Legal Due Dilligence ‘Tanpa Celah’ Kunci Hindari Kasus dalam Pengadaan Tanah
Utama

Legal Due Dilligence ‘Tanpa Celah’ Kunci Hindari Kasus dalam Pengadaan Tanah

Bila kadung bersengketa, pahami alur penyelesaian dalam Permen ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2016.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Foto: Partner Bidang Litigasi dari Firma Hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP), Sartono (kiri) dan Partner Bidang Resources & Infrastructure Firma Hukum HPRP, Al Hakim Hanafiah (kanan) dalam Pelatihan Hukumonline “Kendala dan Solusi Pengadaan Tanah untuk Bisnis dan Investasi serta Mekanisme Pembebasan Lahan” di Jakarta, Kamis (9/2). Foto: NNP
Foto: Partner Bidang Litigasi dari Firma Hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP), Sartono (kiri) dan Partner Bidang Resources & Infrastructure Firma Hukum HPRP, Al Hakim Hanafiah (kanan) dalam Pelatihan Hukumonline “Kendala dan Solusi Pengadaan Tanah untuk Bisnis dan Investasi serta Mekanisme Pembebasan Lahan” di Jakarta, Kamis (9/2). Foto: NNP
Proses pengadaan tanah selalu punya tantangan tersendiri. Tak pandang apakah itu pihak pemerintah maupun pelaku usaha, polemik sewaktu melakukan pembukaan lahan agaknya memerlukan strategi yang jitu. Terpenting sebetulnya adalah mengupayakan mitigasi risiko sebagai upaya preventif meminimalisir permasalahan saat pengadaan tanah.

Partner Bidang Litigasi dari Firma Hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP), Sartono mengatakan bahwa kunci sukses pengadaan tanah berawal dari upaya melalukan mitigasi risiko yang tepat. Bentuk mitigasi ini beragam, paling tidak ada tiga hal penting, diantaranya: patuh terhadap prosedur dan persyaratan hukum; dokumentasi yang lengkap dan akurat ditambah pengkajian secara komprehensif; serta melakukan pendekatan berbasis kekeluargaan sebagai prioritas.

“Mitigasi risiko itu sangat penting. Ini awal dari seluruh proses pengadaan tanah. Harus dilihat betul-betul,” kata Sartono saat menjadi narasumber dalam Pelatihan Hukumonline “Kendala dan Solusi Pengadaan Tanah untuk Bisnis dan Investasi serta Mekanisme Pembebasan Lahan” di Jakarta, Kamis (9/2).

Sartono mencontohkan, langkah mitigasi risiko terkait kepatuhan prosedur dan persyaratan hukum bisa dilakukan misalnya dengan melakukan pengecekan apakah hak atas tanah tersebut telah terbit sertifikatnya. Belum selesai di situ, perlu juga dilakukan pengecekan apakah prosedur penerbitan sertifikat tersebut dilakukan dengan cara yang sah secara hukum.(Baca Juga: Korupsi Masih ‘Menghantui’ Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur)

Pasalnya, proses pengadaan tanah tak cukup sekedar melihat apakah izin-izin pertanahan itu telah dipenuhi seluruhnya. Penting juga mengetahui fakta yang mendasari penerbitan izin-izin terkait hak atas tanah itu guna meminimalisir potensi gugatan dari pihak manapun yang mencoba ‘masuk’ lantaran adanya cacatnya prosedur sewaktu melakukan pemenuhan izin-izin hak atas tanah tersebut.

“Langkah awal yang paling penting dilakukan adalah due diligence untuk melihat apakah memang tanahnya bermasalah atau tidak,” ujarnya.

Langkah uji tuntas dari hukum atau lazim disebut Legal Due Dilligence (LDD), kata Sartono, biasanya akan ditemukan fakta-fakta penting yang nantinya menjadi kunci saat melakukan upaya mitigasi. Tentunya, uji tuntas ini bukan hanya sebatas melakukan pengecekan antara dokumen satu dengan dokumen lainnya. Sartono menekankan uji tuntas yang dilmaksud ini yakni sampai pada pengecekan ke instansi penerbit izin terkait serta lokasi sekitar.

