Prinsip Penting dalam Penanganan Kejahatan Korporasi
Menjerat Korporasi Jahat:

Prinsip Penting dalam Penanganan Kejahatan Korporasi

Keberhasilan penanganan perkara kejahatan korporasi membutuhkan komitmen dan pemahaman yang sama di antara aparat penegak hukum.

Oleh:
ASH/RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES
Sejak tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak aparat penegak hukum lain agar mulai berupaya menjerat korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Faktanya, selama ini pihak yang kerap meraup keuntungan dalam perkara korupsi dan perkara lain adalah korporasi.

Selama ini hanya ada dua kasus korupsi yang menghukum korporasi yakni kasus korupsi yang dilakukan PT Giri Jaladhi Wana di PN Banjarmasin dan sebuah kasus yang diusut Kejaksaan Negeri Bandung. Meski begitu, KPK dan Kejaksaan tercatat pernah beberapa kali mencoba menyisipkan pertanggungjawaban korporasi dalam surat tuntutannya, meski surat tuntutan itu ditujukan kepada terdakwa perorangan.

Upaya tersebut beberapa membuahkan hasil hingga putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), tetapi sebagian besar ditolak majelis hakim. Alasan majelis hakim tak lain karena korporasi yang dimintakan pertanggungjawaban pidana tidak dijadikan subjek dalam surat dakwaan. (Baca Juga: Lika-Liku Menarik Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Korupsi)

Kendala utamanya, penyidik dan penuntut umum enggan atau tidak berani melimpahkan perkara kejahatan korporasi ke pengadilan lantaran kesulitan merumuskan surat dakwaan. Kalaupun, ada beberapa kasus yang mencoba menjerat korporasi, seringkali putusannya lepas dengan dalih entitas korporasi tidak turut didakwakan.      

Saat diwawancarai Hukumonline di ruang kerjanya, Selasa (17/1) lalu, mantan Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) Penyusunan PERMA Kejahatan Korporasi Prof Surya Jaya mengatakan terbitnya PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi diharapkan bisa mengatasi kesulitan aparat penegak hukum dalam menindak kejahatan korporasi.  

“Persoalan aparat kesulitan menindak korporasi karena ketidakpahaman dan karena tidak ada aturan hukum acaranya. Kesulitan utama sering dihadapi ketika hendak memanggil/memeriksa korporasi, yang mau dipanggil siapa?” ujar Prof Surya Jaya.

Untuk itu, PERMA Kejahatan Korporasi ini memuat prinsip-prinsip penting yang layak diketahui terutama bagi aparat penegak ketika menangani tindak pidana yang diduga dilakukan pengurus korporasi sekaligus korporasinya. Pertama, proses pemanggilan dan pemeriksaan terhadap korporasi dan atau pengurusnya sebagai tersangka. (Baca Juga: Begini Prosedur Penanganan Pidana Korporasi)  

Surat panggilan ini memuat: nama korporasi; tempat kedudukan; kebangsaan korporasi; status korporasi dalam perkara pidana (saksi/ tersangka/terdakwa); waktu dan tempat pemeriksaan; dan ringkasan dugaan peristiwa pidana. Kedua, PERMA ini mengatur syarat surat dakwaan. “Syarat surat dakwaan ketika terdakwanya sebuah korporasi sudah diatur dalam PERMA ini,” kata Surya.  

Merujuk Pasal 12 PERMA Kejahatan Korporasi disebutkan bentuk surat dakwaan yang sebagian merujuk Pasal 143 ayat (2) KUHAP dengan penyesuaian isi surat dakwaan memuat: nama korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan korporasi, jenis korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang mewakili. Selain itu, memuat uraian secara cermat, jelas, lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Ketiga,pemisahan pertanggungjawaban (kesalahan) pidana antara korporasi dan pengurusnya. Misalnya, korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tertentu atau tindak pidana tersebut dilakukan demi kepentingan korporasi; korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; korporasi tidak mengambil langkah-langkah pencegahan atau mencegah dampak lebih besar dan memastikan kepatuhan ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

