Demikian disampaikan Anggota Komisi VII DPR, Rofi Munawar, di Jakarta, Jumat (17/2). Ia menilai KLHK dapat bertindak tegas dengan memberikan sanksi administrasi. Sedangkan sanksi pidana, KLHK dapat bekerjasama dengan pihak aparat penegak hukum. Maklum, lahan hutan akibat dampak kebakaran hutan mesti dipulihkan peruntukannya.
“Penegakan hukum yang tidak tegas dan serius di sektor lingkungan akan semakin mendorong kerusakan yang lebih besar lagi,” ujarnya. (Baca Juga: Begini Drama Penyanderaan 7 Penyidik Terkait Kebakaran Lahan)
Oleh sebab itulah diperlukan langkah-langkah korektif dan koersif terhadap berbagai bentuk pelanggaran. Tak saja pelanggaran personal, namun juga pelanggaran yang dilakukan oleh pihak korporasi. Terkait pelanggaran korporasi, pihak kementerian dapat memberikan sanksi teguran hingga pencabutan perizinan perusahaan.
Menurutnya, KLHK sudah memberikan surat peringatan serta sanksi terhadap sejumlah korporasi para pemegang izin pemanfaatan usaha Hutan Tanaman Industri (HTI). Pemberian surat peringatan itu dikarenakan perusahaan-perusahaan dimaksud tidak menjalankan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.77/Menlhk-Setjen/2015 tentang Tata Cara Penanganan Areal Terbakar Dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi.
Dalam Pasal 7 Permen KLH 77/2015 mengatur kewajiban pemegang izin. Pasal tersebut menyebutkan terhadap Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan melaksanakan kewajiban atas areal kerja yang terbakar. Antara lain melakukan pemetaan areal kerja yang terbakar dengan supervise pemerintah. Kemudian melakukan revisi rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan rencana kerja tahunan.
Tak hanya itu, pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan pun diharuskan melakukan pencegahan kebakaran hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian membuat sekat kanal pada aeral gambut, serta menjaga kebasahan gambut. Tak kalah penting, melakukan pengamanan area kerja yang terbakar. (Baca Juga: 5 Rekomendasi Komnas HAM Terkait Kebakaran Hutan dan Lahan)
Dikatakan Rofi, pembiaran terhadap perusahaan yang tidak melakukan restorasi lahan bakal menjadi penyebab preseden buruk di kemudian hari. Yakni, lingkungan menjadi terdegradasi dan koorporasi yang lalai dalam mendorong keberlanjutan lingkungan. Ia menyarankan agar KLHK memiliki rencana sistematis. Serta, alura jelas dalam penegakan hukum kasus kebakaran hutan.
“Agar proses Ini memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan tersebut memenuhi persyaratan yang diminta. Jika tidak Ada itikad baik, maka sanksi administratif hingga tindakan pidana dapat ditempuh,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Anggota Komisi IV DPR, Ono Surono, berpandangan pemerintah memang mestinya menjalankan dua hal yang saling simultan. Pertama, melakukan pemidanaan terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan. Kedua, melakukan gugatan perdata atas kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan. Tak saja terkait dengan rusaknya lahan dan hutan, namun juga dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat akibat munculnya asap.
“Sehingga apabila perusahaan atau korporasi tersebut tidak melakukan restorasi sebagaimana aturan tersebut, maka pemerintah harus mencabut izinnya,” ujarnya kepada hukumonline. (Baca Juga: Walhi: Penindakan Korporasi Pelaku Kebakaran Hutan Tak Serius)
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berpandangan pihak yang mesti melakukan restorasi berasal dari dana kerugian sebagaimana tuntutan perdata yang dimohonkan pemerintah. “Jadi sifatnya restorasi itu wajib dan keharusan dalam rangka memulihkan lahan bekas kebakaran hutan,” ujarnya.
Lebih lanjut Ono berpandangan terhadap perusahaan atau korporasi yang enggan melakukan restorasi perizinan usahanya wajib dicabut pemerintah. Selain itu melakukan gugatan perdata tekait kerugian negara, lingkungan dan masyarakat. “Sehingga pemerintah nantinya akan melakukan restorasi,” pungkasnya.