Pengakuan Hutan Adat Perlu Diikuti Kebijakan Ini
Berita

Pengakuan Hutan Adat Perlu Diikuti Kebijakan Ini

Pengakuan terhadap hutan adat harus dalam kerangka reforma agraria. Sertifikasi dilakukan atas dasar kepemilikan komunal, bukan individu.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Kawasan hutan. Pemerintah mengakui hutan adat di beberapa daerah. Foto: MYS
Kawasan hutan. Pemerintah mengakui hutan adat di beberapa daerah. Foto: MYS
Akhir tahun 2016 Presiden Joko Widodo menyerahkan Surat Keputusan (SK) Pengakuan Hutan Adat kepada 9 masyarakat hukum adat (MHA). Pengakuan terhadap hutan adat yang luasnya lebih dari 13 ribu hektar itu diapresiasi organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang agraria. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan kebijakan itu selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 yang menyebut hutan adat bukan milik negara.

Dewi mengingatkan, setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan SK tersebut ada konsekuensi hukum yang harus dilakukan yakni status 9 hutan adat itu harus dikeluarkan dari kawasan hutan yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dengan begitu, statusnya akan menjadi hutan adat yang dikelola penuh oleh MHA dan bukan lagi sebagai hutan milik negara. (Baca juga: Masyarakat Adat Boleh Memungut Hasil Hutan).

Menurut Dewi pengakuan terhadap hutan adat itu harus dalam kerangka reforma agraria. Sehingga alas hak hutan adat itu berdasarkan kepemilikan bersama. Oleh karenanya sertifikat yang diterbitkan harus bersifat komunal bukan atas nama individu MHA tersebut. “Setelah hutan adat itu statusnya dilepas dari kawasan hutan, hak MHA harus diperkuat lewat sertifikat komunal,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (05/1). (Baca juga: Komnas HAM: Presiden Terpilih Harus Akui Masyarakat Hukum Adat).

Pemerintah punya regulasi teknis yang mengatur sertifikat komunal diantaranya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah MHA dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu. Regulasi itu sudah diperbarui melalui Permen ATR/BPN No.  10 Tahun 2016. Sayangnya, pelaksanaan peraturan tersebut belum sesuai harapan karena hak komunal atas tanah diartikan sebagai sertifikasi secara bersama atas tanah-tanah individu dalam sebuah kelompk masyarakat.

Seperti yang terjadi di komunitas adat Tengger, Dewi melihat Kementerian ATR/BPN mengklaim sertifikasi yang diterbitkan komunal. Ketika ditelusuri di lapangan ternyata bukan sertifikasi komunal tapi individu. Menurut Dewi hal itu membuat kontrol kolektif atas tanah semakin hilang dan memudahkan pelepasan hak atas tanah atau konversi lahan secara masif yang dilakukan mafia dan spekulan tanah serta korporasi. (Baca juga: Menyoal Subjek Hak Komunal).

Terpisah, Direktur Epistema Institute, Luluk Uliyah, berharap pengakuan ini tidak hanya dilakukan terhadap 9 hutan adat, tapi seluruhnya. Sebab ada ribuan MHA yang menunggu pengakuan itu. Oleh karenanya pemerintah dituntut aktif dalam mendorong pengakuan hutan adat dengan memfasilitasi prosesnya secara cepat, efektif dan efisien.

Luluk berpendapat ada 4 langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Pertama, memangkas prosedur yang panjang dan rumit. 9 hutan adat yang diakui itu telah memalui proses panjang dan rumit selama 2 tahun. “Proses tersebut harus direfleksikan kembali agar lebih efektif dan efisien,” ujarnya.

Kedua, melaksanakan penetapan hutan adat secara aktif selain mekanisme permohonan oleh MHA. Luluk menilai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 32 Tahun 2015 menganut mekanisme aktif dan pasif. KLHK perlu memangkas dan membuat prosedur yang efektif dan efisien, termasuk dalam proses pendataan, pengakuan dan penetapan.

Ketiga, mengintegrasikan ke dalam rencana kerja pemerintah pusat dan daerah. Bagi Luluk peran pemerintah daerah harus maksimal agar tidak terjadi proses bolak-balik yang panjang antara institusi tingkat pusat dan daerah. Dibutuhkan proses yang terarah yang dilakukan KLHK bersama pemerintah daerah. Diharapkan rencana pengakuan hutan adat menjadi target pemerintah pusat dan daerah. Keempat, mengembangkan kebijakan pengakuan dan pemberdayaan secara komprehensif.

Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia, Dahniar Adriani, mengatakan kebijakan pengakuan adat masih berada dalam tahap pengakuan, belum pemberdayaan. Diperlukan kebijakan komprehensif untuk menjangkau isu pemberdayaan agar masyarakat adat merasakan manfaat langsung pengakuan hutan adat. Misalnya, melibatkan Kementerian dan Lembaga terkait seperti Kementerian Desa, Transmigrasi, dan Daerah Tertingal; Kementerian Pertanian; dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

“Kami menyadari agenda besar sudah menunggu, yakni memastikan penetapan dijalankan sesuai mandat konstitusi, mengawal hutan adat yang telah ditetapkan dan memastikan penetapan selanjutnya lebih transparan, mudah dan terbuka,” pungkas Dahniar.
Tags:

Berita Terkait