MK Tegaskan Impor Hewan Ternak Harus Keadaan Mendesak
Utama

MK Tegaskan Impor Hewan Ternak Harus Keadaan Mendesak

Meski sebenarnya ditolak, tetapi pemohon senang dengan putusan ini. Sebab, MK menegaskan berlakunya standar maximun security bagi transportasi hewan dan ternak di Indonesia.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengabulkan pengujian Pasal 36E ayat (1) UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diajukan Teguh Boediyana Dkk. Dalam putusannya, pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai pemasukan hewan ternak atau produk hewan dari suatu negara harus dalam keadaan mendesak.

“Menyatakan Pasal 36 E ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini. Menolak permohonan Para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor No. 129/PUU-XIII/2015 di Gedung MK Jakarta, Selasa (7/2).   

Mahkamah mengutip bunyi Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menyebutkan “Dalam hal tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan ternak dan atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan ternak dan/atau produk hewan.”

Lalu, penjelasan pasal tersebut menyebutkan “Yang dimaksud dengan ‘dalam hal tertentu’ adalah keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan ternak dan/atau produk hewan.”

Bagi Mahkamah, syarat inilah yang mutlak harus diterapkan dalam penggunaan sistem zona ketika negara memasukkan produk hewan ke dalam wilayah NKRI. Karena itu, secara a contrario harus dimaknai bahwa tanpa terpenuhnya syarat tersebut, pemasukan produk hewan dari zona dalam suatu negara atau dengan sistem zona ke dalam wilayah NKRI adalah inkonstitusional.

Menurut Mahkamah meski UU No. 41 Tahun 2014 telah menganut sistem zona dengan syarat-syarat begitu ketat. Namun, khusus pemasukan produk hewan dari zona dalam suatu negara seperti dimaksud Pasal 36E ayat (1) UU No. 41 Tahun 2014, haruslah berlandaskan prinsip kehati-hatian.

“Karenanya, Pasal 36E ayat (1) UU No. 41 Tahun 2014 yang merumuskan zona dalam suatu negara haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally contitutional),” sebut Mahkamah dalam pertimbangannya. (Baca juga : KPK Yakin Penyitaan Uang Terkait Uji UU Peternakan dan Kesehatan Hewan)

Terkait pengujian pasal lain, Mahkamah menjelaskan Putusan MK No. 137/PUU-VII/2009 berkenaan dengan syarat keamanan maksimum bagi pemasukan ternak ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI, khususnya yang berasal dari zona suatu negara telah terpenuhi oleh UU No. 41 Tahun 2014. Putusan Mahkamah sebelumnya itu hanya terkait mengenai pemasukan “produk hewan” yang  dalam hal ini berbeda dengan Pasal  36C dan Pasal  36D  UU No.  41 Tahun 2014  yakni “Ternak Ruminansia Indukan”.

Karena itu, permohonan ini yang menjadikan persyaratan keamanan maksimum dalam Putusan MK No. 137/PUU-VII/2009 sebagai pokok dalil-dalilnya telah kehilangan landasan argumentasinya. “Sehingga, permohonan para pemohon terhadap Pasal 36C ayat (1), (3), dan Pasal 36D ayat (1) UU No. 41 Tahun 2014 tidak beralasan menurut hukum.” (Baca Juga: Patrialis Akbar Akui Teledor Bocorkan Draf Putusan MK)

Tidak berbasis zona
Usai persidangan, salah satu Pemohon Teguh Boediyana menegaskan apa yang diminta dalam permohonan ini sebenarnya tidak berbasis sistem zona pemasok daging dan hewan ternak. Namun, MK justru menyatakan dalam sistem zona pemasok daging dan hewan ternak bisa dilakukan dalam keadaan mendesak.

“Tentu kami menerima putusan MK, namun sejauh ini masih kita pelajari,” kataTeguh di Gedung MK.

Kuasa Hukum Para Pemohon, Hermawanto menambahkan putusan MK ini sebagian besar menolak permohonannya, tetapi mengabulkan dalam hal importasi daging. Keduanya, mensyaratkan negara boleh mengimpor hewan. Pertama, ketika negara memiliki karantina, negara asal itu telah dinyatakan mencukupi standar sehat oleh kesehatan hewan dunia oleh otoritas veteriner daerah asal dan otoritas veteriner negara Indonesia.

Kedua, Indonesia boleh mengimpor daging hanya dengan prasyarat yakni dalam keadaan mendesak/darurat. Sebaliknya, Indonesia tidak boleh mengimpor hewan ternak atau daging dari negara manapun apabila tidak dalam keadaan mendesak. (Baca juga : Sepenggal Kisah Perusahaan Tersangka Patrialis Akbar)

“Jadi putusan ini menurut kami sebenarnya ditolak. Tetapi, kami senang dengan putusan ini karena MK menegaskan berlakunya standar maximun security bagi transportasi hewan dan ternak di Indonesia,” kata Hermawanto.

“Mulai hari ini (setelah putusan dibacakan), menurut kami kalau importasi (pemasok) daging ke Indonesia tidak dalam keadaan mendesak harus di-stop, karena putusan MK ini berlaku setelah putusan dibacakan.”

Untuk diketahui, pengujian UU Peternakan dan Kesehatan Hewan ini dimohonkan 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Rachmat Pambudi, Mutowif dan Dedi Setiadi. Mereka khawatir pemberlakuan zona based di Indonesia mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang merugikan usaha peternakan sapi lokal, tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini dinikmati.

Menurutnya, dengan sistem zone based ini memungkinkan importasi daging dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk zona merah (berbahaya) yang hewan ternaknya tidak terbebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti sapi dari India. Aturan ini berbeda dengan UU sebelumnya yakni dengan sistem country based yang hanya membuka impor hewan ternak dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru.

Australia adalah salah satu negara asal sapi impor dari PT Sumber Laut Perkasa dimana Direktur Utama perusahaan ini, Basuki Hariman diduga memberi suap kepada Hakim Konstitusi Nonaktif Patrialis Akbar agar mengabulkan pengujian UU tersebut. Namun, Ketua MK Arief Hidayat sebelumnya menegaskan isi putusan ini tidak ada pengaruh sedikitpun dari tindakan Patrialis Akbar yang diduga menerima suap dari Basuki Hariman. (Baca Juga : Ketua MK Yakin Patrialis Bertindak Sendiri)
Tags:

Berita Terkait