Polemik Status Fatwa, Begini Pandangan MUI
Utama

Polemik Status Fatwa, Begini Pandangan MUI

Agar fatwa MUI memiliki kekuatan hukum untuk dieksekusi, fatwa tersebut terlebih dahulu harus dijadikan hukum positif melalui peraturan perundang-undangan.

Oleh:
CR-22
Bacaan 2 Menit
FGD Polri tentang Kedudukan Fatwa MUI. Foto : CR-22
FGD Polri tentang Kedudukan Fatwa MUI. Foto : CR-22
Pasca kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Nonaktif, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sejumlah pihak mempertanyakan status dan kekuatan mengikat sebuah fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan, implikasi keluarnya fatwa atau sikap kasus keagamaan MUI dalam kasus ini dianggap memunculkan gangguan keamanan dan ketertiban serta mempengaruhi kedudukan fatwa MUI dalam sistem hukum positif Indonesia.     

Pernyataan ini disampaikan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito karnavian saat menjadi pembicara kunci (keynote speech) dalam acara Focus Group Discussion (FGD) di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Selasa (17/1) kemarin. Selain Kapolri, hadir sebagai pembicara yaitu Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan mantan Ketua MK Moh Mahfud MD.      

Tito mengatakan kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok didasarkan pada sikap keagamaan MUI yang menyimpulkan Ahok telah menistakan agama, Al-Qur’an, dan ulama. Atas dasar fatwa ini, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI kemudian memobilisasi masyarakat dan membentuk opini yang menimbulkan gejolak luas di kalangan masyarakat.

“Selain itu, bagaimana fatwa MUI tentang larangan penggunaan atribut nonmuslim berakibat munculnya gerakan sosial dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Fatwa MUI kini tidak hanya berdampak pada keamanan dan ketertiban, tetapi juga berkembang menjadi ancaman terhadap kebhinekaan,” tudingnya.

Tito sendiri mengakui ada perbedaan sikap yang muncul di lingkungan Polri sendiri dalam merespon keberadaan fatwa MUI ini. Seperti, adanya perilaku sosialisasi fatwa yang dilakukan sekelompok ormas saat perayaan Natal akhir tahun 2016 lalu. Karena itu, dia berharap melalui forum ini bisa menjawab berbagai persoalan yang muncul terkait status dan kedudukan fatwa MUI dalam hukum positif.

“Ini menimbulkan pertanyaan bagi kita tentang fatwa MUI, hukum positif atau tidak. Kalau ini hukum positif, apa resikonya? Kalau bukan hukum positif, apakah betul harus ditegakkan? Kalau harus ditegakkan, siapa yang harus menegakkan? Kalau disosialisasikan, siapa yang mesti mensosialisasikan? Dengan cara seperti apa mensosialisasikan?” (Baca Juga : Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Indonesia)

Fatwa sebagai hukum positif
Dalam kesempatan ini, Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin mengaku selama ini tidak pernah terjadi benturan antara fatwa MUI dengan hukum positif yang berlaku. Justru, kata Ma’ruf, yang terjadi pemberlakuan fatwa MUI sebagai hukum positif. “Sebenarnya, menurut pandangan saya tidak ada benturan antara fatwa MUI dengan hukum positif, sama sekali tidak ada,” kata Ma’ruf.

Diterangkan Ma’ruf, posisi dan kedudukan fatwa sepanjang dikeluarkan lembaga yang kredibel dan memiliki otoritas, fatwa tersebut mengikat secara syariat (ilzan syar’i) terhadap umat Islam, tetapi belum tentu mengikat secara eksekusi (ilzan tanfizi). Karena itu, agar fatwa MUI memiliki kekuatan hukum untuk dieksekusi, fatwa tersebut terlebih dahulu harus dijadikan hukum positif melalui peraturan perundang-undangan.   

“Jadi saya kira jelas status dan kedudukan fatwa MUI ini. Fatwa mengikat secara syar’i bagi tiap-tiap muslim, tetapi belum tentu bisa mengikat secara eksekusi selama belum menjadi hukum negara (peraturan perundang-undangan, red),” jelasnya.  

Terkait penjelasan Kapolri yang menyebutkan fatwa MUI menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, menurut Ma’ruf, fatwa MUI yang berkaitan dengan penggunaan atribut nonmuslim hanya ditujukan kepada umat Islam. Namun, dikarenakan keberadaan fatwa ini berkaitan dengan kebiasaan di masyarakat, yang apabila ditegakkan dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Karena itu, fatwa seperti ini MUI sering melibatkan Polri agar tetap terjaganya keamanan dan ketertiban.

“Kami bersama Kapolri membuat press conference, tidak boleh ada sweeping, fatwa ini hanya untuk orang Islam. Kemudian sosialisasi hanya boleh dilakukan oleh MUI, tidak boleh ada pemaksaan, kalau terjadi pemaksaan bisa dikenakan Pasal 335 KUHP,” kata Ma’ruf. (Baca Juga : Akademisi Kritik Fatwa MUI tentang BPJS)
 
Ma’ruf menjelaskan awal proses keluarnya fatwa mengenai pelarangan penggunaan atribut nonmuslim ini didasarkan pada laporan masyarakat kepada Polri. Lalu, Polri menjawab agar masyarakat menunggu adanya fatwa dari MUI terlebih dahulu. “Mereka (pelapor) datang ke Kapolri, lalu Kapolri mengatakan itu harus ada fatwa MUI, sehingga Majelis Ulama membuat tim yang terdiri dari komisi fatwa, komisi hukum dan perundang-undangan, komisi infokom, komisi pengkajian.”

Dia melanjutkan keempat komisi ini melakukan investigasi, verifikasi, pengkajian, pematangan, dan sebagainya yang hasilnya suatu pendapat. Pendapat inilah yang disebut dengan fatwa. “Pendapat ini kita serahkan kepada penegak hukum, untuk diproses, dan setiap fatwa MUI selalu menyebutkan masyarakat tidak boleh melakukan eksekusi dan diserahkan semuanya kepada pihak penegak hukum,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait