ICW: Reformasi Birokrasi 2016 Gagal
Berita

ICW: Reformasi Birokrasi 2016 Gagal

Fenomena korupsi di daerah kian meluas setelah Pemerintah Pusat mengimplementasikan alokasi dana desa. Instrumen teknokratis untuk menekan penyimpangan anggaran perlu didorong, seperti penggunaan e-procurement, open-contracting serta e-catalogue untuk mengurangi korupsi sektor PBJ.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa
Indonesian Corruption Watch (ICW) melansir sebanyak 515 Aparatur Sipil Negara (ASN) PNS telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum pada 2016. ASN/PNS yang disidik karena terlibat korupsi sebagian besar berasal dari Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Data 2016 tak jauh berbeda dengan data pada tahun-tahun sebelumnya, di mana korupsi birokrasi terus mewabah, khususnya di daerah.

Dalam rilis yang diterima hukumonline, Senin (20/2), peneliti ICW Febri Hendri mengatakan bahwa fenomena korupsi birokrasi, khususnya pasca penerapan desentralisasi sedikit banyak menjelaskan gagalnya agenda reformasi birokrasi dan buruknya pengawasan pusat atas daerah. (Baca Juga: Perbaiki Indeks Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Fokus Pada 7 Sektor)

“Kasus yang paling fenomenal adalah tertangkapnya Bupati Klaten, Sri Hartini yang disangka menerima suap terkait jual beli jabatan di Pemkab Klaten,” kata Febri.

Menurut KASN, kata Feri, praktik jual beli jabatan di tingkat pemerintah daerah merupakan fenomena yang umum. KASN sendiri telah memberikan data kepada KPK agar KPK perlu mengawasi 11 daerah lain di luar Klaten yang telah selesai melakukan rekrutmen, promosi dan mutasi pegawai negeri. Gurita persoalan korupsi di daerah, yang dimulai dari proses Pilkada, penempatan pejabat strategis hingga perencanaan dan pelaksanaan pembangunan menjadikan agenda perbaikan layanan publik, peningkatan kualitas SDM serta upaya mendorong peningkatan kesejahteraan publik menjadi sulit untuk dicapai.

Padahal, alokasi anggaran untuk belanja pegawai berdasarkan APBN 2016 sebanyak 347,5 triliun atau sekitar 26 persen. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk layanan publik sektor kesehatan yang hanya sebanyak 106,1 triliun atau sekitar 5 persen dari total APBN 2016. (Baca Juga: Pungli Perburuk Indeks Persepsi Korupsi Indonesia)

Febri mengatakan, fenomena korupsi di daerah kian meluas setelah Pemerintah Pusat mengimplementasikan alokasi dana desa. Pada tahun 2016 sebagai contoh, dana desa yang digelontorkan sekitar Rp 47 triliun. Tujuannya agar masyarakat desa dapat memprioritaskan agenda pembangunan yang dianggap terbaik untuk masyarakat desa.

Namun dalam praktiknya, muncul fenomena elit lokal yang mengkooptasi anggaran untuk kepentingan pribadi, terutama elit lokal di tingkat desa. Terbukti selama tahun 2016 sektor dana desa masuk dalam lima besar sektor yang rawan untuk dikorupsi. “Ada sekitar 62 kasus korupsi di Pemerintahan Desa yang melibatkan 61 kepala desa dengan nilai kerugian negara sebesar Rp10,4 miliar,” ucap Febri. (Baca Juga: Korupsi Layanan Publik Jadi Kendala Investasi)

Dia melanjutkan, meski nilai kerugian negara cenderung kecil dibandingkan anggaran yang diberikan oleh pemerintah, hal ini menjadi sinyal bahwa korupsi sudah semakin meluas hingga tingkat desa. Artinya masalah korupsi yang selama ini kerap dipandang sebagai isu elitis, kini telah menjadi bagian dari realitas di masyarakat tingkat desa. Dengan anggaran yang cukup besar, dana desa rawan dimanipulasi oleh elit lokal.

“Gawatnya, praktik korupsi yang terjadi berlindung dibalik konsep partisipasi,” tambah Febri.

Rekomendasi
Peneliti ICW lainnya, Wana Alamsyah, menambahkan maraknya korupsi birokrasi, disertai dengan indikasi jual beli jabatan di berbagai daerah sebagaimana sinyalemen KASN, penting rasanya Pemerintah Pusat, khususnya yang memiliki peran dalam melakukan pengawasan dan pembinaan, seperti Menpan RB, Kemendagri, Kemenkeu, untuk bekerjasama dengan KPK, KASN dan Ombudsman untuk mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi dan penerapan tata kelola organisasi pemerintah daerah.

Menurutnya, instrumen teknokratis untuk menekan penyimpangan anggaran juga perlu lebih keras didorong, seperti penggunaan e-procurement, open-contracting serta e-catalogue untuk mengurangi korupsi sektor PBJ. Dalam konteks perencanaan dan penyusunan anggaran, e-planning dan e-budgeting juga harus diterapkan secara menyeluruh agar kontrol warga atas perencanaan dan pelaksanaan anggaran bisa diefektifkan.

“Sementara pengawasan internal pemerintahan daerah perlu didesain ulang dengan menempatkan inspektorat atau badan pengawas internal pemerintah daerah sebagai fungsi yang relative otonom dari kekuasaan Kepala Daerah agar pengawasan internal tidak menjadi macan ompong,” kata Wana.

Selain itu, sambung Wana, munculnya fenomenalocal elite capture di tingkat desa harus mulai dijadikan sebagai masalah yang serius bagi pemerintah pusat, khususnya untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana desa yang secara total nilainya lumayan besar. Menurutnya, pemerintah Pusat perlu menerapkan tindakan yang lebih tegas kepada pemerintah desa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, misalnya dengan menghentikan kucuran dana ke desa untuk kurun waktu satu tahun.

“Meskipun terkesan kejam, namun sepertinya hal tersebut bisa memberikan efek jera terhadap kepala desa yang melakukan korupsi ataupun yang berniat melakukan korupsi,” lanjut Wana.

Di sisi lain, penyadaran akan pentingnya dana desa bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa perlu dilakukan bukan hanya oleh CSO lokal, melainkan juga oleh aparatur pemerintah kabupaten/kota. Wana berpendapat, transparansi dan akuntabilitas dalam proses penggunaan anggaran desa pun menjadi hal yang penting untuk diterapkanagar masyarakat desa dapat memantau penggunaan serta dapat melaporkan jika ada dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat tingkat desa.

Tags:

Berita Terkait