Sartono menambahkan, kebiasaan yang dilakukan firma hukumnya saat uji tuntas hukum selain melakukan telaah pada dokumen-dokumen perizinan. Biasanya tim dari firma hukumnya juga mengkonfirmasi kebenaran dokumen itu secara faktual secara langsung ke instansi penerbit izin terkait. Hasilnya di luar dugaan, ternyata meskipun izin-izin tersebut telah lengkap. Nyatanya ada prosedur yang dari pandangan hukum akan berpotensi menjadi problem di kemudian hari.

“Kita harus mengecek ke beberapa instansi, kita juga kirim orang untuk lihat lokasinya, ketemu dengan instansi terkait untuk menanyakan ini bagaimana statusnya. Dan banyak sekali kita temukan ada tumpang tindih. Jadi apakah tumpang tindih dengan hutan, dengan pertambangan. Itu sangat lazim,” jelas Sartono.

Menambahkan koleganya, Al Hakim Hanafiah menyebutkan bahwa dalam setiap uji tuntas hukum yang dilakukan di firma hukumnya, hampir selalu ditemukan fakta-fakta ‘aneh’. Salah satunya, temuan bahwa dokumen yang disampaikan kepada kliennya yang akan melakukan pembelian lahan untuk pertambangan ternyata merupakan dokumen untuk areal di lokasi tambang sebelahnya. Alhasil, kliennya langsung membatalkan transaksi lantaran melihat fakta yang terungkap saat uji tuntas hukum tersebut.

“Untuk satu LDD kadang butuh banyak kuasa, 10-12 surat kuasa. Karena minta buat ke BPN, Pengadilan Negeri Setempat, dan lainnya. Kita kirim ke setiap lokasi. Itu penting untuk tanah, karena sangat kompleks. Pengalaman kita, beberapa kali bisa temukan sesuatu yang aneh. Contoh, pernah kejadian klien hampir bayar uang muka untuk area tambang. Ternyata laporan yang diberikan adalah laporan tanah sebelahnya. Kita dapat temukan itu karena benar-benar yang namanya due diligence, benar-benar ‘diligence’. Kita teliti,” sambung Partner Bidang Resources & Infrastructure Firma Hukum HPRP itu.
NoPermasalahan Hukum dalam Pengadaan Tanah untuk Kegiatan Usaha di Indonesia
1 Permasalahan hukum dalam pengadaan tanah terkait proyek-proyek pemerintah.
·         Alotnya negosiasi dengan masyarakat pemegang hak atau yang menguasai lahan;
·         Permasalahan verifikasi bukti kepemilikan lahan
2 Permasalahan hukum pengusaha perkebunan dan pertambangan dengan masyarakat setempat.
·         Perusahaan bentrok dengan masyarakat perihal ganti rugi atau ganti rugi tanah tumbuh
3 Tumpang tindih lahan.
·         Karena kurangnya koordinasi antara instansi penerbit keputusan
4 Sengketa kepemilikan tanah, baik yang bersifat keperdataan maupun administratif.
·         Pemindahan hak atas tanah tidak sesuai prosedur;
·         Masalah sertifikat ganda dan palsu;
·         Permasalahan verifikasi bukti kepemilikan tanah.
5 Permasalahan terkait hak ulayat masyarakat adat.
·         Sengketa antara petani penggarap dengan perusahaan yang dipicu adanya klaim hak ulayat.
Sumber: Catatan HPRP, Februari 2017.

Dikatakan Hanafiah, firma hukumnya selalu menekankan kepada para konsultan hukum tempatnya berpraktik agar melakukan pengecekan yang mendetil sampai ke hal yang paling kecil, seperti tanggal izin suatu dokumen diterbitkan. Masih berdasarkan pengalamannya saat melakukan uji tuntas hukum, ada temuan dalam salah satu izin tanah yang ternyata diterbitkan oleh pejabat yang berwenang tepat pada hari minggu yang tentunya tidak mungkin terjadi karena hari itu semua aktivitas kantor pemerintahan libur.

“Perusahaan di sini mau akuisi lahan, hal kecil ini mesti diperhatikan. Tidak cukup dokumen lengkap dan mengecek ke lembaga yang mengeluarkan apakah itu asli atau tidak. Kadang-kadang kita dengarkan gosipnya, tanah ini ada masalah ngga. Kadang-kadang dari gosip itu kita bisa tanyakan lebih lanjut lagi ke pejabat yang berwenang yang tadinya dia ngga sebutkan,” paparnya.

Karenanya, hasil uji tuntas hukum yang dilaporkan kepada klien tak jarang mencapai ratusan lembar karena banyak lampiran yang dimasukan dalam satu dokumen uji tuntas tersebut. Hanafiah mengakui terkadang kliennya kesulitan lantaran terlalu tebal. Makanya, firma hukum HPRP mensiasati dengan membuat ikhtisar pada lembar awal agar kliennya dapat menentukan sikap lanjutan apa yang akan ditempuh.

“10 tahun lalu LDD kita mungkin cuma 10 lembar, sekarang kalau kita melakukan report LDD, kadang klien suka kesel karena kita kasih 100 lembar komplit beserta fotonya, peta-petanya, overlapping map-nya, semuanya kita berikan. Kita buat summary di depan supaya tidak capai bacanya,” tuturnya.

Bila Terpaksa Bersengketa
Upaya mitigasi risiko bisa saja tidak berhasil. Terpaksa, langkah terakhir yang mau tidak mau dan harus di tempuh adalah penyelesaian secara hukum baik litigasi maupun non litigasi. Sartono sendiri menekankan agar mengupayakan perdamaian sekalipun terjadi sengketa pertanahan. Perdamaian dapat ditempuh beragam cara, mulai dari konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, meminta penilaian ahli, hingga menempuh arbitrase.

“Tapi selalu yang kita sampaikan bahwa rule of thumb-nya adalah penyelesaian secara damai merupakan solusi terbaik. Sengketa yang sudah mentok, (barulah) saya kira ngga ada upaya lain apakah menggugat atau kita digugat,” kata Sartono menyarankan.

Berdasarkan pengalamannya, saat terjadi sengketa yang terkait bisnis, Sartono biasanya mencoba mendamaikan misalnya dengan meminta bantuan otoritas setempat seperti Badan Pertahanan Nasional (BPN) setempat atau otoritas terkait lainnya. Bila sengketa itu terjadi lintas otoritas, ia juga mencoba mengupayakan damai misalnya dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setempat. Namun, bila upaya tersebut ternyata tidak membuahkan hasil, mau tidak mau jalur litigasi dapat ditempuh.

“Kita sampaikan ke klien, tentu harus melihat posisi kita dulu. Dokumentasi kita benar atau tidak, posisi kita kuat atau tidak. Jadi sebelum kita bicara kedepan, kita cek dulu apakah kita sudah punya dasar yang kuat. Berbicara bisnis, ada selalu kemungkinan kita bisnis bersama di kemudian hari. tapi kalau ke pengadilan, walaupun masih ada perdamaian, biasanya secara psikologi lebih sulit untuk kemudian berbisnis kembali,” sambungnya.
Plus-Minus Penyelesaian di luar dan di dalam Pengadilan
Penyelesaian di Luar Pengadilan
PlusMinus
Hemat waktu dan biaya;
Fleksibel;
Kerahasiaan lebih terjamin;
Pemeriksaan dapat dilakukan oleh ahli; dan
Win-win solution
Kecuali dalam arbitrase, keputusan kurang memiliki daya ikat dan pelaksanannya bergantung pada kehendak para pihak.
Penyelesaian Lewat Pengadilan
PlusMinus
Kekuatan eksekutorial; dan
Dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan
Tidak efisien;
High cost;
Reputasi buruk badan peradilan;
Berpola menang kalah;
Perkara mungkin ditangani oleh bukan ahli.
Sumber: HPRP, Feburari 2017

