MK Tetapkan 7 Hari Penyerahan SPDP ke Penuntut Umum
Berita

MK Tetapkan 7 Hari Penyerahan SPDP ke Penuntut Umum

Terpenting bagi MK menyatakan pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap pelapor dan korban/pelapor.

Oleh:
CR-22
Bacaan 2 Menit
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait pasal-pasal prapenuntutan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari lima pasal yang diuji, MK hanya mengabulkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) wajib diserahkan penyidik kepada para pihak paling lambat 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan.   

“Menyatakan Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 130/PUU-XIII/2015di Gedung MK, Rabu (11/1). (Baca juga: Aturan Prapenuntutan Dipersoalkan ke MK)

Sebelumnya, Pasal 109 ayat (1) KUHAP berbunyi “dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupkan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.”

MK menyebutkan bahwa waktu paling lambat 7 hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan atau menyelesaikan SPDP sebelum disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum.Menurut Mahkamah kendala proses prapenuntutanyangsering ditemui adalah penyidik tidak memberikan SPDP ataupun mengembalikan berkas secara tepat waktu.

Hal tersebut jelas berimplikasi kerugian bagi terlapor dan korban/pelapor.Sebab,hak-hak terlapor menjadi tidak pasti dikarenakan mekanisme yang tidak tegas dan jelas. Haliniberimbas tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana yang merugikan terlapor dan korban/pelapor yang juga tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

“MK melihat adanya keterlambatan mengirimkan SPDP dari penyidik kepada jaksa penuntut umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan itu menyebabkan tidak adanya kepastian hukum terkait penanganan perkara tersebut,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.

Menurut Mahkamah, penyampaian SPDP kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban penyidik untuk menyampaikannya sejak dimulainya proses penyidikan, sehingga proses penyidikan tersebut berada dalam pengendalian penuntut umum danpemantauan terlapor dan korban/pelapor.

Faktanya, yang terjadi selama ini kadangkala SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurutnyahal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law sepertidijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Baca juga: Prapenuntutan Dipersoalkan, Kejaksaan dan Kepolisian Menjawab)

Mahkamahberpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor.Karena itu,terpenting bagi MK menyatakan pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap pelapor dan korban/pelapor.

Alasan Mahkamah didasarkan pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP,yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan dapat menunjuk penasihat hukumnya. Sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembalian penyidikan atas laporannya.

Atas dasar itu, menurut Mahkamah, dalil permohonan yang diajukan para pemohon bahwa SPDP tersebut bersifat wajib beralasan menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya dengan jaksa penuntut umum, akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan korban/pelapor.(Baca Juga : Ahli Ungkap Kejanggalan Proses Penyidikan Polri)

Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Pemantau Peradian Indonesia (MaPPI FHUI) Choky Ramadhan bersama aktivis lain Carlos Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto mempersoalkan Pasal 14 huruf b dan huruf I, Pasal 109 ayat (1), dan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 139 KUHAP terkait pemeriksaan berkas perkara dalam proses prapenuntutan.

Para pemohon berpendapat ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP  semakin memperlemah peran penuntut umum sebagai pengendali perkara. Praktiknya, proses prapenuntutan sering menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik dan berlarutnya penanganan perkara dalam proses prapenuntutan (bolak-balik berkas perkara).

Misalnya, Usman Hamid menjadi tersangka pencemaran nama baik sejak tahun 2005 hingga kini tidak jelas penanganan perkaranya. Ada pula Andro, seorang pengamen di Cipulir yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam tahap penyidikan. Andro mencabut keterangan Berita Acara Penyidikan (BAP) yang mengaku pernah membunuh karena di bawah tekanan penyidik. Meski pengadilan tingkat pertama menghukum Andro, di tingkat banding dan kasasi Andro dibebaskan karena pengakuan tersangka terbukti diambil secara tidak sah.

Para pemohon meminta agar pasal-pasal itu ditafsirkan secara konstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 14 huruf b KUHAP khususnya frasa “apabila ada kekurangan” dihapus, sehingga apabila tidak ada kekurangan, jaksa tetap bisa melakukan pemeriksaan tambahan.
Tags: