Regulasi Transportasi Laut, Sudah Cukupkah Melindungi Konsumen?
Problem Hukum Transportasi Laut

Regulasi Transportasi Laut, Sudah Cukupkah Melindungi Konsumen?

Masalah terbesar transportasi laut ada di implementasi regulasi.

Oleh:
HAG/CR21/CR22/YOZ
Bacaan 2 Menit
Heru Susetyo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Foto: Istimewa
Heru Susetyo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Foto: Istimewa
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang memanfaatkan kapal laut sebagai sarana transportasi. Oleh sebab itu, sudah seharusnya layanan transportasi laut memiliki kualitas baik termasuk dalam jaminan keselamatan penumpang. Bukan itu saja, melihat kecelakaan transportasi laut yang kerap terjadi setiap tahun, regulasi yang ada pun menjadi pertanyaan.

Dasar hukum yang menaungi jaminan keamanan dan keselamatan dalam pelayaran sebenarnya telah diatur dalam UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim. Meski demikian, berbagai kecelakaan di laut masih kerap terjadi.

Setidaknya, ada beberapa faktor yang memicu terjadinya kecelakaan. Pertama, faktor teknis. Hal ini lebih disebabkan karena kekurangcermatan di dalam desain kapal, penelantaran perawatan kapal sehingga mengakibatkan kerusakan atau bagian-bagian kapal yang menyebabkan kapal mengalami kecelakaan atau pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan atau prosedur yang ada. (Baca Juga: Dilema Perkembangan Angkutan Laut dan Keselamatan Konsumen)

Kedua, faktor cuaca buruk seperti badai, gelombang yang tinggi yang dipengaruhi oleh musim atau badai, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang terbatas. Ketiga, faktor manusia. Kecerobohan di dalam menjalankan kapal, kekurangmampuan awak kapal dalam menguasai berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam operasional kapal, secara sadar memuat kapal secara berlebihan.

Sepanjang 2016, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mencatat terdapat 15 peristiwa kecelakaan kapal di Tanah Air. Hal ini semakin menunjukan meski telah ada undang-undang yang menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran, namun ketentuan tersebut belum dilaksanakan secara optimal. (Baca Juga: Demi Keamanan Konsumen, Kemenhub Didesak Tinjau Standardisasi Kapal)

Heru Susetyo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengakui memang sudah banyak regulasi yang mengatur mengenai transportasi laut. Namun, banyak hal yang belum diatur secara benar dan baik. Misalnya, pengaturan mengenai kewajiban untuk menggunakan pelampung bagi penumpang kapal.

Untuk itu, Heru menilai layanan transportasi laut secara regulasi masih lemah, apalagi implementasinya. Dia menduga concern pemerintah sangat kecil dikarenakan pengguna transportasi laut rata-rata adalah mereka yang ekonominya menengah ke bawah. (Baca Juga: Sudah Sepatutnya Bangkai Kapal Karam Jadi Tanggung Jawab Pemilik)

“Berbeda dengan transportasi udara yang semua hal sudah diatur, seperti mengenai keterlambatan menit-permenitnya bagi para penumpang,” tutur Heru kepada
hukumonline.

Hukumonline.com
Sumber: KNKT

Heru menuturkan Indonesia memiliki regulasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)yang sudah berusia 46 tahun dan belum direvisi. Itu menandakan perhatian pemerintah kurang serius terhadap kesalamatan kerja, termasuk keselamatan dalam transportasi. Bukan itu saja, menurut Heru, UU Keselamatan Pelayaran juga tidak jelas. Kalaupun ada, namun pada level pendekatannya menjadi sangat minim.

Setidaknya, ada dua hal utama yang menyangkut keselamatan dan keamanan kapal yang tidak dimuat dalam UU Pelayaran. Pertama, tidak adanya ketentuan yang mencantumkan mengenai batas muatan kapal. Batas muatan kapal adalah sesuatu yang paling penting untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran, kelebihan muatan suatu kapal bisa menjadikan kapal itu overcapacity atau kelebihan muatan yang berisiko mengganggu keseimbangan kapal, sehingga mengakibatkan kapal tenggelam.

