Begini Isi PP Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Berita

Begini Isi PP Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Badan hukum yang melaksanakan pembangunan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah harus menyusun proposal ke bupati/walikota melalui pelayanan terpadu satu pintu.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi perumahan: HLM
Foto ilustrasi perumahan: HLM
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah. PP ini bertujuan sebagai percepatan penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sesuai Pasal 13 huruf g, Pasal 14 huruf i, Pasal 15 huruf n dan Pasal 54 ayat (1) uu Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Sebagaimana dilansir dari laman resmi setkab.go.id, di PP disebutkan, yang dimaksud MBR adalah masyarakatyang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah.Luas lahan pembangunan perumahan MBR ini tidak lebih dari 5 hektare dan paling sedikit 0,5 hektare serta berada dalam satu lokasi yang diperuntukan bagi pembangunan rumah tapak.

Adapun lokasi pembangunan Perumahan MBR sebagaimana dimaksud telah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. “Pembangunan Perumahan MBR sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Menteri,” demikian bunyi Pasal 3 PP ini. (Baca Juga: Telah Terbit PP Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman)

Guna membangun perumahan MBR itu, menurut PP ini, badan hukum yang akan melaksanakannya harus menyusun proposal kepada bupati/walikota melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Proposal tersebut wajib memuat sejumlah ketentuan dan syarat.

Antara lain,perencanaan dan perancangan rumah MBR,perencanaan dan perancangan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan MBR,perolehan tanah dan pemenuhan perizinan. Proposal juga dilengkapi lampiran yang memuat sertifikat tanah atau bukti kepemilikan tanah lainnya danbukti pembayaran pajak bumi dan bangunan tahun terakhir.

“Dalam rangka pelaksanaan PTSP, bupati/walikota wajib mendelegasikan wewenang pemberian peizinan dan nonperizinan terkait dengan pembangunan Perumahan MBR kepada PTSP kabupaten/kota,” bunyi Pasal 8 PP ini.

Ditegaskan dalam PP ini, dalam hal badan hukum tidak menyediakan lahan pemakaman di lokasi perumahan MBR, maka ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh badan hukum tersebut.

Antara lain,menyediakan lokasi pemakaman yang terpisah dari lokasi perumahan MBR seluas 2 persen dari luas lahan perumahan yang direncanakan. Atau,menyediakan dana untuk lahan pemakaman pada lokasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sebesar 2 persen dari nilai perolehan lahan perumahan MBR yang direncanakan. (Baca Juga: 4 Hal ini Hambat Implementasi Hunian Berimbang untuk Masyarakat Kecil)

Untuk pelaksanaan konstruksi perumahan MBR berupa rumah,prasarana, sarana, dan utilitas umum yang berbentuk bangunan gedung, menurut PP ini, dilaksanakan berdasarkan dokumen rencana teknis yang telah disetujui dan disahkan oleh PTSP. Kemudian, Pemerintah Daerah melakukan pengawasan atas konstruksi-konstruksi tersebut sesuai peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi bangunan gedung.

Dalam rangka pemanfaatan rumah MBR, prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan yang berbentuk bangunan gedung, menurut PP ini, badan hukum mengajukan penerbitan sertifikat laik fungsi untuk seluruh atau sebagian rumah MBR, prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan sesuai dengan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung kepada PTSP.

“Sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud berlaku selama 20 (dua puluh) tahun untuk rumah tinggal tunggal dan rumah tinggal deret, serta berlaku 5 (lima) tahun untuk bangunan gedung lainnya,” bunyi Pasal 17 ayat (2) PP ini.

Menurut PP ini, dalam hal rumah MBR telah dijual kepada masyarakat, badan hukum mengajukan kepada kantor pertanahan untuk pemecahan sertifikat hak guna bangunan dan peralihan hak dari badan hukum kepada masyarakat. Pengajuan pemecahan sertifikat dan peralihan hak sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dilampiri dengan akta jual beli dari pejabat pembuat akta tanah.

Selanjutnya, kantor pertanahan melakukan penyelesaian penerbitan sertifikat sebagaimana dimaksud paling lama empat hari sejak pengajuan diterima secara lengkap dan benar oleh Kantor Pertanahan.PP ini juga menegaskan, dalam rangka percepatan pelaksanaan pembangunan perumahan MBR, dibentuk tim koordinasi percepatan pembangunan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (Baca Juga: Ini Sejumlah Titik Rawan UU Tapera)

Badan hukum yang telah mengajukan proses pembangunan perumahan MBR sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, dapat diteruskan dan diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. Sedangkan perizinan dan dokumen yang telah ada dalam rangka pembangunan perumahan MBR sebagaimana dimaksud tetap berlaku dan dapat digunakan untuk proses tahapan selanjutnya.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 27 PPyang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 29 Desember 2016 itu.
Tags:

Berita Terkait