Ditunggu, Peraturan Teknis Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas
Berita

Ditunggu, Peraturan Teknis Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas

Guna memenuhi akomodasi yang dibutuhkan tenaga kerja penyandang disabilitas. Pengusaha juga punya panduan yang jelas.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Penyandang disabilitas memberikan dukungan pada UU Penyandang Disabilitas saat masih proses pembahasan. Foto: RES
Penyandang disabilitas memberikan dukungan pada UU Penyandang Disabilitas saat masih proses pembahasan. Foto: RES
Lebih dari setahun sudah berlalu sejak penandatanganan nota kesepahaman Kementerian BUMN dan Kementerian Ketenagakerjaan. Kedua kementerian meneken MoU untuk melaksanakan pelatihan kepada tenaga kerja penyandang disabilitas pada perusahaan BUMN.

Mengutip laman resmi Kementerian BUMN (bumn.go.id), MoU itu menjadi dasar BUMN menjalin kerjasama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dalam melaksanakan pelatihan kerja dan pembinaan bagi penyandang disabilitas untuk dapat bekerja sesuai kemampuannya. Menteri BUMN, Rini M Soemarno, mengatakan kebijakan itu sebagai kepedulian BUMN terhadap penyandang disabilitas.

“Dengan memberi kesempatan kerja serta perlakuan yang sama, karena dengan begitu BUMN telah membantu meningkatkan kualitas SDM penyandang disabilitas di Indonesia yang mandiri dan sejahtera serta mampu bersaing dalam MEA,” katanya.

Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi, mengatakan MoU itu semakin diperkuat dengan terbitnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Regulasi itu menekankan kepada pemerintah untuk melakukan upaya dalam memenuhi hak-hak penyandang disabilitas seperti hak untuk mengakses pekerjaan.

Namun, agar implementasi UU Penyandang Disabilitas berjalan tanpa hambatan berarti para pemangku kepentingan segera menyusun peraturan teknisnya. Fajri mengatakan UU Penyandang Disabilitas mengamanatkan pemerintah untuk menerbitkan 15 peraturan pelaksana yang terdiri dari 12 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres) dan 1 Peraturan Menteri Sosial (Permensos). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyederhanakannya menjadi 9 peraturan pelaksana yakni 7 PP, 1 Perpres dan 1 Permensos. Pembentukan berbagai peraturan pelaksana itu sudah dialamatkan kepada masing-masing kementerian terkait.

Sepengetahuan Fajri, yang masuk proses pembahasan saat ini adalah RPP tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND) dan Rancangan Permensos tentang Kartu Penyandang Disabilitas. PP tentang KND sangat diperlukan karena akan memudahkan pelaksanaan UU Penyandang Disabilitas. Selama ini urusan terkait penyandang disabilitas menyebar di beberapa kementerian dan lembaga sehingga penanganannya tidak fokus. Dengan dibentuknya KND, diharapkan arah kebijakan pemerintah terhadap penyandang disabilitas dapat berjalan tepat sasaran dan sesuai harapan.

Sementara 7 peraturan pelaksana lainnya yaitu 7 PP, menurut Fajri belum ditindaklanjuti oleh kementerian terkait diantaranya Kementerian Ketenagakerjaan. Ada sejumlah ketentuan mengenai ketenagakerjaan di UU Penyandang Disabilitas yang perlu diatur lebih rinci dalam peraturan pelaksana. Misalnya, tentang unit layanan disabilitas, kuota tenaga kerja penyandang disabilitas sebesar 2 dan 1 persen, insentif bagi perusahaan swasta dan penerapan sanksi administratif.

UU Penyandang disabilitas mewajibkan pemerintah, pemerintah daerah (pemda), BUMN/BUMD mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja. Untuk perusahaan swasta diwajibkan merekrut 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas. Menurut Fajri, pemerintah harus membuat aturan teknis yang rinci untuk memudahkan pengusaha dalam merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas. Sehingga pengusaha dapat menjalankan amanat itu dengan baik. (Baca juga: Isu Ketenagakerjaan dalam UU Penyandang Disabilitas Patut Dicermati).

Misalnya, sebuah pabrik garmen mau merekrut penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda. Pemerintah perlu mengatur apa saja akomodasi yang dibutuhkan tenaga kerja tersebut untuk menjalankan pekerjaannya. “Ini tugas pemerintah untuk membantu pengusaha agar bisa mempekerjakan penyandang disabilitas,” ujar Fajri.

Kemudian aturan mengenai insentif yang diberikan kepada perusahaan swasta yang mempekerjakan penyandang disabilitas. Menurut Fajri insentif itu diantaranya berbentuk kemudahan memperoleh izin. Peraturan pelaksana yang dibuat untuk mengatur hal tersebut harus rinci menjabarkan bagaimana agar pengusaha mampu mendapat insentif itu.

Begitu pula dengan peraturan pelaksana yang memberi sanksi administratif bagi pemberi kerja yang tidak menyediakan akomodasi layak dan fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja penyandang disabilitas. Sanksi yang diberikan mulai dari teguran tertulis; penghentian kegiatan operasional; pembekuan izin usaha; dan pencabutan izin usaha.

Jika peraturan pelaksana tentang ketenagakerjaan yang diamanatkan UU Penyandang Disabilitas itu sudah diterbitkan Fajri yakin akan mendorong dunia usaha untuk mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas. Peraturan pelaksana itu harus menjabarkan ketentuan yang rinci dan jelas sehingga pengusaha tidak kebingungan untuk melaksanakannya. Begitu pula dengan pelaksanaan sanksinya bagi pihak yang melakukan pelanggaran. “Tujuannya kan membuka akses lapangan pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait