Kasus Penghinaan Lambang Negara, Polisi Mesti Buktikan Niat Jahat
Berita

Kasus Penghinaan Lambang Negara, Polisi Mesti Buktikan Niat Jahat

Perkembangan hukum pidana saat ini, selama ada jalan keluar lain seharusnya pemidanaan tidak menjadi pilihan utama.

Oleh:
CR-22
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: Sgp
Ilustrasi. Foto: Sgp
Pascareformasi setiap orang dijamin kebebasannya menyampaikan pendapatnya di muka umum oleh Konstitusi. Namun,dalam perjalanannya, kebebasan ini menuntut kehati-hatian dan batasanbagaimana warga negara menyampaikan pendapatnya. Apalagi, ketika dihubungkan dengan lambang negara yang oleh aturan perundang-undangan telah diatur sebagai simbol supremasi dan kedaulatan negara.

Sebab, tak jarang kita menemukan adanya masyarakat harus berurusan dengan hukum akibat kurang hati-hati menyampaikan pendapatnya, terutama yang bersentuhan dengan penghinaan terhadap lambang negara. Seperti kasus Zaskia Gotik yang diduga pernah menghina Pancasila. Kini, kasus ini tengah dialami Imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab terkait kasus dugaan penistaan simbol negara Pancasila.   (Baca juga: Polda Usut Kasus Dugaan Penghinaan Lambang negara oleh Zaskia Gotik)

Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana berpendapat yang terpenting dalam penanganan kasus penghinaan terhadap lambang negara mesti membuktikan mens rea (niat jahat) dari si pelaku. Dia melanjutkan niat jahat ini diwujudkan dengan maksud atau kesengajaan dari pelaku saat melakukan tindakan yang diduga penghinaan terhadap lambang negara.

“Penyidik harus mampu membuktikan adanya kehendak jahat (mens rea). Kehendak jahat ini ditunjukan saat seseorang melakukan tindakan penghinaan terhadap lambang negara,” tutur Ganjar kepada hukumonline beberapa waktu lalu.(Baca juga: Ini Kata Pakar Pidana Soal Kasus Zaskia Gotik)

Dia mengingatkan penyidik Polisi dalam menangani perkara dugaan penghinaan terhadap lambang negara perlu mengedepankan prinsip utama hukum pidana ini (unsur niat jahat. Sebab, meski suatu perbuatan memenuhi unsur pidana, tetapi belum tentu perbuatan tersebut layak untuk dipidanakan.

“Dalam hukum pidana tidak semua perbuatan yang memenuhi unsur pidana harus diberikan sanksi. Pertimbangan utamanya, apakah perbuatan dilakukan dengan melawan hukum dan apakah orangnya dapat dipersalahkan?”

Gandjar mencontohkan dalam sebuah pertunjukan teater, misalnya, kritikan tajam sering terlontar dalam pertunjukan tersebut. Bahkan, pertunjukan teater ini lebih disengaja karena sejak awal sudah diskenariokan. “Dalam konteks ini apakah ini melakukan penghinaan atau hanya sekadar sebuah seni pertunjukan?”

Selain itu, hukum pidana harus tetap menunjung tinggi prinsip ultimum remedium sebagai senjata pamungkas (upaya terakhir) dalam menyelesaikan suatu kasus. Makanya, perkembangan hukum pidana saat ini, selama ada jalan keluar lain seharusnya pemidanaan tidak menjadi pilihan utama. “Ada prinsip permaafan hakim. Jika seorang hakim melihat bahwa seorang terdakwa layak dimaafkan, meskipun ia bersalah, bisa saja hakim tidak menjatuhkan hukuman kepadanya.”

Jerat Pidana
Dalam Undang-Undang 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan simbol kedaulatan dan kehormatan negara, serta simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan negara. Dalam Pasal 57 UU 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan disebutkan :
Setiap orang dilarang:
a.    mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
b.    menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
c.    membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
d.    menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Ancaman hukuman pidana bagi pelanggarnya diatur Pasal 68 UU 24Tahun 2009, “Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00.”

Dari pasal tersebut dapat dilihat unsur-unsur pidananya berupa :  setiap orang;  mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak lambang negara, dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara. Karena itu, untuk dapat dihukum dengan pasal ini, orang tersebut harus memenuhi seluruh unsur-unsur pidana tersebut dan membuktikan “dengan maksud” atau dengan sengaja menghina lambang negara.  

Sementara Pasal 154a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan, “Barang siapa menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.”

Terkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa “menodai” adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghina.
Tags:

Berita Terkait