“….dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan RI bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 29/PUU-XIV/2016 di Gedung MK, Rabu (11/1). (Baca Juga : Begini Ahli KUHAP Maknai Seponering Demi Kepentingan Umum)
Sebelumnya, Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi mempersoalkan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan terkait kewenangan Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (asas oportunitas). Awalnya, keduanya pernah divonis dalam kasus pencurian sarang burung walet sekaligus salah satu korban penembakan polisi yang melibatkan Novel Baswedan pada Februari 2004.
Belakangan, dugaan kasus penganiayaan pencuri burung walet dihentikan melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) No. Kep B.03/N.7.10/Ep.1/02/2016 tanggal 22 Februari 2016 yang dikeluarkan Kejaksaan Tinggi Bengkulu dengan dalih kasusnya tidak cukup bukti dan sudah daluwarsa. Hakim Praperadilan pun telah memutuskan SKPP Novel tidak sah.
Mereka khawatir Jaksa Agung menggunakan asas oportunitas secara sewenang-wenang terhadap kasus Novel Baswedan seperti kasus para seniornya yakni kasus seponering Bibit- Chandra dan Bambang-Abraham. Karena itu, Para Pemohon meminta MK memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah memandang tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang memberi kewenangan diterapkannya asas oportunitas dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Tetapi, bukan berarti penerapan asas oportunitas menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Jika merujuk logika Pemohon pembentukan lembaga yang tidak diatur dalam UUD 1945 menjadi bertentangan dengan UUD 1945.
“Logika Pemohon bahwa asas oportunitas tidak diatur dalam UUD 1945, sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak tepat. Seponering yang merupakan pelaksanaan asas oportunitas tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 meskipun tidak diatur dalam UUD 1945,” tegas Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan putusan. (Baca Juga : Ahli Sebut Seponering Langgar Asas Legalitas)
Menurut Mahkamah Kewenangan seponering tetap diperlukan dalam penegakan hukum pidana. Hanya saja, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Agung mengingat kewenangannya besar tersebut, maka perlu dilakukan pembatasan ketat atas berlakunya pasal tersebut supaya tidak melanggar atau bertentangan dengan hak-hak konstitusional ataupun hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam UUD 1945.
“Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan RI tidak dijelaskan lebih lanjut batasan kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, sehingga dapat diartikan luas oleh Jaksa Agung selaku pemegang kewenangan seponering,” lanjutnya.
Bahkan, kata dia, kewenangan tersebut sangat rentan diartikan sesuai kepentingan Jaksa Agung, meski penerapan seponering setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Namun, faktanya saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara dimaksud seolah-olah tidak mengikat sama sekali dan Jaksa Agung hanya memperhatikan.
“Demi melindungi hak konstitusional warga negara, Mahkamah perlu memberi penafsiran terhadap Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya. (Baca Juga : Aturan Seponering Dinilai Lecehkan Kepolisian)
Tafsiran tersebut dibutuhkan supaya ada ukuran yang jelas dan ketat dalam penggunaan kewenangan seponering oleh Jaksa Agung. Sebab, kewenangan seponering ini tidak terdapat upaya hukum lain untuk membatalkannya, kecuali Jaksa Agung itu sendiri, meskipun kecil kemungkinan hal itu dilakukan. “Selain itu, penafsiran tersebut perlu dilakukan Mahkamah karena seponering berbeda halnya dengan penghentian penuntutan.”