MKHK Rekomendasikan Pemberhentian Sementara Patrialis Akbar
Berita

MKHK Rekomendasikan Pemberhentian Sementara Patrialis Akbar

Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan MKHK untuk membenarkan adanya dugaan pelanggaran etik berat yang dilakukan Patrialis.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) memutuskan untuk merekomendasikan pemberhentikan sementara Patrialis Akbar. MKHK yang diketuai Sukma Violetta menyimpulkan Patrialis diduga melakukan pelanggaran etik berat berupa menerima suap terkait uji materi UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

“Majelis Kehormatan memutuskan bahwa hakim terduga, benar diduga melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,” ujar Ketua MKHK Sukma Violetta di Gedung MK Jakarta, Senin (6/1). Rekomendasi pemberhentian sementara ini diberikan kepada Ketua MK untuk selanjutnya diserahkan kepada Presiden.

Dalam keputusannya, meskipun Hakim Terduga (Patrialis Akbar) telah mengajukan surat pengunduran diri kepada MK, Majelis Kehormatan tetap menganggap perlu melakukan pemeriksaan lanjutan. Sebab, dugaan pelanggaran berat Hakim Terduga dilakukan saat masih menjabat Hakim Konstitusi.

Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengajuan surat pengunduran diri oleh Hakim Terduga tidak menghapus dugaan perbuatan tercela yang dilakukannya ketika menjabat sebagai Hakim konstitusi. Dengan begitu, Hakim Terduga tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatan ketika masih menjabat Hakim konsttusi, bukan sebagai Hakim Konstitusi yang mengundurkan diri.

Anggota MKHK, As'ad Said Ali melanjutkan ada tiga hal yang menjadi pertimbangan MKHK untuk membenarkan adanya dugaan pelanggaran etik berat tersebut. Pertama, adanya penangkapan Patrialis oleh KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (25/1) lalu. Kedua, penetapan Patrialis sebagai tersangka oleh KPK. “Yang ketiga, terhadap Hakim Terduga telah dilakukan penahanan oleh KPK,” kata As'ad Said Ali.

Sebelumnya, MKHK yang diketuai Wakil Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta dalam persidangan perdana telah memeriksa sejumlah saksi untuk dimintai keterangan terkait kasus dugaan suap tersebut. Pada sidang pertama tersebut, saksi yang dimintai keterangan adalah Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Panitera MK Kasianur Sidauruk, dan Sekretaris Patrialis Akbar Prana Patrayoga Adiputra.

Selanjutnya, MKHK juga memeriksa Patrialis di KPK dan enam orang saksi dalam sidang berikutnya. Enam orang saksi yang dimaksud adalah Sekretaris Yustisial, seorang supir, seorang ajudan, petugas keamanan MK di lantai 12, dan dua orang Panitera Pengganti. (Baca Juga : Periksa Patrialis MKHK Fokus pada Dugaan Pelanggaran Etik)

Untuk diketahui, Rabu (25/1) lalu, Patrialis Akbar terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK atas dugaan penerimaan suap dari pengusaha impor daging Basuki Hariman. Basuki memberikan suap kepada Patrialis melalui Kamaludin agar mengabulkan gugatan uji materi perkara No. 129/PUU-XIII/2015 terkait UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang akan dibacakan, Selasa (7/2) besok oleh MK.

Patrialis ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena didugamenerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura atau  sekitar Rp2,1 miliar dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman terkait permohonan uji materil tersebut. (Baca Juga : Sepenggal Kisah Perusahaan Tersangka Penyuap Patrialis Akbar)

Patrialis bersama Kamaludin diduga melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 seperti diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara tersangka pemberi suap adalah Basuki Hariman dan sekretarisnya, Ng Fenny disangkakan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1

Untuk pengujian UU Peternakan dan Kesehatan Hewan ini dimohonkan 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Asnawi dan Rachmat Pambudi. Mereka merasa dirugikan akibat pemberlakuan “zona based” di Indonesia. Soalnya, pemberlakuan zona itu mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang yang merugikan usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.

UU itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "Zone Based", dimana impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) hewan ternak bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), termasuk sapi dari India. Aturan ini berbeda dengan UU sebelumnya yakni dengan sistem “country based” yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru. Australia adalah negara asal sapi impor PT Sumber Laut Perkasa.
Tags:

Berita Terkait