Perlu Diperhatikan! Tanggung Jawab Nakhoda Kapal Jika Terjadi Kebakaran
Utama

Perlu Diperhatikan! Tanggung Jawab Nakhoda Kapal Jika Terjadi Kebakaran

Nakhoda bertanggung jawab atas setiap kecelakaan kapal kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Termasuk tanggung jawab perdata.

Oleh:
MYS/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kapal berlayar di laut. Nakhoda ikut bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan. Foto ilustrasi: MYS
Ilustrasi kapal berlayar di laut. Nakhoda ikut bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan. Foto ilustrasi: MYS
Penyidik Direktorat Polisi Perairan (Ditpolair) Polda Metro Jaya telah menetapkan M. Nali, nakhoda Kapal Motor Zahro Express sebagai tersangka. Kapal Motor ini mengalami kecelakaan pada Minggu 1 Januari lalu saat berlayar dari Muara Angka menunju Pulau Tidung Jakarta. Insiden ini bukan saja menyebabkan kapal terbakar, tetapi juga menewaskan 23 orang penumpang dan puluhan lainnya terluka.

Direktur Ditpolair Polda Metro Jaya, Komisaris Besar (Pol) Hero Hendrianto menjelaskan Nali ditahan dan akan dijerat Pasal 117 juncto Pasal 303 juncto Pasal 122 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) dan/atau Pasal 263 (menggunakan dokumen palsu), dan/atau Pasal 188, dan/atau Pasal 359, 360 dan/atau 416 KUH Pidana. “Tersangka ditahan di Rumah Tahanan Ditpolair Polda Metro Jaya,” tegas Hendrianto, sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (03/1).

Bagaimana sebenarnya tanggung jawab hukum seorang nakhoda menurut peraturan perundang-undangan jika terjadi kecelakaan? Ada banyak pasal dalam UU Pelayaran yang mengaturnya. Yang pasti menurut Pasal 249 UU Pelayaran, kecelakaan kapal merupakan tanggung jawab nakhoda. Nakhoda bisa lolos dari tanggung jawab itu hanya jika bisa dibuktikan sebaliknya. (Baca juga: Kapal Tabrak Dermaga, Pemilik Dihukum Bayar Ganti Rugi).

Kecelakaan kapal yang menjadi tanggung jawab nakhoda, menurut Pasal 245 UU Pelayaran, dapat berupa kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan, atau kapal kandas. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang, seorang nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya, katakanlah nakhoda Zahro Express, wajib mengambil tindakan penanggulangan, meminta dan/atau memberikan pertolongan, dan menyebarluaskan berita mengenai kecelakaan itu kepada pihak lain. Setidaknya, nakhoda wajib melapor kepada syahbandar pelabuhan terdekat.

Pencegahan itu bisa dilakukan nakhoda, misalnya, jika sejak awal melihat ketidakberesan pada muatan atau dokumen kapal. Pasal 138 ayat (2) UU Pelayaran memberikan hak tolak berlayar kepada nakhoda jika ia mengetahui atau patut mengetahui kapal tidak memenuhi syarat kelaiklautan. Ia bahkan wajib melakukan pemeriksaan atas kelaiklautan kapal dan melaporkannya ke syahbandar. Pasal 128 ayat (1) juga memuat kewajiban nakhoda untuk memberitahukan kepada Pejabat Pemeriksa Keselamatan jika mengetahui kondisi kapal tidak laik jalan.

Taggung jawab nakhoda juga diatur dalam Pasal 137 ayat (1) UU Pelayaran. Di sini disebutkan ‘nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (gross tonnage) atau lebih memiliki wewenang penegakan hukum serta bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan, dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan’.

Namun Pasal 137 ayat (3) UU Pelayaran membebaskan nakhoda dari tanggung jawab atas keabsahan/kebenaran materiil dokumen muatan kapal. Ia juga seharusnya wajib menolak dan wajib memberitahukan kepada instansi yang berwenang jika mengetahui muatan yang diangkut tidak sesuai dengan dokumen muatan. (Baca juga: Mahkamah Pelayaran: Mualim Norgas Bersalah).

Jika nakhoda tetap menjalankan kapal berlayar padahal ia mengetahui jumlah penumpang riil tidak sesuai jumlah yang tertera dalam manifes kapal, maka ia akan bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan. Seperti yang kini menimpa kapal Zahro Express, aparat penegak hukum sedang melakukan penyidikan.

Akankah M. Nali seorang yang dimintai tanggung jawab di Mahkamah Pelayaran kelak? Atau, pemilik kapal juga akan dimintai tanggung jawab? Polisi sudah memulai prosesnya. (Baca juga: Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan atas Barang Kiriman Jika Kapal Tenggelam).

Sebagai salah satu rujukan, dalam putusan Mahkamah Agung (Putusan No. 140 PK/Pdt/2005) seorang nakhoda kapal juga dapat dimintai tanggung jawab perdata jika terjadi tabrakan kapal di dermaga akibat kelalaian si nakhoda.
Tags:

Berita Terkait