“Namun, dalam hal seorang atau lebih pengurus korporasi berhenti atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya pertanggungjawaban (pidana) korporasi. Ini ukuran pemisahan pertanggungjawaban pidana antara korporasi dan pengurusnya. Seperti apa dan kapan tindakan pengurus bisa dipertanggungjawabkan terhadap korporasi,” jelasnya. (Baca Juga: Dilema KPK Menjerat BUMN Sebagai Korporasi Pelaku Korupsi)

Keempat,pengaturan sanksi pidana korporasi yakni pidana pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan sesuai UU yang berlaku, seperti uang pengganti, penutupan perusahaan ganti rugi dan restitusi. “Korporasi yang terbukti bersalah tak hanya dijatuhi pidana denda, tetapi bisa sekaligus dijatuhi pidana tambahan. Namun, ini tergantung bunyi Undang-Undang (UU)-nya karena ada UU yang hanya mengatur besaran sanksi denda,” jelasnya.

Kelima, sistem pembuktian penanganan tindak pidana korporasi ini masih mengacu KUHAP dan UU tertentu yang mengatur khusus soal sistem pembuktian. Namun, PERMA ini menyebut keterangan korporasi merupakan alat bukti sah dalam persidangan. “Korporasi ini harus diwakili pengurus atau kuasanya. Jadi, keterangan pengurusnya inilah dianggap sebagai ‘keterangan korporasi’ dan dijadikan alat bukti yang sah.”

Dia mengingatkan upaya menjerat korporasi dibutuhkan sikap kehati-hatian dan kearifan. Sebab, penjatuhan hukuman terhadap korporasi berupa pidana denda hingga penutupan perusahaan berdampak sosial dan ekonomi masyarakat. Tak jarang, sebuah korporasi memberi kontribusi besar bagi masyarakat dan atau negara dari sisi ekonomi. “Sanksi paling ditakuti korporasi berupa pencabutan izin atau penutupan perusahaan,” katanya. (Baca Juga: Ketua MA: Kejahatan Korporasi Tidak Bisa Dijatuhi Pidana Badan)     

Atasi keraguan
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Reda Manthovani berharap PERMA Kejahatan Korporasi ini diharapkan dapat mengatasi keragu-raguan aparat penegak hukum dalam upaya menindak korporasi jahat. “Kalau saya melihat PERMA ini sangat membantu dan menghilangkan keraguan para penyidik dan penuntut umum dalam mengajukan korporasi sebagai pelaku kejahatan,” kata Reda di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Menurutnya, keberhasilan penanganan perkara kejahatan korporasi membutuhkan komitmen dan pemahaman yang sama di antara aparat pengak hukum. Sebab, bagaimanapun kemampuan teknis aparat penegak hukum sangat perlu dalam penanganan kejahatan korporasi. “Ini membutukan pelatihan penanganan perkara kejahatan korporasi dan kemauan dari penyidik dan jaksa,” lanjutnya.

Sebagai informasi, institusi Kejaksaan sendiri telah memiliki Peraturan Jaksa Agung (PERJA) No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi. “Karena itu, terpenting saat ini dibutuhkan kesamaan cara pandang antar penegak hukum dalam hal penanganan tindak pidana korporasi. Misalnya, dengan sosialisasi dan menggelar pelatihan,” harapnya.   

Hal terpenting, menurutnya menangani kejahatan korporasi harus bisa dipisahkan antara pertanggungjawaban pidana pengurus (pribadi) atau perusahaan/korporasi. Artinya, mesti diperhatikan seorang pengurus bertindak atas perintah perusahaan atau dia ingin memanfaatkan perusahaan untuk kepentingan pribadi melakukan kejahatan. Misalnya, ketika pengurus melakukan tindak pidana tertentu harus dilihat apakah tindakannya itu untuk kepentingan pribadi atau kepentingan korporasi? (Baca Juga: Kisah di Balik Terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi)

“Terlihat jelas ya, kalau dia menyuap pejabat bisa dilihat, ini untuk kepentingan dia lolos dari tuntutan hukum atau kepentingan meloloskan proposal perusahaan? Harus juga diperhatikan antara tindakan pengurus baru dan pengurus lama ketika pengurus baru tidak mengetahui tindak pidana yang dilakukan pengurus lama. Ini agar direksi baru tidak dikait-kaitkan dengan tindak pidana direksi yang lama,” tuturnya.
Tags:

Berita Terkait