat di media sosial.

Dengan hadirnya UU ITE, Sinta mengingatkan masyarakat harus lebih hati-hati dalam berpendapat di media sosial. Kebebasan berpendapat memang menjadi bagian dari hak asasi manusia, namun kebebasan harus disertai dengan tanggungjawab. (Baca Juga: Harapan Pelaku E-commerce Indonesia Pasca UU ITE Baru)

Kemudian, pemerintah bersamaan dengan stakeholder lain harus melakukan sosialisasi UU ITE disertai edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai etika berpendapat di media sosial. Jika memungkinkan, etika berpendapat di media sosial harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar hingga menegah atas.

“Kalau ada kurikulum lebih baik sebenarnya, jadi anak-anak juga belajar untuk bisa mengeluarkan pendapat secara baik karena pada dasarnya manusia memiliki hak untuk kebebasan, mengeluarkan pendapat, tapi kebebasan itu harus bertanggungjawab,” ungkapnya.

Pengamat hukum telematika, Mika Isac Kriyasa, berpendapat bahwa UU ITE terbaru belum memiliki banyak perubahan jika dibandingkan dengan UU ITE sebelumnya. Beberapa pasal dinilai masih belum jelas, misalnya mengenai interception (intersepsi). Namun, pengurangan ancaman pidana di dalam pencemaran nama baik dalam UU ITE adalah salah satu hal yang positif.

“Kalau belum jelas itu interception, secara teknikal jelas, secara pengaturan masih terlalu luas, intersepsi dan rekaman itu seolah-olah sama padahal itu beda,” kata Mika.

Beberapa pasal, lanjut Mika, dijelaskan dalam KUHP. Tetapi seharusnya UU ITE jauh lebih maju dari KUHP, misalnya dalam KUHP pencemaran nama baik tidak berlaku bagi koorporasi, seharusnya UU ITE bisa menegakomodir hal tersebut mengingat implikasinya terhadap suatu perusahaan.

Mika mengakui bahwa masih banyak pasal-pasal yang ‘bolong’ di dalam UU ITE. Untuk itu, masyarakat selaku pengguna media sosial harus berhati-hati dalam mengungkapkan informasi di dalam media sosial, ini adalah salah satu antisipasi terhadap risiko hukum yang mungkin terjadi dalam UU ITE.

Selanjutnya, implikasi dari UU ITE belum sepenuhnya diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Sehingga peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi menjadi peran utama untuk menyadarkan masyarakat.

Sementara dari sisi penegak hukum, Mika menilai perlu kewenangan yang kuat dan jelas kepada penegak hukum. Misalnya dari pasal intersepsi, penegak hukum harus jelas menerapkannya untuk dijadikan alat bukti sesuai dengan yang diterapkan oleh penegak hukum selama ini. Penjelasan mengenai kewenangan polisi melakukan intersepsi bisa diatur dalam aturan turunan UU ITE, yakni PP.

“Saya rasa cukup dalam PP, pada tingkat PP cukup, peraturan semakin kecil semakin sulit diakses, maka saya rasa cukup dari tingkat PP saja. Biar orang-orang punya akses untuk mengetahui PP tersebut,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait