Ketua MK : Tidak Ada Kejanggalan dalam Proses Uji UU Peternakan
Berita

Ketua MK : Tidak Ada Kejanggalan dalam Proses Uji UU Peternakan

MK membuka akses seluas-luasnya kepada KPK untuk memeriksa siapapun termasuk seluruh hakimnya.

Oleh:
ANT/ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menegaskan tidak ada yang janggal dalam proses permohonan uji materi Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

“Selama ini saya tidak melihat kejanggalan.Saya tidak melihat, dan semuanya berjalan dengan wajar,” kata Arief usai diperiksa sebagai saksi sebagai saksi untuk tersangka Ng Fenny yang melibatkan Hakim Konstitusi Nonaktif Patrialis Akbar di Gedung KPK Jakarta, Kamis (16/2).    

Namun, dirinya tidak mengetahui apabila ternyata di balik itu ada seorang hakim konstitusi yang kemudian diduga membocorkan putusan MK tersebut.

“Karena satu, ketua itu sifatnya primus interpares. Artinya apa? Saya itu hanya ‘didahulukan selangkah ditinggikan seranting’. Tidak bisa mengatakan hakim harus begini, hakim ini tidak bisa begitu. Karena kedudukan kita sederajat. Berbeda dengan struktur kepala misalnya. Kalau ini ketua, sehingga saya tidak boleh melarang ini itu kepada hakim,” kata Arief.

Dia mengatakan MK telah membangun sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi. “Hakim juga sudah kita monitor. Sudah terekam sehingga terang-benderang. Maka, KPK silakan memeriksa secara profesional dan proporsional kepada semua hakim,” kata Arief.

Arief menambahkan setelah ada kasus Patrialis Akbar, MK membuka akses seluas-luasnya kepada KPK untuk memeriksa siapapun termasuk seluruh hakimnya.

Selain memeriksa Ketua MK, KPK juga memeriksa tiga Hakim MK yakni Aswanto, Suhartoyo, dan Maria Farida Indrati juga sebagai saksi untuk tersangka Ng Fenny. “KPK juga memanggil Sekjen MK M Guntur Hamzah dan Panitera Pengganti Ery Satria Pamungkas sebagai saksi untuk tersangka Ng Fenny,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.

Sebelumnya, KPK menyatakan draft putusan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang ditemukan penyidik KPK dari tangan orang dekat Patrialis, Kamaludin, sama dengan putusan yang dibacakan MK pada Selasa (7/2). Namun, KPK masih terus mendalami pihak yang sebenarnya membocorkan draft putusan MK tersebut. (Baca Juga : ‘Draft’ Temuan KPK Sama Seperti Putusan MK)

Pada 7 Februari 2017, MK membacakan putusan uji materi Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 tentang pengujian UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dimohonkan Teguh Boediyana Dkk. Putusannya mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai pemasukan hewan ternak atau produk hewan dari suatu negara harus dalam keadaan mendesak.

“Menyatakan Pasal 36 E ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini. Menolak permohonan Para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor No. 129/PUU-XIII/2015 di Gedung MK Jakarta, Selasa (7/2) lalu.

Untuk diketahui, pengujian UU Peternakan dan Kesehatan Hewan ini dimohonkan 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Rachmat Pambudi, Mutowif dan Dedi Setiadi. Mereka khawatir pemberlakuan zona based di Indonesia mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang merugikan usaha peternakan sapi lokal, tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini dinikmati.

Menurutnya, dengan sistem zone based ini memungkinkan importasi daging dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk zona merah (berbahaya) yang hewan ternaknya tidak terbebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti sapi dari India. Aturan ini berbeda dengan UU sebelumnya dengan sistem country based yang hanya membuka impor hewan ternak dari negara-negara yang terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru.

Australia adalah salah satu negara asal sapi impor dari PT Sumber Laut Perkasa dimana Direktur Utama perusahaan ini, Basuki Hariman diduga memberi suap kepada Hakim Konstitusi Nonaktif Patrialis Akbar agar mengabulkan pengujian UU tersebut. Namun, Ketua MK Arief Hidayat sebelumnya menegaskan isi putusan ini tidak ada pengaruh sedikitpun dari tindakan Patrialis Akbar yang diduga menerima suap dari Basuki Hariman. (Baca Juga : Ketua MK Yakin Patrialis Bertindak Sendiri)

Dalam perkara ini, Patrialis diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman.

Patrialis bersama dengan orang kepercayaannya Kamaludin disangkakan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara tersangka pemberi suap adalah Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, yang disangkakan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Tags:

Berita Terkait