Hukum Sulit Menjerat ASN yang Lakukan ‘Jual-Beli Jabatan'
Berita

Hukum Sulit Menjerat ASN yang Lakukan ‘Jual-Beli Jabatan'

Banyak faktor mengapa ASN rela melakukan suap demi naik jabatan atau mengisi jabatan tertentu.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Foto: NNP
Foto: NNP
Demi mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, ditenggarai ada banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) –dahulu lazim disebut Pegawai Negeri Sipil/PNS- yang rela merogoh kocek yang tak jarang besar untuk memperolehnya. Sayangnya, praktik tidak sah untuk mendapatkan jabatan seperti itu sulit sekali dijerat dengan instrumen hukum.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Na Endi Jaweng, mengatakan bahwa praktik ‘jual-beli' jabatan oleh ASN banyak dilakukan dengan cara memberikan sejumlah uang kepada kepala daerah. Praktik suap tersebut diduga juga banyak melibatkan perantara demi memuluskan proses mutasi dan promosi jabatan.

“Kewenangan KPK terbatas hanya untuk penyelenggara dan penegak hukum,” ujar Endi saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (12/1).

Upaya menjerat ASN yang melakukan ‘beli jabatan’ kepada kepala daerah dinilai cukup sulit. Selain karena kewenangan KPK yang dibatasi hanya untuk penyelenggara negara, yakni kepala daerah yang bersangkutan, faktor lainnya adalah tidak adanya pihak yang mau melaporkan secara resmi mengenai adanya suap dalam praktik jual-beli jabatan tersebut.

Jual-beli jabatan, menurutnya adalah upaya melakukan komersialisasi terhadap birokrasi. Dari sini, ada potensi korupsi turunan yang baru secara berjenjang mulai dari jabatan yang paling tinggi ke jabatan yang lebih rendah. (Baca Juga: Mendorong Lembaga Khusus Pengawas Seluruh Instansi)

 “Itu lahirkan korupsi baru ke jajaran bawah dan bawahnya. Ini jadi spiral, berputar. Harus dibendung dari hulu,” kata Endi.

Sebetulnya cara paling sederhana yang dapat mengurangi potensi tersebut terdapat dua instrument, pertama lewat peran Partai Politik (parpol) dan yang kedua peran masyarakat sebagai pemilih. Bila parpol mengendus ada kader partai mereka yang meminta sejumlah uang, maka sejatinya parpol wajib memecat orang yang bersangkutan sebagai anggota parpol. Bagi masyarakat, kuncinya ada saat proses Pilkada berlangsung dimana jangan sampai memilih calon pemimpin yang jelas-jelas melakukan money politic.

“UU ASN sudah ada desain seleksi yang bagus. Dulu melalui kepangkatan, saat ini ada lelang jabatan,”

Menurut Endi, proses seleksi jabatan pimpinan tinggi sebagaimana diatur UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah didesain dengan baik. Dalam aturan sebelumnya, proses pengisian didasarkan kepada kepangkatan tetapi dalam aturan yang baru diatur melalui lelang jabatan sebelum pengisian jabatan pimpinan tinggi. (Baca Juga: Ancaman Komisi ASN Bagi Kepala Daerah ‘Nakal’)

“Ini penindakan harus dapat perhatian,” kata Endi.

Di tempat yang sama, Komisioner Komisi ASN, Waluyo mengamini sulitnya membuat orang yang mengetahui praktik jual-beli jabatan agar melaporkan dan mengungkapkannya. Namun, apabila ada pengaduan, Komisi ASN dapat memanggil ASN yang bersangkutan untuk dimintai keterangannya. Dari keterangan yang didapat, Komisi ASN memastikan apakah telah ada pelanggaran atau tidak yang dilakukan oleh ASN yang bersangkutan.

