3 Kewajiban Bank Sistemik Atasi Krisis Lewat Konsep Bail In
Berita

3 Kewajiban Bank Sistemik Atasi Krisis Lewat Konsep Bail In

Saat ini, aturan tersebut masih dalam tahapan permintaan tanggapan kepada masyarakat. Nantinya, bank akan dikenakan sejumlah sanksi berupa denda hingga sanksi administratif. Untuk denda, besarnya mulai puluhan dan ratusan juta bagi yang terlambat melakukan pelaporan opsi penyelamatan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ketua DK OJK, Muliaman D. Hadad. Foto: RES
Ketua DK OJK, Muliaman D. Hadad. Foto: RES
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) fokus menyelesaikan regulasi teknis yang dimandatkan UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Dari sejumlah regulasi yang dimandatkan UU PPKSK, OJK saat ini memprioritaskan merampungkan POJK, salah satunya soal rencana aksi (recovery plan) bagi bank sistemik.

“OJK akan menerbitkan beberapa peraturan terkait, khususnya ketentuan mengenai rencana aksi (recovery plan) bagi bank sistemik” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad saat berpidato di hadapan ratusan pelaku usaha jasa keuangan, Jumat (13/1) pekan lalu di Jakarta.

Rancangan POJK (RPOJK) tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) Bank Sistemik saat ini sudah masuk tahap permintaan tanggapan kepada masyarakat. Lewat aturan ini, OJK berharap memperjelas bagaimana penanganan permasalahan bank sistemik dengan menggunakan sumber daya bank itu sendiri dan pendekatan bisnis tanpa menggunakan anggaran negara. Merujuk draf RPOJK yang didapat Hukumonline, termuat tiga ‘skenario’ penanganan permasalahan tersebut, antara lain rencana pemulihan, pengkinian rencana pemulihan, dan perbaikan rencana pemulihan.

Pertama, Pasal 8 RPOJK Rencana Aksi Bank Sistemik tegas mengatur bahwa bank wajib menyusun pedoman rencana pemulihan dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) yang paling kurang memuat gambaran umum mengenai bank seperti kondisi bank, lini bisnis, struktur kelompok usaha bank, dan analisis skenario dampak perubahan kondisi bank. (Baca Juga: Resmi Jadi UU, Ini Poin Penting UU Penanganan Krisis)

Selain memuat gambaran umum, rencana pemulihan juga paling sedikit memuat mengenai opsi pemulihan (recovery options) dengan menetapkan indikator diantaranya permodalan, likuiditas, rentabilitas, dan kualitas aset. Selain indikator tersebut, bank juga harus menetapkan indikator tambahan dimana setiap indikator harus memperhatikan trigger level untuk mengaktivasi rencana penerapan pemulihan.

Terkait, penetapan opsi pemulihan permasalahan permodalan, bank wajib menetapkan opsi pemulihan berupa peningkatan modal yang menjadi kewajiban pemegang saham pengendali atau pemegang saham terakhir (ultimate shareholder). Caranya, dapat melalui setoran modal, menunda pembagian dividen atau pembagian dividen saham (stock dividend), lalu konversi instrumen utang yang punya karakteristik modal milik pemegang saham menjadi saham biasa atau write-down bagi instrument utang yang punya karakteristik modal.

Selain itu, opsi pemulihan permasahalan modal juga dapat dilakukan dengan peningkatan modal yang mengikutsertakan pihak lain, melalui pengubahan jenis utang menjadi modal bank dengan cara konversi utang atau bisa juga dengan write-down bagi instrumen utang yang memiliki saham biasa. Atau opsi pemulihan lainnya berupa penerbitan saham (right issue) dan/atau private placement. (Baca Juga: Belasan Regulasi Ini Akan Diterbitkan OJK Tahun 2017)

Terkait dengan opsi pemulihan dengan mengubah jenis utang tertentu menjadi modal bank tersebut, bank wajib memiliki instrumen utang yang memiliki karakteristik modal dengan tetap memperhatikan ketahanan permodalan serta dampak penerbitan instumen utang yang punya karakteristik modal terhadap rentabilitas. Pasal 37 ayat (1) RPOJK tentang Rencana Aksi Bank Sistemik mewajibkan pemenuhan instrumen utang tersebut untuk pertama kali dipenuhi bank paling lambat 1 Januari 2018 atau satu tahun sejak tanggal persetujuan rencana pemulihan oleh OJK.

Sementara, dalam hal opsi pemulihan untuk permasalahan likuiditas, bank dapat menetapkan opsi pemulihan dengan memiliki credit line di pasar uang ataupun pengajuan pinjaman likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Indonesia (BI). Kemudian, dalam hal opsi untuuk permasalahan rentabiltas, bank dapat menetapkan opsi berupa peningkatan aktivitas penagihan, program efisiensi biaya, dan penjualan aset tetap, khususnya aset yang terbengkalai dan bermasalah.

Kemudian, dalam hal opsi pemulihan untuk permasalahan kualitas aset, bank dapat menetapkan opsi pemulihan berupa restrukturisasi kredit, penjualan aset bermasalah, dan/atau hapus buku aset produktif. Pasal 29 RPOJK tentang Rencana Aksi Bank Sistemik mengatur bahwa rencana pemulihan tersebut disampaikan kepada pihak internal, yakni seluruh unit dan pegawai serta pihak eksternal, yakni pemegang saham, investor, counterpart, dan pihak lain yang berkepentingan.

Kedua, dari rencana pemulihan yang disusun di atas, RPOJK tentang Rencana Aksi Bank Sistemik juga mengamanatkan agar bank sistemik melakukan evaluasi dan pengujian (stress testing) rencana pemulihan secara berkala paling sedikit satu kali dalam setahun atau berdasarkan kondisi tertentu yang berpengaruh kepada bank seperti perubahan kondisi eksternal (market-wide shock). Tak hanya itu, bank juga diwajibkan melakukan pengkinian rencana pemulihan (updating) paling sedikit sekali dalam setahun dan disampaikan kepada OJK.

Ketiga, Pasal 34 RPOJK tentang Rencana Aksi Bank Sistemik mengatur bahwa OJK dapat meminta bank melakukan perbaikan rencana pemulihan apabila dinilai belum mencukupi atau belum sesuai dengan ketentuan. Paling lama 10 hari kerja, perbaikan rencana pemulihan itu wajib disampaikan kembali. Bila tidak, maka bank akan dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar Rp 10 juta per hari. (Baca Juga: UU PPKSK, Penanganan Bank Sistemik Tanpa Gunakan APBN)

Selain itu, apabila setelah 30 hari kerja sejak batas akhir waktu penyampaianbank tidak menyampaikan rencana pemulihan, pengkinian rencana pemulihan, atau perbaikan rencana pemulihan akan dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar Rp500 juta. Meskipun telah dikenakan sanksi, hal itu tak menghapus kewajiban memenuhi ketentuan penyampaian tersebut.

Mesti dicatat, rencana pemulihan tersebut wajib mendapat persetujuan terlebih dahulu dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) lantaran dalam rencana pemulihan memuat peran pemegang saham untuk perbaikan kondisi keuangan melalui penambahan modal. Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana pemulihan akan diatur lagi dengan Surat Edaran OJK (SEOJK).Bank wajib menyampaikan rencana pemulihan kepada OJK untuk pertama kali paling lambat akhir Juli 2017. (Baca Juga: Soal Bank Sistemik, OJK Klaim Telah Antisipasi Lebih Dulu)

“Ketentuan iniakan memperjelas konsep bail-in yang selaras dengan praktek di Indonesia serta implikasinya terhadap penyusunan mekanisme resolusi perbankan lainnya, termasuk Program Restrukturisasi Perbankan (PRP),” tambah Muliaman.

Seperti diketahui, 17 Maret 2016 yang lalu DPR telah mengesahkan UU PPKSK. Salah satu poin penting lainnya terkait pencegahan krisis sistem keuangan adalah kerjasama antara OJK dan BI dalam menetapkan bank mana saja yang akan ditunjuk sebagai bank sistemik. Ada dua jenis kesulitan yang dialami oleh bank sistemik, yakni kesulitan likuiditas dan kesulitan solvabilitas. Bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dapat mengajukan pinjaman kepada BI dengan beberapa syarat. (Baca Juga: Ini Penjelasan Menkeu Skema Bail Out Tak Ada di UU Penanganan Krisis)

Sementara, bank sistemik yang mengalami kesulitan solvabilitas, UU PPKSK menggunakan dua pendekaatan. Pertama, OJK mengawasi pelaksanaan rencana aksi yang dilakukan bank sistemik. Apabila permasalahan solvabilitas semakin memburuk, OJK akan menetapkan bank tersebut sebagai “bank dalam pengawasan khusus” dan meminta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) meningkatkan intensitas persiapan penanganan bank sistemik.

Kedua, dalam hal penanganan tersebut tidak memecahkan persoalan, dalam tahap ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), lembaga yang bertanggungjawab menjaga stabilitas keuangan menugaskan LPS untuk mengambil alih penanganan bank melalui pengalihan aset atau kewajiban bank sistemik kepada bank lain yang bertindak sebagai penerima atau perantara.

“Melengkapi pengaturan ini, juga akan diterbitkan peraturan penyempurnaan tindak lanjut pengawasan bank (exit policy) dan pendirian bank perantara (bridge bank),” kata Muliaman.

Bank Perantara
Saat ini OJK juga tengah menyusun aturan mengenai RPOJK tentang Bank Perantara. Progressnya sendiri masih sama yakni tahap permintaan tanggapan dari publik sampai awal Februari 2017 mendatang. Berdasarkan draf RPOJK tentang Bank Perantara yang didapat Hukumonline, bank perantara ini dibentuk sebagai sarana untuk memisahkan aset dan kewajiban bank bermasalah yang dinilai punya kualitas aset yang baik dengan aset dan kewajiban yang dinilai buruk.

Pasal 28 RPOJK tentang bank perantara menyebutkan bahwa bank perantara hanya dapat menerima pengalihan aset sepanjang aset tersebut memiliki kualitas lancar, tidak sengketa, disita, atau dijaminkan serta aset tetap dan inventaris yang digunakan dalam kegiatan usaha bank. Sementara, bank perantara hanya dapat menerima kewajiban sepanjang simpanan nasabah penyimpan, termasuk simpanan dari bank lain serta pinjaman yang diterima dari bank lain dalam bentuk transaksi pasar uang antar-bank.

Bank perantara hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh LPS. Dengan kata lain, pemegang saham bank perantara tersebut hanyalah LPS. Bank perantara ini baru dapat beroperasi setelah memperoleh izin dari OJK dengan terlebih dahulu mengajukan persetujuan prinsip dan izin usaha. Modal dasar pendirian bank perantara ini sendiri mengacu kepada ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.  

Namun, dalam hal bank perantara ditetapkan sebagai bank sistemik (systemically important bank) maka bank wajib memenuhi tambahan modal sebagai penyangga (buffer) dalam bentuk capital surcharge sebagaimana ketentuan OJK mengenai penetapan systemically important bank dan capital surcharge. Pasca mendapatkan izin usaha dari OJK, bank perantara tersebut harus melakukan kegiatan usaha perbankan paling lambat 30 hari setelah tanggal persetujuan tersebut. Pasalnya, apabila setelah jangka waktu 30 hari bank perantara belum melakukan kegiatan, maka izin tersebut akan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 31 RPOJK tentang bank perantara menyebutkan bahwa bank dapat menjalankan produk dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank asal. Bank perantara juga dapat melakukan pembukaan jaringan kantor baru untuk mendukung operasional. Yang mesti dicatat, bank perantara tetap berkewajiban melakukan tindakan pengawasan yang ditetapkan oleh OJK.
Tags:

Berita Terkait