Sejarawan Sebut Pasal Penggusuran Berjiwa Kolonialisme
Utama

Sejarawan Sebut Pasal Penggusuran Berjiwa Kolonialisme

Saksi mengungkapkan banyak warga yang tidak mengetahui alasan pasti mereka digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Aksi penggusuran rumah warga di Jakarta oleh Satpol PP. Foto: RES
Aksi penggusuran rumah warga di Jakarta oleh Satpol PP. Foto: RES
Sidang uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 51 Prp Tahun 1960  tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya kembali digelar. Giliran Para Pemohon yang merupakan korban penggusuran di DKI Jakarta ini menghadirkan dua ahli. Mereka adalah sejarawan JJ Rizal dan Yudi Bachrioktora.

Dalam keterangannya, JJ Rizal menilai Perppu No. 51 Tahun 1960 ini berjiwa kolonialisme (penjajahan). Sebab, aturan itu masih menggunakan prinsip domein verklaring  (hak menguasai negara) yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda. Artinya, semua tanah/lahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh masyarakat pribumi yang berada dalam kekuasaan Hindia Belanda menjadi milik Kerajaan/Pemerintah Kolonial Belanda (tanah negara).

“Perppu ini masih berjiwa kolonialisme. Ini antitesis pembentukan Negara Republik Indonesia. Apalagi, saat ini zaman reformasi yang sudah menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), kenapa Perppu yang mengadopsi domein veklaring ini masih dipakai (berlaku)?” ujar JJ Rizal dalam persidangan pengujian Perppu No. 51 Tahun 1960 di Gedung MK, Selasa (10/1). (Baca juga: Korban Penggusuran Gugat PT KAI).

JJ Rizal mengatakan materi Perppu No. 51 Tahun 1960 justru bertentangan dengan isi pidato Bung Karno pada 1933 mengenai kolonialisme yang diartikan “nafsu mencari rezeki dengan berbagai cara”. Dalam konteks ini, Bung Karno mencontohkan sistem yang tertuang dalamAgrarische Wet 1866 danAgrarische Besluit yang melahirkan konsep domein verklaring.

“Seluruh tanah di Hindia Belanda itu milik Kerajaan Belanda, boleh dieksploitasi dengan cara apapun oleh pemilik modal. Konsep domein verklaring ini yang disebut Bung Karno ‘nafsu mencari rezeki’, sifat rakus,” kata JJ Rizal mengutip pidato sang Presiden RI pertama itu.

Dia melanjutkan beberapa kasus menunjukkan eksploitasi kolonial Belanda bahwa lahan perkebunan/perkebunan kopi yang mengakibatkan pemiskinan dan kebodohan luar biasa disertai kekerasan yang diderita masyarakat pribumi. “Menurut Prof Sartono Kartodirjo, akhir abad ke-19 telah terjadi pemberontakan sosial di tanah-tanah partikelir milik pribumi karena tidak tahan kekerasan yang disebabkan sistem tanam paksa,domein verklaring, tanah partikelir yang hasilnya dijual pengusaha besar berbagai negara,” bebernya.

Fakta historis sejarah ini, kata Rizal, jika dihubungkan dengan kondisi saat ini ditemukan proses pelanggengan yang disebut Bung Karno “nafsu mencari rezeki” yang mengakibatkan eksploitasi dan penghisapan manusia atas manusia. Alhasil, semua ini melahirkan sifat hipokrit. “Ini dijawab sendiri oleh Bung Karno, karena mental kolonialisme ini masih kita warisi mentalnya, bahkan hingga saat ini. Kenapa sifat ini masih kita pelihara?”

“Ini kontradiksi dengan nilai-nilai reformasi yang menjunjung HAM, tetapi justru kita melanggar rule of law dan nilai HAM.” (Baca juga: Robohnya Pemukiman Warga Bukti Duri).

Yudi Bachrioktora menerangkan domein verklaring sebenarnya telah dinegasikan atau dikesampingkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Artinya, penerapan domein verklaring ini tidak serta merta memberi kewenangan yang luas bagi Pemerintah terutama dalam hal pembebasan lahan atau tanah.   

“Sayangnya, ini tidak dikoreksi, karena kewenangan domein verklaring dalam UUPA seharusnya tidak memberi ruang penghisapan dari manusia dengan manusia lain. Jadi, pemahaman pemanfaatan tanah seharusnya tidak membuat warga negara menderita, negara mengambil alih tanah dan memberikannya kepada warga negara untuk berbagai kepentingan termasuk perumahan. Ini semangat UUPA,” kata Yudi dalam persidangan.      

Tidak tahu alasan penggusuran
Dalam sidang ini turut didengar pula kesaksian seorang jurnalis dari The Jakarta Post, Evi Mariani Sofyan yang menuturkan pengalamannya saat meliput peristiwa penggusuran di Jakarta. Seperti, penggusuran di Kampung Pulo pada 2015, dan korban penggusuran dipindahkan ke Rusunawa Marunda. “Yang kami temui beberapa warga mengaku kesulitan berjualan lagi karena Rusunawa yang ditempati lokasi kurang strategis,” tutur Evi.

Menurutnya, banyak warga yang tidak mengetahui alasan pasti mereka digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Padahal, beberapa kasus korban penggusuran bukanlah penduduk liar karena memiliki KTP dan membayar PBB setiap tahun. Terkadang, informasi penggusuran berubah-ubah, seperti dialami warga Pinangsia.

“Setelah negosiasi, warga merelakan 5 meter dari bantaran kali, tetapi mendadak berubah menjadi 10 meter. Warga Pasar Ikan yang tidak pernah mendapat informasi resmi mengapa digusur, meski mereka membayar PBB, memiliki KTP sesuai alamat yang digusur, surat verponding, tetapi tidak diberi kesempatan menggugat ke pengadilan,” ungkapnya.

Sebelumnya, tiga warga korban penggusuran di Jakarta yakni Rojiyanto, Mansur Daud P, dan Rando Tanadi mempersoalkan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) butir a, butir b, butir c, dan butir d, serta Pasal 6 ayat (2) Perppu tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Mereka dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal tersebut lantaran tidak mendapat ganti kerugian saat rumahnya digusur paksa oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta.

Pemohon menilai beleidini seolah memberi wewenang pemerintah daerah untuk “menyerobot” kewenangan peradilan. Sebab, setiap sengketa tanah tidak melalui lembaga peradilan terlebih dahulu, tetapi faktanya langsung dieksekusi oleh Pemprov DKI Jakarta alias tanpa dialog, seperti disebut Penjelasan Umum Perppu ini bahwa pembebasan lahan/tanah tidak perlu melalui proses peradilan.

Padahal, kepemilikan tanah Para Pemohon yang sudah mendayagunakan tanah tersebut dalam jangka waktu lama sebenarnya dilindungi beberapa pasal UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Apalagi, penelantaran tanah (oleh negara) dapat mengakibatkan hapusnya kepemilikan yang diatur Pasal 1967 KUHPerdata.

Ironisnya, beberapa kasus penggusuran paksa, selain ada unsur kriminalisasi, pemerintah daerah sebagai pelaku penggusuran paksa tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah yang sejalan dengan asas publisitas hukum agraria (Pasal 19 ayat (4) UUPA). Padahal, UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum tidak mengatur norma pidana. Karena itu, Para Pemohon meminta MK menghapus berlakunya pasal-pasal tersebut karena bertentangan UUD 1945 Tahun 1945.
Tags:

Berita Terkait