Kedua, tidak adanya ketentuan mengenai jumlah sekoci penolong dan alat keselamatan lainnya yang harus ada di kapal. Ketika kapal sudah mengalami gejala-gejala akan terjadinya kecelakaan, sekoci penolong dan berbagai alat keselamatan lain menjadi kebutuhan utama untuk menyelamatkan nyawa para penumpang dan awak.

“Banyak kapal-kapal yang menyediakan sekoci dan alat-alat keselamatannya lainnya, namun dalam jumlah terbatas. Keadaan akan semakin parah ketika kapal memiliki kelebihan muatan, sehingga memiliki banyak penumpang untuk diselamatkan sementara alat-alat penunjang terbatas,” kata Heru.

Masalah Ada di Implementasi
Berdasarkan catatan hukumonline, ada beberapa regulasi terkait keselamatan penumpang kapal laut, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan No.25 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan, Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan, Peraturan Menteri Perhubungan Tahun 20 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Pelayaran, Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2000 tentang Kepelautan.

Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Darmaningtyas, mengatakan regulasi yang mengatur layanan transportasi penumpang dengan kapal laut yang ada terbilang sudah cukup. Hanya saja diakuinya bahwa pelaksanaan regulasi tersebut tidak berjalan baik. “Pelaksanaannya yang kurang, regulasinya juga sudah mengacu dengan standar internasional,” katanya.

Menurutnya, tidak ada yang bermasalah dari sisi regulasi yang mengatur layanan transportasi kapal laut, bahkan dalam hal rekrutmen nahkoda hingga Anak Buah Kapal (ABK). Dia mengatakan, regulasi yang ada telah disesuaikan dengan standar internasional. “Regulasi terkait transportasi laut sudah sama baiknya dengan ketentuan yang mengatur layanan transportasi udara,” ujarnya.

Meski dalam praktiknya layanan transportasi kapal laut terlihat tidak seprofesional pesawat udara, Darmaningtyas berpendapat bahwa hal tersebut berkaitan dengan karakteristik penumpang yang menggunakan kapal laut berbeda dengan penumpang pesawa udara.

“Penumpang pesawat udara itu masyarakat dari kalangan menengah ke atas. Biayanya juga lebih besar ketimbang kapal laut. Sementara penumpang kapal laut adalah masyarakat bawah. Tarifnya tidak bisa mahal. Tentu layanan yang bisa diberikan jadi berbeda,” jelasnya.

Dia menambahkan, tarif yang cenderung lebih murah dalam layanan kapal laut membuat penyedia jasa tidak dapat memberikan layanan sebaik pesawat udara. Untuk itu, Darmaningtyas mengusulkan agar perbaikan layanan transportasi kapal laut salah satunya dengan subsidi Pemerintah.

“Jika berharap layanan kapal laut dapat bersaing dengan kualitas layanan pesawat udara, tidak bisa hanya berharap pada penegakan regulasi yang ada. Persoalan regulasi yang tidak dijalankan secara baik seringkali berhubungan dengan penghematan biaya dari penyedia jasa transportasi kapal laut,” tuturnya.

Pendapat yang sama diutarakan oleh Direktur Komunikasi dan Manajemen Pengetahuan Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK) Indonesia, Muhammad Faiz Aziz. Menurutnya, regulasi yang ada sudah cukup. Masalah yang ada di lapangan adalahimplementasi. Dia mengungkapkan, saat ini hal yang perlu dilakukan adalah memberikan awarenessterhadap penegak hukum, operator-operator pengangkutan sehingga mereka lebih mematuhi aturan.

“Terakhir,awarenessterhadap pihak operator kapal agar dia memperhatikan check listyang harus dilengkapi mengenai kelengkapan kapal. Terkait chek list ini,apabila ada satu saja yang terlewati dapat dipastikan berdampak besar,” terang Azis.
Tags:

Berita Terkait