Ini Implikasi Hukum Pelaksanaan PP Penyertaan Modal BUMN
Berita

Ini Implikasi Hukum Pelaksanaan PP Penyertaan Modal BUMN

Status BUMN menjadi hilang dan Negara kehilangan kewenangan atas BUMN tersebut.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Lahirnya PP No 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan Modal dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas terus menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Belakangan, banyak pihak yang secara tegas meminta Presiden Joko Widodo untuk mencabut PP tersebut. Lalu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) FITRA sudah melakukan tindakan hukum yakni mengajukan permohonan hak uji materi ke Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu.

Di balik yang kontra, ada beberapa pihak yang juga menyatakan sepakat atas materi PP 72/2016. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, misalnya, yang menilai bahwa PP ini hanya berhubungan dalam rangka pembentukan holding BUMN, dan bukan pengalihan saham BUMN ke swasta.

Azis juga mengingatkan bahwa PP 72/2016 tersebut hanya merubah beberapa pasal Pasal 1, Pasal 2, penjelasan Pasal 9, penjelasan Pasal 26, serta menyisipkan Pasal 2A. Artinya, pasal lainnya dalam PP 44/2005 masih berlaku. (Baca Juga: Sejumlah Aturan Perundang-Undangan yang 'Ditabrak' PP 72/2016)

Tetapi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Ahmad Redi menyampaikan bahwa holding BUMN yang diatur dalam PP 72/2016 bukan tanpa risiko. Ada implikasi hukum dari penerapan Pasal 2A ayat (1) dalam rangka holding BUMN.

Pertama, BUMN yang mengalihkan saham kepada BUMN penerima tidak lagi berstatus sebagai BUMN namun berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang tunduk sepenuhnya pada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebab, saham milik pemerintah yang ada di BUMN berubah menjadi milik BUMN penerima pengalihan saham.

“Akibatnya, kepemilikan dominan saham pada BUMN tersebut bukan lagi di pemerintah tetapi pada BUMN penerima,” kata Redi dalam DDiskusi Publik KAHMI yang bertajuk “Selamatkan Keuangan Negara, Jangan Privatisasi BUMN Kita”, di Jakarta, Senin (6/2).

Kedua, PP 72/2016 membuka pengalihan kekayaan Negara menjadi kekayaan badan usaha atau perseroan terbatas secara langsung. Hal itu dikarenakan tidak adanya mekanisme APBN lewat persetujuan DPR.

Ketiga, PP 72/2016 menjadi bentuk penghapusan BUMN menjadi PT secara langsung tanpa melalui persetujuan DPR dan merupakan cara baru pelaksanaan privatisasi di luar yang diatur dalam UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Keempat, PP 72/2016 membuka peluang dilakukannya privatisasi/divestasi atas sisa saham pada anak perusahaan BUMN pasca efektifnya transaksi yang sebelumnya berstatus sebagai saham milik Negara secara langsung tanpa melalui persetujuan DPR.

Sementara itu, Tim Hukum KAHMI Bisman Bakhtiar mencatat setidaknya ada tiga implikasi hukum dari penerapan Pasal 2A ayat (2) PP 72/2016 tersebut. (Baca Juga: 7 Poin Catatan FITRA Terhadap PP Penyertaan Modal BUMN)

Pertama, dalam hal kekayaan Negara berupa saham milik Negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dala Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal modal negara pada BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan Negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar. Kedua, status BUMN hilang yang berakibat pada hilangnya kewenangan pemerintah atas BUMN tersebut. “Akses langsung pemerintah terhadap BUMN juga langsung hilang,” katanya.

Ketiga, anak perusahaan BUMN berpotensi dialihkan tanpa kontrol Negara, cukup dengan aksi koorporasi. (Baca Juga: PP 72/2016 Hanya Atur Holding Company, Tidak Bahas Privatisasi)

Potensi Kerugian Holding Company
Redi menambahkan bahwa holding company juga memiliki beberapa potensi kerugian. Seperti pajak berganda karena holding company sebagai pemegang saham akan menerima dividen atas saham yang dimilikinya di anak perusahaan. Atas dividen tersebut, akan dikenakan pajak kepada holding company. Selain itu, akan dikenakan pula pajak pengalihan aset dan pajak pengalihan tenaga kerja.

Potensi kerugian lainnya adalah pengambilan kebijakan dalam holding company menjadi lebih panjang karena adanya mata rantai pengambilan keputusan yang dilakukan secara berjenjang, dan manajemen one man show di mana kemungkinan manajemen yang terpusat pada perusahaan induk sehingga kebijakan akan cenderung diputuskan secara sepihak.

“Potensi kerugian penutupan usaha karena ada kecenderungan menutup usaha dari satu atau lebih anak perusahaan jika suatu usaha tersebut mengalami kegagalan dan risiko usaha yang muncul seiring dengan besarnya keuntungan yang didapatkan oleh suatu holding company,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait