Ini Penjelasan Pemerintah Soal Relaksasi Ekspor Mineral Logam
PP Minerba

Ini Penjelasan Pemerintah Soal Relaksasi Ekspor Mineral Logam

Pemerintah bersikeras PP No.1 Tahun 2017 tidak bertentangan dengan undang-undang.

Oleh:
CR22
Bacaan 2 Menit
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, dalam diskusi publik “PP No. 1 Tahun 2017 Sebagai Jalan Keluar Kedaulatan Energi”, Senin (6/2), di Jakarta.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, dalam diskusi publik “PP No. 1 Tahun 2017 Sebagai Jalan Keluar Kedaulatan Energi”, Senin (6/2), di Jakarta.
Setelah Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan keempat Atas Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba), muncul respons beberapa kalangan yang menilai PP Minerba dan Peraturan Pelaksananya, yakni Permen ESDM No.5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017 bertentangan dengan UU No.4 Tahun 2009.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil menyebut tiga pokok ketentuan dalam Permen ESDM No. 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No. 6 Tahun 2017 yang layak dikritisi. Pertama, pemberian kelonggaran ekspor terhadap mineral yang belum diolah dan dimurnikan selama 5 tahun sejak Januari 2017. Kedua, pemberian kelonggaran ekspor mineral selama 5 tahun sejak Januari 2017 kepada pemegang Kontrak Karya (KK) yang melakukan perubahan bentuk pengusahaan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Ketiga, mekanisme perubahan bentuk perubahan pengusahaan dari KK menjadi IUPK. (Baca Juga: PP Minerba, Solusi Terbaik Percepatan Peningkatan Nilai Tambah Mineral)

“Saya mengatakan PP 1/2017 tidak bertentangan dengan UU No 4 Tahun 2009, kenapa demikian, karena di pasal  103 UU no 4 Tahun 2009 ayat 1, 2, 3, dinyatakan IUP dan IUPK itu wajib melakukan pengolahan dan pemurnian, tetapi waktunya ditetapkan tidak diundang-undang itu tetapi di PP 23, yang mana dinyatakan sampai Januari tahun 2014, kemudian PP 23 diubah menjadi PP 1/ 2014, lalu diubah lagi menjadi PP 1/ 2017,” papar DirekturJenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, dalam diskusi publik “PP No. 1 Tahun 2017 Sebagai Jalan Keluar Kedaulatan Energi, Senin (6/2), di Jakarta.
Pasal 103 UU 4/2009
Ayat (1), “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil  penambangan di dalam negeri”
Ayat (2), “Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya”
Ayat (3), “Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah”
 
Menurut Bambang, jangka waktu 5 tahun untuk melaksanakan pengolahan dan pemurnian mineral logam  yang diberikan oleh Pemerintah kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Pemegang Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), tidak diatur dalam UU No.4 Tahun 2009, melainkan lewat Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010. Setelah itu, Pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2014, dan terkahir Peraturan Permerintah No. 1 Tahun 2017. (Baca Juga: Tak Setuju PP Minerba, Hak Uji ke MA Bisa Ditempuh)
Pasal 93, PP 23/2010
Ayat (1) “Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi mineral wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi, baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan, pemegang IUP dan IUPK lainnya.
Ayat (2) “Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mendapatkan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian.”
Ayat (3) “IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
 
Bambang menegaskan perbedaan pengaturan IUP dan IUPK dengan Pengaturan Kontak Karya (KK) dalam UU No. 4 Tahun 2009. “Kalau Kontrak Karya, iya dikatakan di UU. Pasal 170 menyebutkan kontrak karya harus melakukan pemurnian dan ditetapkan 5 tahun sejak UU ditetapkan,” Papar Bambang. (Baca Juga: Pemerintah Ubah Divestasi Saham Perusahaan Tambang)
Pasal 170 UU No 4/2009
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
 
Pertanyaanya, kenapa IUP dan IUPK tidak diatur juga batas maksimal toleransi ekspor seperti pada Kontrak Karya? Pemerintah berpendapat, untuk pembangunan smelter, bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Ada anggapan investor bahwa dengan adanya pembangunan smelter, tidak berdampak besar terhadap investasi dan sangat lama untuk mengejar laba atas investasi (return on investement) sehingga tidak sesuai dengan hitung-hitungan investasi.

“Kalau menarik semua orang (investor), pasti sudah datang (investasi dan mau) bikin smelter semua, orang gampang, bahan bakunya ada,” ujarnya.

Lebih lanjut, selain pembangunan smelter yang susah direlisasikan karena tidak sesuai dengan perhitungan investor, Pemerintah juga terus melakukan evaluasi terhadap capaian-capaian pembangunan smelter. Evaluasi capaian ini dilakukan secara periodik setiap 5 tahun.

“Karena pemerintah melihat bahwa smelter yang saya katakan susah harus di evaluasi setiap 5 tahun, apakah berhasil gak?,” terang Bambang.

Pemerintah sebenarnya bisa saja langsung menyetop izin ekspor mineral logam mentah. Hal ini bila melihat baru 1 smelter bauksit dan tembaga yang dibangun oleh investor pemegang Kontrak Karya. Namun yang menjadi dilema bagi Pemerintah adalah cita-cita besar untuk merealisasikan Hilirisasi usaha pertambangan sehingga relaksasi ekspor melalui PP No. 1 Tahun 2017 merupakan salah satu cara untuk tetap menjaga iklim investasi.

“Tentunya pemerintah melihat ini tidak mudah ya,” terang Bambang.

Oleh karena itu, untuk membuka kesempatan ekspor bagi investor usaha pertambangan pemegang kontrak karya, apabila belum siap membangun smelter namun tetap ingin mengekspor mineral logam, maka perlu merubah Kontrak Karyanya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Oleh karena itu, kontrak karya sekarang kalau mau mengekspor jadilah IUPK yang tadi waktunya digeser. Kita tetapkan kepada PT. Freeport misalnya, kalau masih belum siap lagi membangun Smelter, kontraknya berubah menjadi IUPK,” pungkas Bambang.
Tags:

Berita Terkait