9 Catatan Kemendagri Cegah Kebocoran Keuangan Daerah
Berita

9 Catatan Kemendagri Cegah Kebocoran Keuangan Daerah

Kemendagri juga mengusulkan agar perencanaan anggaran antara pemerintah daerah dan DPRD dilakukan secara terbuka dengan menerapkan sistem anggaran elektronik.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Mendagri Tjahjo Kumolo. Foto: RES
Mendagri Tjahjo Kumolo. Foto: RES
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan ada sembilan cara dalam mencegah kebocoran keuangan daerah. Sebagaimana dilansir dari laman resmi kemendagri.go.id, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, Kemendagri juga mengusulkan agar pemerintah daerah dan DPRD melakukan perencanaan anggaran secara transparan atau terbuka dengan menerapkan sistem anggaran elektronik (e-budgeting) dan fokus pada skala prioritas program.

Upaya pertama, lanjut Tjahjo, adalah menerapkan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Kedua, yakni melakukan sistem pengendalian internal dengan memetakan risiko, membangun sistem pengendalian keuangan dan melakukan pengawasan internal.

Ketiga, melakukan pengawasan manajemen keuangan, yang dimulai dari pengkajian atau review dokumen perencanaan dan review dokumen anggaran pada saat sebelum menetapkan APBD, agar semua peruntukan keuangan telah tepat sasaran dan kebutuhan publik. (Baca Juga: Begini Instruksi Mendagri Soal Pengawasan Pungli)

Empat, inspektorat Kemendagri dan inspektorat daerah melakukan pengawasan dengan fokus area yang berisiko rawan korupsi yaitu area perizinan, hibah bansos, pajak restribusi, pengadaan barang dan jasa serta perencanaan anggaran. Kelima, memperkuat pengendalian atas kinerja inspektorat daerah untuk pengawasan akuntabilitas keuangan.

Keenam, melakukan pengendalian atas kinerja satgas sapu bersih pungutan liar di daerah. Ketujuh, melakukan pengendalian khusus atas rencana aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang antara lain terkait transparansi pengelolaan keuangan untuk diakses publik.

Delapan, daerah harus melakukan probity audit (penilaian independen) atas pengadaan barang dan jasa yang berpotensi penyelewengan, penggunaan anggaran dan sumber daya yang besar. Sembilan, daerah harus membuat unit pengaduan masyarakat.

Sebagai catatan, berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) beberapa waktu lalu, dari Agustus 2015 hingga Juni 2016, sekitar 300 pegawai negeri sipil (PNS) terlibat kasus dugaan tindak pidana korupsi di lima kota besar. (Baca Juga: Wajah Rasuah di Lima Kota, PNS Juaranya)

Kini, kasusnya tengah bergulir dan disidangkan pada Pengadilan Tipikor yang tersebar di Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan dan Bandung. Dalam pemantauan LeIP dan Elsam yang dibantu sejumlah mitra di lima daerah tersebut tercatat bahwa pelaku korupsi didominasi oleh PNS.

Di Makassar misalnya, dari total 78 terdakwa, tercatat ada 51 terdakwa yang berlatarbelakang PNS. Seluruh perkaranya, ditangani oleh Kejaksaan dengan rata-rata kerugian berkisar antara Rp100 juta hingga Rp500 juta. Sementara, untuk wilayah terbanyaknya sendiri berada di Kota Pare-Pare yakni sebanyak 10 perkara.

Bergeser ke kota Medan, tercatat ada 104 PNS yang menjadi terdakwa dengan potensi kerugian negara rata-rata mencapai Rp100 juga hingga Rp500 juta. Di kota Surabaya, tercatat 65 PNS berpotensi merugikan keuangan negara yang beragam, yakni berkisar dari Rp100 juta, Rp200 juta hingga di atas Rp5 miliar. (Baca Juga: Begini Isi Inpres Pengendalian Transfer ke Daerah dan Dana Desa)

Sementara di Jakarta, setidaknya tercatat 52 PNS dari total 135 terdakwa yang menjadi pasien KPK dan Kejaksaan. Rata-rata kerugian negaranya di atas Rp1 miliar. Pada kota terakhir, yakni Bandung juga menunjukkan hal yang sama, yakni tercatat 42 PNS dari total 129 terdakwa terlibat korupsi yang merugikan keuangan negara rata-rata di atas Rp1 miliar.
Tags:

Berita Terkait