Pejabat Imigrasi Ini Tersangka Suap Rp 1 Miliar
Berita

Pejabat Imigrasi Ini Tersangka Suap Rp 1 Miliar

Ditjen Keimigrasian Kemenkumham sudah menonaktifkan dan mencekal Dwi Widodo.

Oleh:
ANT/ASH
Bacaan 2 Menit
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Atase Imigrasi pada Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia, Dwi Widodo sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana suap (korupsi) terkait proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out tahun 2016 dan proses penerbitan calling visa tahun 2013-2016.

“DW (Dwi Widodo) selaku penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang menjabat atase imigrasi pada Kedubes RI di Kuala Lumpur diduga menerima suap Rp 1 miliar dalam penerbitan paspor dengan metode reach out dan penerbitan calling visa,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Kantor KPK Jakarta, Selasa (7/2) malam

Dwi disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

“Modus yang dilakukan tersangka meminta pihak agen perusahaan atau makelar untuk memberikan sejumlah uang atas pembuatan paspor bagi Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia yang hilang atau rusak yang diterbitkan melalui metode reach out dan memungut melebihi tarif resmi terkait penerbitan calling visa,” ungkap Febri. (Baca Juga : Perpres Bebas Visa Kunjungan Dikritik, Ini Respon Pemerintah)

Dwi juga diduga meminta kepada pihak agen yang menjadi kuasa atau penjamin warga negara asing (WNA) untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekening pribadinya sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya.

Febri menerangkan pungutan liar (pungli) berupa pembuatan paspor yang hilang atau rusak bagi WNI di Malaysia itu memiliki dua cara. Pertama, melalui mekanisme biasa dimana pemohon paspor datang langsung ke KBRI pada hari dan jam kerja.Kedua, melalui mekanisme reach out yaitu pihak imigrasi KBRI yang mendatangi pemohon di lokasi yang berada di luar KBRI. reach out ini dilakukan di luar hari dan jam kerja.

“Permohonan penerbitan calling visa yang membuat persetujuan bagi WNA untuk melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia. Dalam penerbitan visa ada beberapa negara termasuk kategori rawan antara lain Afghanistan, Nigeria, Kamerun, Pakistan dan Somalia sehingga WNA dari negara-negara tersebut harus mengajukan calling visa untuk bisa masuk ke Indonesia,” jelas Febri.

Perkara ini bermula dari inspeksi pelayanan public oleh lembaga antikorupsi Malaysia (MACC) di Kuala Lumpur terkait layanan pembuatan paspor dengan cara reach out dan calling visa. Selanjutnya, KPK menjalin kerja sama dengan MACC terkait perkara ini sejak 2016 sesuai kewenangan masing-masing. MACC menangani perusahaan Malaysia selaku pemberi suap termasuk beberapa negara lain. Sedangkan KPK menyidik Dwi selaku PPNS yang menjabat sebagai atase imigrasi.

Penyidik KPK pun sudah menggeledah kediaman Dwi di daerah Depok dan menyita sejumlah dokumen. “KPK memiliki perhatian khusus dalam kasus ini mengingat salah satu pihak yang dirugikan adalah TKI. Padahal, TKI memberikan sumbangan uang ke negara dari remitansi lebih dari Rp80 triliun per tahun, tetapi terbebani dengan biaya dan pungli. Calo pembuat paspor reach out mendekati kantong-kantong TKI untuk membantu pembuatan paspor dengan biaya lebih tinggi dan kelebihannya dinikmati oknum pejabat,” lanjut Febri.

Terkait penetapan tersangka PPNS di Imigrasi tersebut, Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Keimigrasian Kemenkumham Agung Sampurno mengaku sudah menonaktifkan Dwi. “Sejak awal Ditjen Imigrasi secara aktif membantu proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK dengan cara menonaktifkan Dwi, menarik ke Jakarta yang bersangkutan dan memasukkan ke dalam daftar cegah sesuai permintaan KPK,” kata Agung. (Baca Juga : 4 Langkah dalam Mengevaluasi Kebijakan Bebas Visa)

Dia mengungkapkan biaya yang dikenakan kepada WNI di luar negeri yang mengajukan paspor dengan sistem reach out sebesar Rp355 ribu, tetapi di luar negeri dikonversi ke kurs setempat.

“Untuk mengantisipasi penggelembungan harga saat ini sistem penerbitan paspor dan visa di luar negeri telah terkoneksi dengan sistem informasi berbasis elektronik milik Ditjen Imigrasi di 30 perwakilan RI di luar negeri yang mampu memantau secara online dan realtime. Sedangkan proses pembayaran dilakukan melalui transfer bank di beberapa perwakilan untuk menghindari kontak langsung dengan petugas,” katanya.
Tags:

Berita Terkait