Terbit PERMA, Tantangan Penegak Hukum Dalam Menjerat Korporasi
Kolom:

Terbit PERMA, Tantangan Penegak Hukum Dalam Menjerat Korporasi

Secara de jure korporasi telah diakui sebagai salah satu subjek hukum sebagaimana subjek hukum natural (natuuralijk person).

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Mahkamah Agung di akhir tahun 2016 telah menerbitkan PERMA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. PERMA diterbitkan dengan pertimbangan bahwa  banyak undang-undang di Indonesia yang mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas. Hal itu disebabkan prosedur dan tatacara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih belum jelas.

Pertimbangan PERMA tersebut sinkron dengan latar belakang diterbitkannya Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor PER-028/A/JA/10/2014 Tanggal 1 Oktober 2014 Tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi yaitu pengungkapan kasus yang melibatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana masih sulit diungkap mengingat kompleksitas kerumitannya.

Adapun Korporasi yang pernah diproses pidana menurut catatan penulis telah dilakukan di Kejaksaan Negeri Banjarmasin yaitu dalam perkara tindak pidana korupsi pengelolaan tanah Pasar Induk Antasari di Banjarmasin.  Dalam perkara tersebut telah dipidana subjek hukum manusia atas nama ST Widagdo bin Suradji Satro Dwiryo dan Drs. H Edwan Nizar (Direksi PT.Giri Jaladhi) serta subjek hukum korporasi atas nama PT. Giri Jaladhi dengan putusan PN.Banjarmasin Nomor:812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm dan diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan Nomor:04/PID.SUS/2010 /PT.BJM.

Selain itu, penulis juga mencatat di awal tahun 2017 terdapat persidangan lanjutan kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama terdakwa Joresmin Nuryadin (anak mantan Bupati Seluma), terdakwa Murman Effendi dan terdakwa korporasi PT. Puguk Sakti Permai (PSP) di Pengadilan Tipikor Bengkulu. Diharapkan PERMA dan PERJA tersebut di atas dapat memuluskan penanganan perkara yang melibatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidananya.

Namun menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan kejahatan korporasi? Mengapa harus terbit PERMA dan PERJA dalam memproses pidana korporasi yang melakukan tindak pidana? Apakah tidak ada hukum acara pidana yang diatur dalam undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur permasalahan tersebut? Apakah PERMA dan PERJA tersebut dapat berlaku surut?

Di Indonesia, pengaturan Korporasi sebagai subjek hukum diatur dalam Pasal 1 angka 13 dan Pasal 70 UU  Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Pasal 1 ayat (21), Pasal 75 huruf b dan Pasal 130 UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,  Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 78 ayat (14) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 116, 117, 119 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 6  UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas maka secara de jure korporasi telah diakui sebagai salah satu subjek hukum sebagaimana subjek hukum natural (natuuralijk person). Sebagai contoh dalam Pasal 1 angka 1 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa “korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Dengan demikian korporasi yang melakukan suatu kejahatan disebut sebagai kejahatan korporasi. Hal tersebut sesuai dengan definisi kejahatan korporasi menurut Black’s Law Dictionary yaitu “any criminal offence committed by and hence chargeable a corporation because of activities of its officers or employee (e.g. price fixing, toxic waste dumping) often referred to as “white collar crime”.

Setelah pengaturan tentang definisi korporasi maka pengaturan selanjutnya adalah bagaimana mengatur hukum acara pidana dalam rangka menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana. UU No 31/1999 telah mengatur secara umum hukum acara pidana untuk menjerat korporasi namun pengaturannya masih terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 20, sebagai berikut:

(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Pengaturan dalam Pasal 20 di atas masih bersifat umum misalnya hanya menegaskan bahwa tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan pengurusnya tapi tidak mengatur tentang penilaian tingkat kesalahan korporasi dari perbuatan pidana. Apakah korporasi sebagai penerima keuntungan/manfaat atau perbuatan dilakukan untuk kepentingan korporasi? Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana? Korporasi tidak melakukan langkah-langkah pencegahan yang diperlukan?.

Pengaturan dalam Pasal 20 di atas, tentang mekanisme kehadiran korporasi yang diwakili oleh pengurus masih terlalu sumir dan cenderung membuat banyak celah hukum, sehingga dikhawatirkan dapat lolosnya korporasi dalam proses pembuktian pertanggungjawaban pidananya di persidangan.

Pengaturan Pasal 20  hanya mengatur pidana pokok berupa denda, lalu bagaimana apabila denda tersebut tidak dibayar dan bagaimana tindakan Jaksa sebagai eksekutor dalam menghadapi korporasi yang tidak membayar denda? Banyak hal lain yang perlu diatur dalam hukum acara pidana sehingga tidak membuat ragu penuntut umum dalam melimpahkan perkara dan membuat yakin majelis hakim dalam memutus perkara yang melibatkan korporasi tersebut.

PERMA Nomor 13/2016 tanggal 21 Desember 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, mengatur hal-hal yaitu pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus, pertanggungjawaban grup korporasi, pertanggungjawaban korporasi dalam penggabungan, peleburan, pemisahan dan pembubaran korporasi, cara pemeriksaan korporasi, cara pemeriksaan pengurus, cara pemeriksaan korporasi dan pengurus, gugatan ganti rugi dan restitusi, penanganan harta kekayaan korporasi, hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana, penjatuhan pidana, putusan pidana, pelaksanaan putusan dan pelaksanaan pidana tambahan atau tata tertib terhadap korporasi.

PERJA Nomor:PER-028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi memberikan pedoman sebagai berikut: kriteria perbuatan korporasi dan pengurus yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, tata cara melakukan penyelidikan dan penyidikan, tata cara penuntutan (penyusunan dakwaan, pelimpahan berkas perkara & tuntutan pidana), tata cara melaksanakan putusan pengadilan dan tata cara penanganan harta kekayaan/asset korporasi.

Seharusnya PERMA maupun PERJA di atas tidak perlu terbit untuk mengatur tata cara mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi apabila hal tersebut sudah diatur dalam Hukum Acara Pidana. Namun amandemen terhadap UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP belum pernah dibahas di DPR, akan tetapi di sisi lain kebutuhan penegakan hukum sangat diperlukan. Mengingat saat ini banyak terjadi korporasi menggunakan natuuralijk person sebagai tools of crime dengan maksud menguntungkan korporasi, akan tetapi yang dipidana hanya pengurus korporasinya saja.

Terbitnya PERMA maupun PERJA ini, dapat segera digunakan untuk memproses pidana korporasi yang telah terjadi. PERMA dan PERJA ini hanya melengkapi hukum acara pidana yang belum diatur dalam hukum positif yang ada, sehingga jangan dipandang bahwa PERMA dan PERJA ini berlaku surut.

Dengan demikian terbitnya PERMA dan PERJA ini merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum dalam menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana yang selama ini masih menjadi perdebatan tentang tata cara pelaksanaannya. Sehingga diharapkan lahirnya PERMA dan PERJA ini menjadi amunisi tambahan bagi aparat penegak hukum untuk menegakkan keadilan dimuka bumi Indonesia tercinta ini.

*) Dr. Reda Manthovani,.SH,.LLM, Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Tags: