Persoalan ‘Teknis Yudisial’ Masih Jadi Sorotan KY di 2017
Berita

Persoalan ‘Teknis Yudisial’ Masih Jadi Sorotan KY di 2017

KY telah menerima laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran KEPPH sebanyak 1.682 laporan.

Oleh:
CR-22
Bacaan 2 Menit
Gedung KY. Foto: RES
Gedung KY. Foto: RES
Salah satu wacana revisi Undang Undang  Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 terkait definisi ranah teknis yudisial dalam proses pemeriksaan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim. Karena itu, persoalan mengenai teknis yudisial ini kembali menjadi perhatian KY di tahun 2017. (Baca juga: KY Ingin Rekomendasi Penjatuhan Sanksi Diperkuat)

“Selama ini masih ada perbedaan persepsi soal teknis yudisial oleh MA dan KY,” tutur Ketua KY, Aidul Fitriciada kepada awak media dalam kesempatannya di acara Laporan Akhir Tahun 2016 dan Outlook 2017 Komisi Yudisial Republik Indonesia, di Gedung KY, Selasa (24/1).

Aidul menjelaskan dalam rangka menjaga kewibawaan hakim dan meningkatkan kapasitas setiap hakim di tanah air, memandang penting pengaturan teknis yudisial seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Bersama (PB) Ketua MA dan KY Tahun 2012 tentang tentang Panduan Penegakan KEPPH.   

“Selama ini kami memandang teknis yudisial itu sesuai dengan aturan, tidak boleh masuk ke dalam substansi putusan hakim (sebagai objek pemeriksaan),” klaim Aidul.  

Namum, faktanya MA dan KY sering berbeda memaknai istilah teknis yudisial dan kode etik dan perilaku hakim. Aidul merujuk kepada banyaknya rekomendasi KY tentang dugaan pelanggaran KEPPH, tetapi menurut MA ternyata bukan termasuk pelanggaran KEPPH. “Ada banyak yang kami putuskan pelanggaran ternyata tidak boleh (ditolak MA). Itu berbeda persepsinya dengan MA,” kata Aidul. (Baca juga: Ukuran Teknis Yudisial Perlu Diperjelas)

Aidul mencontohkan ada hakim salah menulis nilai sejumlah uang dalam putusan. Contoh lain, misalnya ada saksi yang seharusnya tertulis dalam putusan ternyata tidak tertulis. Atau sebaliknya saksi yang tidak pernah dihadirkan dalam pengadilan namun tertulis namanya dalam putusan.  

Menurutnya, jenis kesalahan seperti ini disebut sebagai legal error (kesalahan hukum), namun bagi MA kesalahan seperti ini danggap sebagai teknis yudisial. “Menurut kami itu pelanggaran, sehingga KY tidak boleh memberikan sanksi karena kesalahan seperti ini termasuk klasifikasi teknis yudisial oleh MA,” kata dia.  

Bagi KY, kesalahan-kesalahan seperti disebut unprofesional conduct atau sikap tidak profesional dari hakim. Menurut Aidul, hal ini sering terjadi di kalangan hakim dimana berdampak terhadap ketidakpuasan masyarakat. Karena itu, problem teknis yudisial ini, KY telah menyiapkan langkah-langkah koordinasi dengan MA untuk membicarakan penyelesaian perbedaan persepsi kedua lembaga terhadap definisi teknis yudisial ini.  

“Jadi posisi kami menyelamatkan kepentingan publik, bukan menyalahkan lembaga yang mana karena itu yang penting harus ada kesepahaman antar MA dan KY,” tegasnya. (Baca juga: Sejumlah Tokoh Hukum Bicara Irisan Pelanggaran ‘Teknis Yudisial’ dan ‘Perilaku Hakim’)

Untuk diketahui, polemik objek pengawasan antara pelanggaran teknis yudisial dan kode etik/perilaku hakim hingga kini masih terus menjadi perdebatan antara MA dan KY ketika menjalankan fungsi pengawasan hakim. Meski sudah ada dua aturan bersama, kedua lembaga kerap masih berbeda pandangan dalam memaknai istilah “teknis yudisial” dan “kode etik/perilaku hakim.

KY berpendapat bisa saja putusan hakim diperiksa untuk mendeteksi adanya penyimpangan. Sedangkan MA berpendapat putusan adalah mahkota hakim. Bila memang ada yang salah dengan putusan maka harus ditempuh upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut. Imbasnya, dari tahun ke tahun, tidak sedikit setiap rekomendasi KY atas penjatuhan sanksi bagi hakim tak sepenuhnya dijalankan MA.

Bahkan, Ketua MA M. Hatta Ali pernah menyampaikan salah satu penyebab memburuknya hubungan MA dan KY lantaran KY dinilai kerap memasuki wilayah teknis yudisial (substansi putusan) yang menyangkut independensi hakim ketika mengawasi etik dan perilaku hakim. Selama KY memasuki wilayah teknis yudisial sampai kapanpun hubungan kedua lembaga tidak akan pernah harmonis.

Laporan masyarakat
Dalam paparannya, KY telah menerima laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran KEPPH sebanyak 1.682 laporan dan 1.899 tembusan sepanjang 2016. Laporan tersebut terdiri dari 262 dilaporkan langsung ke kantor KY, sebanyak 1.198 dikirimkan via pos, 36 berdasarkan informasi yang diterima KY melalui berbagai pihak, sebanyak 186 laporan disampaikan via kantor penghubung, dan sebanyak 1.899 melalui surat tembusan.

Aidul mengungkapkan dari jumlah 1.682 itu, 416 laporan dinyatakan lengkap dan sudah diregister untuk ditindaklanjuti; 170 laporan bukan kewenangan KY; 224 laporan diteruskan ke Badan Pengawas MA; 13 laporan diteruskan ke instansi lainnya; 379 laporan merupakan permintaan pemantauan; 164 laporan ditutup karena tidak melengkapi kelengkapannya ataupun dicabut oleh pelaporannya; dan 40 laporan diarsipkan karena tidak tidak dilengkapi alamat pelapor.

“Dari 416 laporan yang bisa ditindaklanjuti, sebanyak 218 laporan sudah selasai proses analisisnya dan 198 laporan belum selesai dianalisis. Sedangkan, sisa penyelesaian laporan 2015 sebanyak 117 laporan, sehingga ada 335 laporan yang sudah selesai dianalisis pada 2016.”

Berdasarkan hasil keputusan sidang panel atau pleno, KY memutuskan 118 laporan telah ditindaklanjuti dan 302 laporan tidak bisa ditindaklanjuti. Tindaklanjut dari penanganan laporan tersebut, KY telah melakukan pemeriksaan terhadap 570 orang, yakni 93 terlapor, 112 pelapor, 337 saksi dan 28 kuasa hukum pelapor.

“Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut telah merekomendasikan kepada 57 hakim dijatuhi sanksi, yakni 19 hakim diberi sanksi ringan, 19 hakim diberi sanksi sedang dan 11 hakim diberi sanksi berat,” ungkapnya.

Pada 2016 ini, KY bersama MA telah melaksanakan sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) sebanyak tiga kali, yakni memberhentikan dengan hormat Hakim Falcon pada 13 April 2016, menberhentikan dengan hormat Hakim Elvia Darwati pada 13 Desember 2016 dan keputusan terhadap Hakim Pangeran Napitulu pada 13 Desember 2016 ditunda setelah terlapor tidak datang ke MKH karena sakit. (Baca Juga : Diduga Terima Suap, Hakim Ini Minta Tidak Dipecat)
Tags:

Berita Terkait