Ditemani Advokat, Rachmawati Dkk Ngadu ke DPR Terkait Kasus Dugaan Makar
Berita

Ditemani Advokat, Rachmawati Dkk Ngadu ke DPR Terkait Kasus Dugaan Makar

Menuju MPR dalam rangka mengembalikan UUD 45 yang asli sebagai bentuk melakukan perubahan ketatanegaraan dengan menunjuk Pasal 110 ayat (4) KUHP, maka tak dapat dipidana.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Rachmawati Soekarnoputri. Foto: youtube.com
Rachmawati Soekarnoputri. Foto: youtube.com
Kasus dugaan makar terhadap sejumlah tokoh aktivis dan purnawirawan tentara terus bergulir. Namun sayangnya, kasus yang menjerat sejumlah aktivis itu dinilai banyak menunai kejanggalan. Bahkan, bagi para tersangka tudingan makar yang dilakukan pihak kepolisian terkesan by design. Terhadap hal itu, mereka mengadu ke DPR.

Rachmawati Soekarnoputri, Mayjen (Purn) Kivlan Zein, Hatta Taliwang, Ahmad Dani Prasetyo, serta sejumlah penasihat hukum dari pihak tersangka dan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) menyambangi pimpinan DPR. Dalam ACTA selaku penasihat hukum dari semua tersangka menilai tuduhan terhadap para kliennya tanpa bukti yang kuat.

Ketua ACTA, Krist Ibnu Triwahyudi mengatakan setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan terhadap semua kliennya, pihaknya meyakini tak adanya alat bukti yang cukup melimpahkan kasus tersebut ke pengadilan. Misalnya terhadap Ratna Sarumpaet tak menghadiri acara di Hotel Saripan Pacific pada 1 Desember 2016. Sedangkan dalam surat penangkapan dilampirkan tempus delicty dugaan tindak pidana dilakukan pada 1 Desember 2016. (Baca Juga: MK Diminta ‘Luruskan’ Definisi Makar dalam KUHP)

“Maka dengan demikian seharusnya tuduhan terhadap Ratna Sarumpaet adalah gugur karena tidak ada keterlibatannya pada acara dimaksud,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (10/1).

Kedua, meski Hatta Taliwang, Ahmad Dani dan Rachmawati menghadiri acara di Sari Pan Pacific pada 1 Desember 2016, tak dapat dikategorikan makar. Sebab bukan merupakan bentuk tindka pidana penggulingan pemerintahan yang sah sebagimana dimaksud Pasal 107 KUHP. Pasalnya, cara tersebut dilakukan konfrensi pers secara terbuka membahas isu-isu aktual yang terjadi, antara lain ide kembalinya ke UUD 1945.

“Menurut hemat kami selaku kuasa hukum ide untuk kembali ke UUD 1945 yang asli adalah ide yang konstitusional dan sangat jauh dari makar,” katanya.

Dikatakannya, kekhawatiran Jokowi dan Kapolri akan terjadinya makar pada momen Aksi Bela Islam 212 tidaklah terjadi. Malahan aksi berjalan damai dan tertib. Karena itulah ACTA memintan pimpinan DPR mengingatkan Kapolri untuk dapat mempertimbangkan menghentikan kasus tersebut. Sebab situasi politik nasional sudah mulai kondusif. (Baca juga: Polri Minta Informasi PPATK Soal Aliran Dana Makar)

“Maka kami khawatir apabila kasus makar ini sampai disidangkan maka tidak menutup kemungkinan kita hanya akan terlibat dalam pertikaian politik baru,” ujarnya.

Rachmawati menambahkan penangkapan terhadap dirinya dan kolega seperjuangannya dilakukan Polda Metro Jaya atas laporan dari Aiptu Kusmadiyana dengan tudingan pasal makar dan permufakatan jahat. Rachmawati mengaku terkejut saat penangkapan pada Jumat 2 Desember 2016 subuh.

Menurutnya, permufakatan yang dilakukan justru kembali pada UUD 1945 asli sebelum dilakukannya amandemen. Putri proklamator itu merasa difitnah pihak kepolisian. Bahkan pembunuhan karakter terhadap dirinya dan pihak lain yang dijadikan tersangka dengan tudingan makar. (Baca juga: Sejumlah Tokoh Dituduh Makar, Ini Penjelasan Kapolri di Komisi Hukum DPR)

Seraya berurai air mata, Rachma mengatakan rencana ke MPR membawa 20 ribu orang dalam rangka menyerahkan petisi agar kembali ke UUD 1945. Menurutnya bila memang menginginkan makar, maka istanalah yang mesti dikepung, bukan MPR. Sebab MPR merupakan rumah rakyat.

“Kami memohon untuk tidak berlarut gelar perkara tuduhan ini supaya di SP3 kan ini jalan terbaik. Supaya kita bisa mengadakan rembuk nasional mau dibawa kemana bangsa kita. Solusi penyelamatan bangsa kita,” ujar Ketua Yayasan Universitas Bung Karno itu.

Kivlan Zein menyesalkan tindakan Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian. Menurutnya, definisi makar tidak tepat dialamatkan dengan tindakan yang dilakukan dalam rangka mengembalikan UUD 1945 yang asli. Terlebih, Kivlan dan sejumlah aktivis tersebut tak ada niatan melakukan penghianatan dengan angkat senjata.

Pasalnya, sejumlah aktivis menggelontorkan ide kembali ke UUD 1945 dalam rangka membenahi tata negara. Sebab, kata Kivlan, UUD 45 hasil amandemen tak dicatat dalam lembaran negara. Kivlan pun menunjuk Pasal 110 ayat (4) KUHP. Menurutnya, kepolisian mestinya meniliki Pasal 110 ayat (4) KUHP sebelum bertindak menuding makar.

Pasal 110 ayat (4) KUHP menyebutkan, “Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum”. Ia pun meminta Polri supaya hati-hati dalam penegakan hukum, tidak menuduh sembarang orang melakukan makar.

“Sampaikan ke presiden supaya ini dicabut kalau kami dinyatakan makar. Polisi salah menafsirkan makar, polisi ketakutan sial tanggal 212. Kami ini menyampaikan perubahan ketatanegaraan

Menanggapi aduan ACTA, Rachmawati, Kivlan Zein dan penasihat hukum tersangka lainnya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan bakal menyampaikan aspirasi tersebut ke Presiden Joko Widodo. Meski baru mendengar keterangan sepihak, Fadli miris mendengar informasi penyidik tak paham dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap sejumlah tersangka. Terlebih penyidik tak memahami tuduhan makar yang dilakukan institusinya kepada para tersangka.

Fadli berpendapat tudingan makar terhadap sejumlah aktivis tidak terpenuhi unsurnya. Sebab bila diteruskan perkaranya, bakal mengancam perkembangan demokrasi. Atas dasar itulah Fadli sependapat kasus dugaan makar mesti dihentikan. “Harus ada langkah perkara ini ditutup. Saya akan sampaikan ke presiden, Kapolri dan Kapolda Metro Jakarta. Supaya ini tidak berlarut-larut dan buang-buang energi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait