OJK Minta Pelaku Fintech Lakukan Non Face-to-Face Know Your Customer
POJK Fintech:

OJK Minta Pelaku Fintech Lakukan Non Face-to-Face Know Your Customer

Hal itu terkait upaya mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan terorisme (TPPT) yang memanfaatkan fintech.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Irmansyah (tengah) dan Hendrikus Passagi (kanan). Foto: NNP
Irmansyah (tengah) dan Hendrikus Passagi (kanan). Foto: NNP
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta pelaku usaha jasa keuangan berbasis online (Financial Technology/Fintech) agar menerapkan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer/KYC). Hal itu sejalan dengan upaya otoritas dalam melakukan pencegahan pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

Deputi Komisioner Manajemen Strategis I A OJK, Imansyah, mengatakan bahwa penyelenggara fintech wajib patuh terhadap standar yang ditetapkan mengenai program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) yang ditetapkan dalam sejumlah regulasi, seperti misalnya penerapan prinsip mengenal nasabah yang dilakukan sektor perbankan.

“Kita ingin supaya ini (fintech) tidak jadi wadah pencucian uang,” ujar Imansyah di kantornya, Selasa (10/1).

Paling tidak, lanjut Imansyah, penyelenggara fintech membuat pusat data (database) yang secara lengkap merekam mengenai siapa saja pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman yang bersepakat melakukan pinjam meminjam melalui fintech. Dari database itu misalnya, paling tidak dapat mengambil data seperti Politically Exposed Persons (PEP’s) yang ada di Indonesia. (Baca Juga: 16 Hal yang Wajib Dipenuji ‘Pemain’ Peer to Peer Lending dalam Fintech)

Diakui Imansyah, penerapan KYC dalam industri fintech memang tidak semudah dalam lembaga jasa keuangan konvensional. Selain karena tidak dilakukan secara tatap muka, penerapan KYC dalam industri fintech ini mulanya banyak dikeluhkan oleh sejumlah pelaku fintech yang ditemui OJK sebelumnya terutama terkait dengan biaya yang mesti dikeluarkan sewaktu penerapan KYC.

“Kita akan berbicara lebih dalam lagi dengan penyelenggara fintech. Paling tidak mereka membangun database at least sebagai modal dasar paling tidak orang-orang yang secara politik tereskpose atau orang-orang terkenal,” papar Imansyah.

Namun apa boleh dikata, penerapan prinsip dan teknis pengenalan nasabah ini tegas tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekonologi Informasi. Pasal 42 POJK Peer-to-Peer Lending mewajibkan kepada setiap penyelenggara agar menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan terhadap pengguna.
BAB IX
PRINSIP DAN TEKNIS PENGENALAN NASABAH
Pasal 42
"Penyelenggara wajib menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan terhadap Pengguna sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme".

Meski dicatat, latar belakang di balik kewajiban penerapan prinsip KYC oleh OJK bukanlah tanpa sebab. Pasal 16 POJK Peer-to-Peer Lending ini mengatur bahwa pemberi pinjaman dapat berasal dari manapun baik itu dari dalam negeri ataupun luar negeri. Dengan kata lain, potensi mengenai adanya tindak pidana pencucian uang atau pendanana terorisme semakin besar untuk menyusup lewat industri fintech ini. (Baca Juga: Ungkap Jaringan Teroris via Aliran Dana, Begini Caranya)

“Makanya kita sampaikan, yang non face to face KYC tadi itu. Jadi kita maunya paling tidak mereka punya database soal PEP’snya siapa aja, organisasi mana saja yang diduga dapat dana terorisme, misalnya mohon maaf PEP’s itu ketua partai maupun anggota DPR,” kata Imansyah.

Memang dilematis. Di satu sisi ada kepentingan bagi OJK untuk menjaga industri jasa keuangan secara umum dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, namun di sisi lain ada kepentingan OJK dalam mengembangkan industri fintech di Indonesia. Sekedar informasi, sejatinya, POJK Peer-to-Peer Lending ini dibuat dengan harapan dapat mendukung pertumbuhan industri peer-to-peer sebagai alternatif sumber pembiayaan baru bagi masyarakat yang selama ini belum dapat dilayani secara maksimal oleh industri jasa keuangan konvensional, seperti perbankan, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dan modal ventura.

Selain mengatur penyelenggaraan peer-to-peer lending, POJK ini juga mendorong terciptanya ekosistem fintech secara menyeluruh yang mencakup Fintech 2.0 (perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga keuangan mikro, perusahaan pembiayaan, modal ventura, pergadaian, penjaminan, dan payment) dan Fintech 3.0 (big-data-analytic, aggregator, robo-advisor, blockchain, dll). POJK ini juga dibuat untuk melindungi kepentingan konsumen dan kepentingan nasional serta menyediakan ruang bagi penyelenggara fintech untuk dapat tumbuh dan berkembang.

“Di second stagenya mereka harus katakan pemberi pinjaman harus punya akun di bank. Bank juga sudah punya proses KYC-nya. Jadi kita yakinkan orang itu bukan ‘alien’ yang tidak punya data KYC-nya. Kita coba carikan solusinya yang lebih pas ketimbang kita paksa standarnya kemudian disana mereka (penyelenggara Fintech) ngga mampu,” katanya menjelaskan.

Catatan OJK, pertumbuhan jumlah penyelenggara fintech start-up tahun 2016 telah meningkat sekitar tiga kali lipat dari 51 perusahaan pada triwulan pertama 2016 menjadi 135 perusahaan pada triwulan keempat 2016. Dan melalui POJK ini, OJK memfasilitasi dukungan bagi perkembangan inovasi ekonomi digital di masa mendatang dengan menyiapkan infrastruktur berupa fintech Incubator Centre.

Saat ini, OJK juga tengah menyusun ketentuan lebih lanjut mengenai aturan teknis peer-to-peer lending dalam sejumlah Surat Edaran OJK (SEOJK). Dari sejumlah hal yang diatur, aspek pengenai APU PPT juga akan diatur lebih detail melalui SEOJK. Targetnya, kurang dari enam bulan terhitung sejak Desember 2016 silam, SEOJK tersebut akan rampung.

“Kita ingin dapat data siapa yang kelola bisnisnya. Apa namanya, siapa pemiliknya, gimana IT nya. Kalau dapat, nanti juga bisa awasi mereka. Kita ingin buat database siapa penyelenggara fintech,” tutup Imansyah.

Di tempat yang sama, Peneliti Eksekutif Senior Tim Pengembangan Sektor Jasa Keuangan OJK, Hendrikus Passagi memastikan bahwa industri fintech tidak akan mudah disusupi oleh pelaku yang mencoba melakukan pencucian uang ataupun pendanaan terorisme. Pasalnya, proses yang dilakukan dalam layanan pinjam meminjam ini dalam tataran teknisnya nanti akan dilakukan secara berlapis.

“Dalam proses layanan pinjam meminjam ini ada empat step. Jadi, rasa-rasanya pun akan tertangkap (upaya pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme) dalam step-step tersebut,” kata Hendrikus.

Hendrikus menyebutkan, paling tidak upaya pencucian uang atau pendanaan terorisme sudah akan terendus hanya pada dua tahap. Pertama, saat tahap registrasi, Hendrikus mengatakan bahwa pelaku yang mencoba melakukan pencucian uang mungkin tidak akan berani karena ada kewajiban pengisian kolom nomor telepon. Bila belum mempan, maka pada tahap kedua kemungkinan akan mulai terungkap.

Tahap pengajuan pinjaman ini, ada persyaratan mengenai kewajiban escrow account dan virtual account. Khusus untuk pemberi pinjaman, mereka diwajibkan untuk menggunakan virtual account dimana ada syarat memiliki rekening perbankan. Tujuan kewajiban penggunaan virtual account dan escrow account dalam skema peer to peer terkait dengan larangan bagi penyelenggara dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat melalui rekening penyelenggara

“Transaksi ini tidak akan berjalan kalau tidak ada rekening perbankan. Jadi adalagi lapis kedua. Di perbankan kan sudah ada (proses) KYC,” kata Hendrikus.

Jadi Perhatian PPATK
Tak hanya OJK, kekhawatiran tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terrorisme menyusup ke industri fintech juga menjadi perhatian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Saat menyampaikan prioritas program kerja sepanjang 2017 ke depan, Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin, menyatakan bahwa PPATK resmi membentuk desk fintech dan desk cyber crime, Senin (9/1) kemarin.

Dikatakan Badaruddin, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan terorisme (TPPT) telah memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang keuangan maupun di bidang cyber. PPATK berencana akan bekerjasama dengan lembaga terkait agar penanganannya lebih maksimal. (Baca Juga: Cegah Kejahatan Fintech, PPATK Bentuk Desk Fintech dan Cyber Crime)

“Jadi kita akan lebih serius mempelajari dan bekerjasama dengan internasional maupun regional dalam hal Fintech dan Cyber Crime. Terkait fintech ini tentu kita harus bergandengan tangan dengan Bank Indonesia dan OJK, karena Fintech ini sudah maju dan sering dimanfaatkan khususnya di terorisme,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Imansyah mengatakan, bahwa OJK juga memiliki unit khusus sendiri terkait APU PPT. Departemen khusus tersebut dibawahi langsung oleh Deputi Komisioner Manajemen Strategis I C OJK, Hendrikus Ivo. Kata Imansyah, OJK melalui unit APU PPT tentu sudah berkoordinasi dan akan selalu bertukar informasi kepada PPATK terkait dengan APU PPT. (Baca Juga: Mengintip Departemen Khusus Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme OJK)

“PPATK pasti sudah bicara dengan mereka. Dari APU PPT di internal OJK kita sudah dapat masukan,” kata Imansyah.
Tags:

Berita Terkait