Ini Kelemahan Putusan MK Terkait UU Tipikor
Berita

Ini Kelemahan Putusan MK Terkait UU Tipikor

Kelemahan tersebut dapat dilihat dalam konteks penyalahgunaan wewenang pada pengadaan barang oleh pemerintah. Penyidik terpaksa harus menunggu pengadaan barang tuntas dilaksanakan menjelang akhir tahun anggaran untuk dapat menunjukkan kerugian aktual.

Oleh:
ANT/YOZ
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Pusat Kajian Konstitusi dan Pancasila Universitas Katolik Darma Cendika (PK2P UKDC) menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Tipikor yang dinilai kontroversial karena dapat berpotensi melemahkan pencegahan korupsi.

"Putusan Mahkamah Konstitusi justru kontraproduktif dalam upaya mencegah kerugian keuangan negara akibat korupsi," kata Ketua PK2P UKDC Victor Immanuel Nalle dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/1).

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 yang dibacakan pada Rabu (25/1) telah menyatakan kata "dapat" pada kerugian keuangan negara dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah Konstitusi, dalam amar putusannya, berargumentasi bahwa pencantuman kata "dapat" pada unsur kerugian keuangan negara di kedua pasal tersebut sering disalahgunakan dalam kriminalisasi tindakan diskresi pejabat. (Baca Juga : Begini Alasan MK Ubah Delik Tipikor)

Selain itu kata "dapat" pada unsur kerugian keuangan negara, menurut Mahkamah Konstitusi, menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga seharusnya kerugian keuangan negara dibuktikan berdasarkan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) dan bukan kerugian yang potensial (potential loss).

Menurut Victor, putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengedepankan aspek kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi juga hanya melihat UU Tindak Pidana Korupsi sebagai instrumen untuk menjerat pelaku korupsi tetapi tidak menempatkannya sebagai instrumen pencegahan korupsi sebagaimana tercantum dalam konsiderans UU Tindak Pidana Korupsi.

"Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi adalah delik formil. Oleh karena itu akibat dari tindak pidana tersebut, yaitu kerugian keuangan negara, tidak perlu dibuktikan secara aktual. Penekanan pada kerugian secara aktual tersebut justru melemahkan pencegahan korupsi oleh aparat penegak hukum," katanya. (Baca Juga: KPK Anggap Putusan Delik Tipikor Persulit Pemberantasan Korupsi)

Dia juga berpendapat bahwa kelemahan dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dilihat dalam konteks penyalahgunaan wewenang pada pengadaan barang oleh pemerintah. Penyidik nantinya, lanjutnya, terpaksa harus menunggu pengadaan barang tuntas dilaksanakan menjelang akhir tahun anggaran untuk dapat menunjukkan kerugian aktual.

"Jika Mahkamah Konstitusi mencemaskan kriminalisasi terhadap tindakan diskresi pemerintah, maka sebenarnya UU Administrasi Pemerintahan telah menyediakan mekanisme perlindungan hukum," ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa pejabat pemerintah, berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, dapat mengajukan permohonan kepada PTUN untuk menilai ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang.

Tags:

Berita Terkait