MA Belum Kaji Permohonan Fatwa Soal Status Ahok
Berita

MA Belum Kaji Permohonan Fatwa Soal Status Ahok

Selama 5 tahun terakhir, MA mengurangi penerbitan permohonan fatwa dari lembaga lain.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Ketua MA, Hatta Ali. Foto: RES
Ketua MA, Hatta Ali. Foto: RES
Mahkamah Agung (MA) belum mengkaji permohonan fatwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Menteri Dalam Negeri terkait polemik pemberhentian sementara (nonaktif) Gubernur DKI Jakarta Nonaktif, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Sebab, MA belum membaca surat permohonan fatwa dari Kemendagri tersebut.

“Sampai sekarang surat dari Kemendagri belum saya baca, tetapi seyogyanya persoalan ini dikaji juga di bagian hukum Kemendagri, silakan dibahas (dulu),” ujar Ketua MA M. Hatta Ali usai acara pemilihan Ketua MA dimana dirinya kembali terpilih menjadi Ketua MA untuk periode 2017-2022 di Gedung MA Jakarta, Selasa (14/2).

Hatta mengatakan mengeluarkan fatwa tidak bisa dilakukan sembarangan. “Mengeluarkan fatwa itu harus hati-hati, mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya dalam menerbitkan fatwa yang dimohonkan,” kata Hatta.

“Jangan dulu kita memberi pendapat, karena perkara ini masih berlangsung. Perlu dijaga juga independensi hakim yang menyidangkan perkara ini. Kita tidak boleh mencampuri perkara-perkara di pengadilan baik pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi,” tegasnya.

Menurutnya, MA tidak boleh mencampuri perkara yang tengah di proses pengadilan, kecuali perkara itu sudah sampai di MA. “Barulah MA memutus perkaranya. Dan ingat fatwa itu tidak mengikat, kalau fatwa itu mau diikuti silakan, kalau tidak mau diikuti ya silakan.“ Jadi, kita serahkan semuanya kepada hakim yang menyidangkan, kami tidak punya kewenangan,” kata dia.

Ditegaskan Hatta, dirinya sendiri selaku Ketua MA tidak pernah menanyakan perkara kepada hakim agung terkait penanganan perkara di MA. “Kalau saya bertanya suatu perkara, malah nanti diduga melakukan intervensi baik menjawab atau menanggapi, sebab itu adalah otonomi sepenuhnya seorang hakim."

“Karena itu, selama kepemimpinan saya 5 tahun ini, penerbitan permohonan fatwa saya kurangi. Kurangi, dalam arti tidak boleh kita terlalu banyak mengeluarkan penerbitan fatwa karena akan mengurangi independensi hakim dan bisa ditebak oleh pihak-pihak lain (yang berkepentingan),” katanya. (Baca juga : Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA)

Seperti diberitakan, Presiden Jokowi melalui Menteri Dalam Negeri meminta fatwa MA terkait desakan sebagian pihak menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta karena sudah berstatus sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penistaan agama. Pengaktifan Ahok kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta usai menjalani masa cuti kampanye Pilkada dinilai melanggar Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 83 UU Pemerintahan Daerah itu menyebutkan “Kepala daerah dan/atau/wakil/kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Dalam Kasus ini, Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif, melanggar Pasal 156 huruf a KUHP dan Pasal 156 KUHP. Ancaman Hukuman Pasal 156 KUHP paling lama empat tahun dan Pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman paling lama (maksimal) lima tahun penjara. Namun, saat ini Ahok tidak diberhentikan sementara meski sudah berstatus terdakwa dengan ancaman hukuman pidana 5 tahun. (Baca juga: Satu Perspektif Hukum Pidana Tentang Pemberhentian Sementara Ahok Oleh: Arsul Sani*)
Tags:

Berita Terkait