Dalam hal pemanggilan ternyata data yang diperoleh dianggap tidak cukup, Komisi ASN dapat turun ke lapangan untuk mengecek kebenaran dokumen atau mendapatkan situasi langsung yang ada di lapangan. Bila sudah meyakini bahwa bukti-bukti yang didapat kuat, barulah Komisi ASN mengeluarkan rekomendasi. (Baca Juga: Pro Kontra Wacana Terpidana Maju Calon Kepala Daerah)

“Yang namanya suap ini, orang yang menyuap dan disuap takut untuk melapor. Kalau kita mau melaporkan ke KPK pasti ada indikasi yang kuat. Kalau hanya gossip biasa, itukan belum bisa. Ini tantangan kita untuk meng-encourage supaya masyarakat mau melaporkan,” ujar Waluyo.

Namun, kata Waluyo, ada problem di mana rekomendasi yang disampaikan Komisi ASN seringkali tidak ditindaklanjuti. Padahal, Pasal 120 ayat (5) UU ASN tegas menyatakan bahwa rekomendasi Komisi ASN bersifat mengikat para pihak. hanya saja, karena kewenangan Komisi ASN tidak berdampak langsung pada aspek kepegawaian maupun keuangan terhadap ASN, maka sulit untuk membuat efek jera.

Penanganan Laporan Pengaduan dan Penyelidikan Komisi ASN
Tahun
20152016
Jumlah Kasus Keseluruhan191278
Selesai Ditangani87205
Proses10473
Pelanggaran Kasus Netralitas2956
Penanganan Kasus Netralitas (Selesai)937
Sumber: Komisi ASN, 2017.

Yang paling bisa dilakukan Komisi ASN adalah melakukan upaya pencegahan sebagaimana tegas diatur dalam UU ASN. Dimana penegakan norma dasar kode etik dan kode perilaku itu setidaknya dapat meningkatkan kesadaran atas etika profesi ASN. “Tapi pengaduan yang ada itu, biasanya yang lebih berat itu kalau ada intervensi dari kepala daerah. Kalau dari ASN dikasih kesadaran, dia cenderung mau tertib. Ini pentingnya pemilihan kepala daerahnya,” kata Waluyo.

Wakil Koordinator ICW, Ade Irawan juga melihat bahwa jual-beli jabatan justru menjadi awal dari korupsi yang baru. Mereka akan cenderung berusaha ‘mengamankan’ posisi pada jabatan mereka yang baru dapatkan dengan mencari aman dan tunduk terhadap apapun yang dimintakan oleh si atasan. Akibatnya, birokrasi yang dijalankan sangat rentan dari praktik korupsi. (Baca Juga: Pelik Mencari Sosok Pemimpin Banten Di Luar ‘Dinasti Politik’)

“Supaya posisi aman atau tidak dimutasi, maka akan cari-cari. Dalam konteks Pilkada, jadi logistik kepala daerah yang bersangkutan untuk pemenangan,” kata Ade.

Menurut Ade, birokasi sejatinya memainkan peran penting buat jalannya pemerintahan di setiap daerah. Ironisnya, data ICW menunujukkan tren korupsi di Indonesia lima tahun belakangan menunjukkan korupsi lewat birokrasi seringkali menempati urutan pertama. Korupsi birokasi ini memang bukan satu-satunya modus, namun cara apabila terus menerus terjadi akan merusakan makna otonomi daerah sesungguhnya.

“Ini bukan soal uang negara yang hilang. Dampak turunannya, negara menjadi tidak bisa layani masyarakat,” tutup Ade.

Sekadar informasi, salah satu contoh terjadinya praktik jual-beli jabatan terjadi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Akhir Desember 2016 kemarin, KPK menangkap Bupati Klaten, Sri Hartini lantaran diduga melakukan jual-beli jabatan di Pemerintahan Kabupaten Klaten.

Hartini dan Wakilnya, Sri Mulyani terpilih dalam Pemilihan Kepala Daerah pada 9 Desember 2015. Hartini adalah istri almarhum Haryanto Wibowo, Bupati Klaten Periode 2000-2005. Sebelum menjabat Bupati, Hartini menjabat Wakil Bupati 2010-2015 mendampingi Sunarna, yang merupakan suami Mulyani.
Tags:

Berita Terkait