Ini Alasan Mengapa Fatwa di Indonesia Bukan Dibuat Seorang Mufti
Polemik Fatwa:

Ini Alasan Mengapa Fatwa di Indonesia Bukan Dibuat Seorang Mufti

Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi jika hendak menjadi seorang mufti.

Oleh:
ADY/CR22/MYS
Bacaan 2 Menit
Fatwa MUI jadi bahan perdebatan. Foto: RES
Fatwa MUI jadi bahan perdebatan. Foto: RES
“Fatwa itu pendapat ulama,” begitulah jawaban Agus Surono. Dekan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Jakarta itu ditanyakan tentang makna fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sedang menjadi perhatian publik saat itu.

Dalam konteks Indonesia, fatwa MUI itu hasil ijtihad pada ulama. “Fatwa MUI itu representasi pendapat para ulama yang bisa mengikat dalam artian bisa dijadikan rujukan,” sambung Agus. Bahkan dalam konteks keagamaan Islam, sifatnya ‘mengikat’. (Baca juga: Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Indonesia).

Ijtihad para ulama adalah salah satu sumber hukum yang dikenal dalam Islam. Para mujtahidin (orang yang punya kemampuan untuk menggali hukum atau jawaban beserta dalil atas suatu masalah) adalah tempat bertanya orang awam. Dengan kata lain, orang awam mengajukan pertanyaan kepada orang yang punya pengetahuan agama dan dalil-dalil isyar’i. Orang inilah yang disebut mufti dan pendapatnya disebut dengan fatwa. (Baca juga: Bahasa Hukum: ‘Fatwa’ dan ‘Hukum Positif’).

Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin, menjelaskan di Indonesia, fatwa masih dibutuhkan. Suatu permasalahan mungkin saja tidak terpecahkan sehingga membuat ummat bisa mengalami kebingungan. Di situlah ummat membutuhkan seorang mufti, yakni seseorang yang menguasai ilmu secara mendalam. Lalu mengapa di Indonesia, fatwa itu justru tidak dibuat mufti melainkan oleh MUI? (Baca juga: Polemik Status Fatwa, Begini Pandangan MUI).

Menurut KH Ma’ruf Amin, di Indonesia sulit menemukan mufti perorangan yang mempunyai daya terima yang luas. Artinya, seseorang yang diterima oleh mayoritas kelompok Muslim di Indonesia. Karena itu di Indonesia lebih dikenal fatwa yang ditetapkan secara kolektif, melalui majelis ulama Indonesia. Di MUI ada namanya Komisi Fatwa yang beranggotakan puluhan orang, bahkan dalam laman resmi MUI jumlahnya 52 orang.

Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Moh. Mahfud MD memaparkan di beberapa negara Islam ada mufti yang memang diangkat oleh dan untuk negara, tetapi pemberlakuan produk fatwanya, dalam arti penegakannya, harus melalui lembaga negara. “Pendapat mufti itu langsung diambil oleh negara sebagai hukum yang harus diberlakukan”. Indonesia, kata Mahfud, tidak demikian halnya.

Ma’ruf Amin menambahkan, fatwa yang ditetap MUI diterima ummat Islam karena ulama yang tergabung dalam Komisi Fatwa MUI merupakan ulama yang berasal dari hampir semua ormas dan kelembagaan Islam. Bahkan secara kelembagaan, MUI sering diposisikan sebagai ‘mufti negara’ ketika negara lewat organ-organ pemerintahannya secara resmi meminta fatwa atau meminta opini dari perspektif syariah. “Di Indonesia tidak dikenal mufti negara karena Indonesia bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler, tapi negara yang menjunjung tinggi agama dengan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi,” papar KH Ma’ruf Amin.

Dalam konteks itu perlu dibedakan antara fatwa dengan qadha’. Yang pertama adalah keputusan hukum agama yang dikeluarkan oleh ulama dalam menjawab permasalahan yang muncul; sedangkan yang kedua adalah ketetapan hukum negara. Fatwa dan hukum negara tak perlu dipertentangan atau dibenturkan karena bisa saling mendukung. Tak percaya? Coba telusuri fatwa tentang pertambangan ramah lingkungan dan  fatwa tentang pemberantasan korupsi. Ada banyak fatwa yang sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan negara.

Syarat mufti
Siapakah yang bisa menjadi mufti? Tak ada pijakan hukumnya dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Dalam buku ‘Pengantar Hukum Islam’ (1975: 180-181), TM Hasbi As Shiddieqy mengutip pendapat Imam Ahmad, menyebutkan 5 syarat yang harus dipenuhi seorang mufti.

Pertama, mempunyai niat dalam membuat fatwa, yakni mencari keridoan Allah semata. Dalam konteks ini, mufti tidak mencari kekayaan atau kemegahan dari penerbitan fatwa.

Kedua, seorang mufti harus mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan dan dapat menahan amarah. Ilmulah yang sangat diperlukan dalam memberi fatwa. Sifat mampu menahan amarah adalah hiasan bagi ilmunya. Mufti juga membutuhkan sifat terhormat dan ketenangan jiwa. Mufti yang sedang marah sebaiknya tidak mengeluarkan fatwa.

Ketiga,mufti itu hendaklah benar-benar menguasai ilmunya karena jika kurang pengetahuannya dia mungkin tidak berani mengemukakan kebenaran. Sebaliknya, mungkin saja dia nekat mengemukakan pendapat di saat dia seharusnya diam.

Keempat, hendaklah mufti itu seorang yang mempunyai kecukupan dalam bidang materiil, bukan seseorang yang memerlukan bantuan orang untuk penopang hidupnya.

Kelima, hendaklah mufti itu mengetahui ilmu kemasyarakatan. Jika mufti tidak mengetahui keadaan masyarakat mungkin dia menimbulkan kerusakan dengan fatwa-fatwanya.
Tags:

Berita Terkait