Materi yang mendapat kritikan adalah pembentukan perusahaan induk BUMN (holding), dan tidak dilibatkannya DPR dalam pengalihan saham suatu BUMN ke BUMN lain. PP yang baru menegaskan penyertaan modal negara dari suatu BUMN ke BUMN lain bisa dilakukan tanpa melalui APBN. Konsekuesinya, pengalihan modal negara itu tak perlu persetujuan DPR. (Baca juga: Ini Poin Penting PP Penyertaan Modal Negara Bagi BUMN).
Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, termasuk yang kritis menanggapi kebijakan terbaru tersebut. Ia mengkhawatirkan potensi timbulnya masalah hukum dalam pelaksanaan PP No. 72 Tahun 2016. Menurut dia, tujuan PP ini sudah bagus dan baik. Yang potensial masalah adalah pengalihat aset ke swasta. “PP ini bagus kok, kecuali tentang pengalihan aset ke swasta. Itu yang agak rawan, karena di UU BUMN melepaskan satu lembar saham pun atau satu rupiah pun kepada swasta itu adalah privatisasi,” ujarnya dalam diskusi Populi Center dan Smart FM di Jakarta, Sabtu (14/1).
Mengacu pada pada Pasal 78 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN bahwa privatisasi dilakukan dengan penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, langsung kepada investor, atau kepada manajemen dan/atau karyawan perusahaan swasta yang bersangkutan. Sementara berdasarkan Pasal 24 ayat (5) UU Keuangan Negara mengatur bahwa privatisasi perusahaan negara harus dengan persetujuan DPR. (Baca juga: Kini, Penyertaan Modal Negara dari BUMN ke BUMN Bisa Dilakukan Tanpa Melalui APBN).
Anggota Komisi VI DPR, Zulfan Lindan, menyatakan keberatan atas ketentuan pengalihan aset ke perusahaan swasta tanpa persetujuan DPR. Kebijakan itu, kata dia, potensial melanggar konstitusi. “Nggak bisa, ini kan sistem. Jadi kalau proses ini tidak dilalui mekanisme kita jadi kacau,” ujarnya di acara yang sama. (Baca juga: Komisi VI DPR Setujui Privatisasi 4 BUMN dengan Catatan).
Zulfan tak terlalu mempersoalkan pembentukan holding company BUMN DPR mempersilakan Pemerintah melakukan efisiensi pada perusahaan-perusahaan BUMN yang ada. Cuma, pengalihan aset tanpa persetujuan DPR berbahaya. Karena itu, dalam waktu dekat DPR akan meminta Pemerintah memberikan penjelasan. “Kami panggil, pokoknya dalam minggu depanlah. Kalau nggak (nanti) melanggar Undang-Undang. Apa mau Presiden melanggar Undang-Undang?” tegasnya.
Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia Danang Girindrawardana, menyatakan kalangan pengusaha menyambut baik atas peluang yang diberikan untuk bisa menjadi bagian dari kontribusi pembangunan negara. Cuma, ada pertanyaan kritis yang harus diselesaikan mengenai sinkronisasi PP No. 72 Tahun 2016 dengan UU BUMN dan UU Keuangan Negara. “Karena itulah perlu ditinjau kembali,” katanya.
“Kita senang saja kalau bisa menjadi bagian dari BUMN. Artinya kita bisa membeli aset BUMN, bisa menjadi bagian dari kontribusi pembangunan strategis negara. Cuma kita juga tidak mau melanggar hukum,” tambah Danang.
Menurut Danang, pengusaha akan berhati-hati jika memang PP ini akan dilanjutkan pemberlakuannya. Sebab tak sedikit BUMN terbelit masalah hukum. Apalagi jika ditambah potensi masalah pengalihan aset. Pengusaha tak ingin terbelit masalah lebih banyak. Pengusaha juga khawatir potensi jerat pidana korupsi jika swasta ikut membeli aset negara.
Tertib administrasi dan tertib hukum dalam setiap penyertaan modal negara pada BUMN dan PT berikut segala perubahannya menjadi sangat penting. Hal ini karena modal negara pada BUMN dan PT merupakan bagian dari kekayaan negara yang yang harus dipertanggungjawabkan pengelolaannya. Pengaturannya selama ini mengacu pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.