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN (Permen ATR) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, setidaknya terdapat dua jalur penyelesaian sengketa yakni melalui peradilan perdata dan peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Peradilan perdata ditempuh misalnya dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Sementara, gugatan PTUN ditempuh terkait dengan keputusan dari Kementerian ATR/BPN yang dinilai pihak tidak menguntungkannya.(Baca Juga Ulasan Mendalam Soal Permen ATR Nomor 11 Tahun 2016: Ini Poin Penting dalam Peraturan Penyelesaian Kasus Pertanahan)

Patut diketahui, Permen ATR Nomor 11 Tahun 2016 mengatur bahwa Kementerian ATR/BPN bisa memberikan keputusan yang bentuknya bisa berupa pembatalan hak atas tanah, perubahan hak atas tanah, serta penguatan atas terhadap hak tanah tertentu. Problemnya tentu yang terkait dengan keputusan yang menyatakan pembatalan hak atas tanah. Terhadap keputusan itu, pihak dapat mengajukan upaya ke PTUN sebelum 90 hari. Pertanyaannya, bagaimana bila sudah lewat dari 90 hari?

“Waktu 90 hari ini jadi krusial. Bagaimana bila sudah lewat kita baru tahu ada keputusan ini. Keberatan administrasi ini masih menjadi perdebatan apakah harus ditempuh atau tidak. Kita bisa bersurat untuk konfirmasi soal keputusan itu. tapi nanti tergantung hakim apakah 90 hari ini bisa dilihat dari awal terbitnya atau ketika kita tahu ketika itu sudah diterbitkan,” jelas Sartono. 

Hukumonline.com

Selain dua opsi jalur penyelesaian diatas, sebetulnya juga dapat ditempuh penyelesaian melalui pendekatan pidana. Masih kata Sartono, walaupun tidak diatur dalam Permen ATR Nomor 11 Tahun 2016, dalam praktiknya dapat juga dilakukan proses pelaporan pidana untuk tindak pidana di bidang pertanahan seperti penyerobotan tanah, penempatan lahan tanpa izin, penanaman di atas tanah milik orang lain serta perusakan tanaman atau pagar milik orang lain.

“Aspek pidana bisa dilihat tergantung kasusnya,” tutup Sartono.

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat pada Kementerian ATR/BPN, Aslan Noor tak menampik bahwa proses pengadaan tanah masih banyak dihadapkan dengan sejumlah problem. Misalnya, mangkraknya sebanyak 225 Proyek Strategis Nasional (PSN) dan satu mega proyek PLN 35.000 Mega Watt tahun 2015-2019 terbentur perolehan dan pembebasan tanah yang sangat berpolemik.(Baca Juga: Ini Aturan Terbaru Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum)

“Diperkirakan baru 30% dari 225 proyek strategis negara dan satu proyek raksasa PLN yang baru tersedia tanah atau areal lahannya,” kata Aslan dalam acara yang sama.

Pihaknya sendiri memetakan setidaknya ada empat permasalahan di balik upaya pengadaan tanah, antara lain tidak adanya bank tanah (land banking), problem disharmonisasi dan disinkronisasi pada tataran normatif hukm pertanahan, sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang tak kunjung henti, serta adanya pemahaman dimana tidak ada sejengkal tanahpun yang bebas dari pengakuan maupun penguasaan yuridis.

Terkait bank tanah, sebelumnya Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan Djalil sempat mengatakan bahwa tahun ini targetnya akan terbentuk wadah atau lembaga bank tanah. Salah satu poin dari bank tanah ini adalah untuk menjaga harga tanah agar tidak melambung tinggi karena banyak dipegang oleh para spekulan. (Baca Juga: Masukan Berharga Untuk Penerapan Bank Tanah Tahun 2017 Mendatang)

“Kesulitan penyediaan lahan bagi pembangunan tidak terlepas dari sejarah panjang perjalanan konsep hukum sistem dan budaya masyarakat indonesia serta praktek pembebasan lahan yang meninggalkan sejarah negatif bagi bekas pemegang haknya. Sehingga tidak jarang pemegang hak sebagai pemilik tanah menderita kehidupannya pasca pembebasan tanah,” pungkas Aslan.
Tags:

Berita Terkait