Menunggu Sikap KPK Atas Putusan PK Praperadilan Hadi Poernomo
Utama

Menunggu Sikap KPK Atas Putusan PK Praperadilan Hadi Poernomo

Dalam amarnya MA menyatakan PK KPK tidak dapat diterima, tetapi dalam pertimbangannya MA menyatakan putusan PN Jakarta Selatan keliru.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Hadi Poernomo. Foto: RES
Hadi Poernomo. Foto: RES
Peninjauan kembali (PK) KPK atas putusan praperadilan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo ternyata telah diputus Mahkamah Agung (MA) sejak 16 Juni 2016 lalu. Namun, ada yang ambigu dalam putusan tersebut. Meski amarnya menyatakan PK KPK tidak dapat diterima, tetapi dalam pertimbangannya MA sepakat dengan dalil PK KPK.

Seperti dikutip putusan PK yang diunggah di situs MA, Majelis PK yang diketuai Hakim Agung Salman Luthan berpendapat alasan PK KPK tidak dapat diterima. Sebab, sesuai Pasal 263 ayat (1) KUHAP, upaya hukum PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya yang terbatas pada putusan pokok perkara berupa putusan pemidanaan.

Selain itu, berdasarkan Pasal 3 Peraturan MA (PERMA) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, putusan praperadilan tidak dapat diajukan PK. Meski begitu, majelis PK berpandangan, terlepas dari alasan PK KPK, tiga butir amar putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel pun keliru. (Baca Juga : Banding KPK terhadap Putusan Praperadilan Hadi Poernomo Dinilai Tepat)

Pertama, amar putusan yang menyatakan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi Poernomo tidak sah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan oleh karena itu diperintahkan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin DIK-17/01/04/2014 tanggal 21 April 2014.

Kedua, amar putusan yang menyatakan menyatakan penyitaan yang dilakukan KPK terhadap barang milik Hadi Poernomo tidak sah dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketiga, amar putusan yang menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh KPK terkait penetapan tersangka Hadi Poernomo.
Pertimbangan majelis PK :
"Adalah tidak tepat dan keliru, karena Judex Facti telah melampaui batas wewenangnya dan dapat dikualifisir sebagai upaya mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001"

Alasannya, karena bertentangan dengan PERMA No. 4 Tahun 2016. Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 4 Tahun 2016 mengatur, pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.

Sementara, Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 4 Tahun 2016 mengatur, putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi setelah memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang berkaitan dengan materi perkara.

“Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang untuk menghentikan penyidikan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (KPK) terhadap Termohon Peninjauan Kembali (Drs. Hadi Poernomo," demikian pertimbangan majelis PK dalam putusannya.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK masih mempelajari putusan PK itu. “Karena meskipun di pertimbangan putusan dikatakan Hakim Praperadilan PN Jakarta Selatan tidak berwenang menghentikan penyidikan, tetapi amar putusan justru menyatakan PK yang diajukan KPK tidak dapat diterima,” katanya.

Lebih lanjut, terkait dengan pertimbangan MA yang menyatakan judex facti telah melakukan perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana dalam Pasal 21 UU Tipikor, KPK harus mengkaji terlebih dahulu. Sebab, menurut Febri, KPK, dalam menangani sebuah perkara, harus didukung dengan alat bukti yang cukup.

Mengingat pertimbangan majelis PK yang mengkualifikasi putusan hakim praperadilan PN Jakarta Selatan sebagai upaya mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, Febri berpendapat, MA selaku institusi juga dapat menjalankan fungsi pengawasannya.

“Apa yang dapat dilakukan bagian pengawasan MA jika terdapat keyakinan dari majelis hakim PK tentang adanya hakim sebelumnya yang dikatakan berbuat melebihi wewenang. dan bahkan dikaitkan dengan delik merintangi penyidikan? Badan Pengawasan MA perlu memeriksa lebih lanjut kasus ini,” ujarnya.

Seperti diketahui, dahulu Hadi Poernomo merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA Tbk tahun pajak 1999. Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak ini ditetapkan KPK sebagai tersangka pada April 2014.

Kemudian, Hadi Poernomo mengajukan praperadilan atas penetapan tersangkanya ke PN Jakarta Selatan. Alhasil, permohonan praperadilan Hadi Poernomo diterima. Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Mei 2015, hakim tunggal praperadilan Haswandi membatalkan penyidikan dan penyelidikan kasus dugaan korupsi yang menjerat Hadi di KPK.

KPK pun mengajukan banding. Namun, langkah KPK terhenti karena penolakan PN Jakarta Selatan. Lalu, KPK mengajukan PK dengan mendasarkan pada Surat Edaran MA (SEMA) No. 4 Tahun 2014 yang memuat hasil rapat pleno kamar pidana MA. Dimana, terdapat pengecualian, PK terhadap praperadilan dapat diajukan jika ditemukan penyelundupan hukum. (Baca Juga : Banding KPK terhadap Putusan Praperadilan Hadi Purnomo Dinilai Tepat)

PK praperadilan Hadi Poernomo sempat “mengendap” lama di MA. Padahal, KPK telah mengajukan PK sejak 28 Juli 2015. Dalam rentang waktu sebelum keluar putusan PK, muncul putusan MK terkait uji materi Pasal 263 ayat (1) KUHAP pada 12 Mei 2016 yang dimohonkan istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra, Anna Boentaran.

MK menyatakan penuntut umum tidak bisa mengajukan permohonan PK karena PK merupakan hak terpidana atau ahli warisnya. Selain putusan MK, terbit pula PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan tanggal 18 April 2016. Dengan ini, MA resmi melarang PK atas putusan praperadilan.

Putusan MK dan PERMA tersebut dijadikan pertimbangan oleh MA dalam memutus PK atas putusan praperadilan Hadi Poernomo. Putusan itu dibacakan oleh majelis Hakim Agung yang diketuai Salman Luthan beranggotakan Sri Wahyuni dan MS Lumme. Dalam putusannya, majelis menyatakan PK KPK tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO). (Baca Juga : Hakim Agung : Putusan MK Terkait Praperadilan Bisa Dikalahkan Perma)
Tags:

Berita Terkait