Baca Argumentasi Pemerintah-DPR Terkait Aturan Putusan Pemidanaan
Utama

Baca Argumentasi Pemerintah-DPR Terkait Aturan Putusan Pemidanaan

DPR berpandangan, permohonan ini seharusnya lebih tepat diajukan dalam revisi KUHAP atau melalui legislative review.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Sejumlah advokat persoalkan aturan putusan pemidanaan dalam KUHAP. Foto gedung MK tempat permohonan ini disidangkan. Foto: RES
Sejumlah advokat persoalkan aturan putusan pemidanaan dalam KUHAP. Foto gedung MK tempat permohonan ini disidangkan. Foto: RES
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat Pasal 197 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait hal-hal yang mesti dimuat dalam putusan pemidanaan ditolak atau tidak dapat diterima. Sebab, permohonan ini dianggap bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan implementasi norma yang sudah mencerminkan kepastian hukum yang adil.

“Menolak permohonan untuk seluruhnya atau setidaknya tidak dapat diterima karena Pasal 197 ayat (1) KUHAP tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD Tahun 1945,” ujar Koordinator Perdata dan Tata Usahan Negara (Datun) pada Jamdatun Kejaksaan Agung, Rorogo Zega mewakili Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian KUHAP yang dimohonkan sejumlah advokat di Gedung MK, Senin (09/1). (Baca juga: Advokat Persoalkan Aturan Sistematika Putusan Pemdanaan).

Pasal 197 ayat (1) menyebutkan, surat putusan pemidanaan memuat (huruf a sanpai l): kepala putusan bertuliskan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; identitas terdakwa; surat dakwaan; pertimbangan; tuntutan pidana; pasal-pasal pemidanaan disertai keadaan memberatkan dan meringankan; tanggal musyawarah majelis hakim, kecuali perkara dengan hakim tunggal; pernyataan kesalahan terdakwa dan terpenuhi semua unsur pidana disertai kualifikasi dan pidana yang dijatuhkan; pembebanan biaya perkara; pernyataan surat/pernyataan dinyatakan palsu; perintah penahanan, tetap ditahan, atau dibebaskan; hari dan tanggal putusan disertai nama penuntut umum, hakim, dan panitera.

Roro beralasan Pasal 197 ayat (1) KUHAP sama sekali tidak terkait dengan kepentingan advokat. Para Pemohon hanya menguraikan lamanya proses pemeriksaan dan terbitnya salinan putusan di tingkat kasasi atau PK yang berakibat tidak mendapat imbalan jasa. Padahal, aturan ini ditujukan bagi hakim sebagai pedoman membuat salinan putusan pemidanaan. (Baca juga: MA Perketat Pengawasan Proses Minutasi Putusan).

“Pasal a quo sama sekali tidak mengatur kepentingan advokat karena kerugian Para Pemohon tidak mendapatkan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dengan kliennya menyangkut profesionalisme, integritas, kompetensi diatur dalam UU Advokat. Karena itu, sebenarnya Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum,” kata dia.

Menurutnya, MA sendiri sudah memberi pengertian bahwa surat putusan pemidanaan dalam pasal ini adalah putusan pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan MA. Apabila Pasal 197 ayat (1) KUHAP ini ditafsirkan hanya putusan untuk pengadilan negeri dapat berdampak terhadap kepastian hukum. Akibatnya, putusan pengadilan tinggi dan MA tidak memiliki landasan hukum yang mengikat.

“Tidak logis, apabila aturan putusan pemidanaan konstitusional hanya pada pengadilan negeri, sementara tidak konstitusional pada putusan pemidanaan tingkat banding dan MA. Justru, apabila permohonan ini dikabulkan akan terjadi kekosongan hukum karena mengubah sistematika putusan pemidanaan yang seharusnya berlaku pada semua tingkat peradilan,” tegasnya.

Memberi kepastian hukum
Hal senada disampaikan DPR yang menilai Pasal 197 ayat (1) KUHAP sudah memberikan kepastian hukum. Sebab, aturan ini sudah jelas dan tegas yang mesti dicantumkan dalam setiap putusan pemidanaan semua tingkat peradilan. Dengan begitu, alasan Pemohon ada keterlambatan imbalan jasa yang merugikan profesi advokat tidak berkorelasi dengan konstitusionalitas norma yang diuji berikut penerapannya.

DPR menilai selama ini MA sudah berupaya memperbaharui proses percepatan penyelesaian perkara termasuk minutasi putusan. Salah satunya, melalui terbitnya SK KMA No. 214 Tahun 2014 tentang Alur Penanganan Perkara di MA ditentukan selama maksimal 8 bulan atau 250 hari. Khusus proses minutasi putusan ditentukan maksimal 3 bulan sejak diputuskan.

“Lagipula petitum permohonan menjadi kewenangan pembentuk UU, sehingga permohonan ini seharusnya lebih tepat diajukan dalam revisi KUHAP (legislative review). Karena itu, seharusnya permohonan ini ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima,” ujar Anggota Komisi III DPR, Junimart Girsang mewakil DPR dalam persidangan.

Sebelumnya, sejumlah advokat yakni Juniver Girsang, Harry Ponto, Patra M. Zen, Swandy Halim, Fazri Akbar, Anita Oktavia, dan Budi Rahmat mempersoalkan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Selaku advokat, haknya dilanggar atau terhambat menerima salinan putusan akibat berlakunya Pasal 197 ayat (1) KUHAP terutama ketika berperkara di Mahkamah Agung (MA) yang menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

Persoalan ini juga mengakibatkan terhambatnya hak-hak advokat dalam hubungan kerja dengan kliennya terkait imbalan jasa seperti dijamin Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. Sebab, praktiknya pembayaran fee atau success fee diterima advokat setelah adanya salinan putusan lengkap di tingkat MA dan telah diterima kliennya. (Baca juga: Koalisi Desak MA Benahi Sistem Penanganan Perkara).

Selama ini salinan putusna kasasi atau peninjauan kembali (PK) lamban diterima pihak berperkara lantaran ada hal-hal mesti dimuat dalam putusan pidana, seperti surat dakwaan, tuntutan, pertimbangan hukum, putusan tingkat pertama dan banding, dan seterusnya. Para advokat ini meminta agar Pasal 197 ayat (1) KUHAP dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai hanya wajib dimuat pada surat putusan pemidanaan pada pengadilan tingkat pertama atau pengadilan negeri. Amar putusan ini berlaku pula dalam putusan perkara perdata, tata usaha negara (TUN), agama, dan militer.
Tags:

Berita Terkait