Sekelumit Cerita Rapat Pleno Kamar di MA
Pleno Kamar 2016:

Sekelumit Cerita Rapat Pleno Kamar di MA

Ada tiga sebab munculnya pembahasan dan perumusan kaidah hukum baru di masing-masing kamar.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi : BAS
Ilustrasi : BAS
Belum lama ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran (SEMA) No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (di bawahnya). SEMA ini berisi kesepakatan persoalan teknis yudisial dan nonteknis (kesekretariatan) di masing-masing kamar MA, seperti kamar pidana, kamar perdata, kamar agama, kamar militer, kamar tata usaha negara.

Sejak berlakunya Sistem Kamar pada akhir 2011, MA sudah menggelar rapat pleno kamar sebanyak 5 kali. Yakni, pada akhir tahun 2012, 2013, 2014, 2015 termasuk akhir tahun 2016. Setiap rapat pleno membahas dan menyamakan persoalan hukum baru yang lahir dari putusan kasasi atau peninjauan kembali (PK). Lalu, persoalan hukum ini menghasilkan kesepakatan rumusan kaedah (prinsip) hukum baru di masing-masing kamar yang dijadikan pedoman penanganan perkara bagi semua tingkat peradilan. 

Setiap hasil pleno kamar ini biasanya dituangkan dalam bentuk SEMA. Diantaranya, SEMA No. 07 Tahun 2012 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan; SEMA No. 4 Tahun 2014; SEMA No. 3 Tahun 2015; SEMA No. 4 Tahun 2016 tentang hal yang sama. “Hasil rumusan pleno kamar ini sebagai pedoman penanganan perkara oleh hakim di tingkat pertama, banding, hakim agung, dan pejabat peradilan terkait,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di ruang kerjanya, Jum’at (10/2).   

Ridwan menerangkan kebijakan MA mengenai pembahasan hasil pleno kamar ini dimulai sejak tahun 2012 seiring berlakunya sistem kamar di MA. Karena itu, sama halnya dengan tujuan Sistem Kamar, tujuan rumusan hasil pleno kamar ini juga untuk menjaga kesatuan pendapat/pandangan hukum para hakim agar tercipta konsistensi putusan di semua tingkat peradilan.

“Diharapkan, jangan sampai ada perbedaan pandangan hukum materil dan atau formil di masing-masing kamar. Artinya, putusannya itu tidak boleh ada disparitas (perbedaan yang tajam) untuk perkara yang sama, jadi harus konsisten,” ujarnya menjelaskan. (Baca Juga : Ini SEMA Hasil Pleno Kamar 2016)

Secara prosedural, rapat pleno kamar ini dipimpin oleh Ketua Kamar yang dihadiri seluruh Hakim Agung anggota kamar untuk memutuskan rumusan hukum yang disepakati. Lalu, hasil rumusan tersebut di bawa ke rapat pleno besar yang dihadiri seluruh Hakim Agung sekaligus diuji Pimpinan MA. Dia mencontohkan rumusan hukum kamar pidana terkait kesepakatan pemidanaan bagi seorang suami yang tidak mendapat izin istri (pertama) untuk menikah lagi bisa dijerat Pasal 279 KUHPidana terkait kejahatan terhadap perkawinan.

“Kata hakim agama tidak bisa pasal itu diterapkan, karena bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip agama (Islam). Sebab, praktik di Pengadilan Agama itu tidak mutlak adanya izin istri (pertama), sementara di perkara pidana harus dipidana. Dua pandangan ini dari hukum Islam dan hukum Barat (KUHP), apa nanti di Pengadilan Agama ada sebuah kesepakatan oleh hakim agama, kan hakim pembuat hukum juga yang putusannya bisa menjadi yurisprudensi,” ujar Ridwan menjelaskan.

Menurutnya, ada tiga sebab munculnya pembahasan dan perumusan kaidah hukum baru di masing-masing kamar. Pertama, persoalan hukum muncul dari pertanyaan-pertanyaan di pengadilan tingkat pertama dan banding. Kedua, rumusan ini muncul dari putusan-putusan pengadilan tingkat pertama dan banding. Ketiga, rumusan ini muncul dari perbedaan-perbedaan pendapat hakim di tingkat MA ketika ada dissenting opinion dalam putusan kasasi atau PK.

“Hal-hal ini muncul dari kaedah penerapan hukum atau kaedah hukum materi yang baru terbit dari pemeriksaan perkara sebelumnya. Rumusan hasil pleno kamar tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi lahir dari proses penanganan perkara di pengadilan.” 

Tidak mengikat
Meski begitu, masih kata Ridwan, bagaimanapun SEMA Pleno Kamar ini sebenarnya tidak mengikat dan hanya sebagai pedoman atau arahan yang dapat diikuti para hakim, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, bukan oleh majelis. Rumusan ini tidak seperti bagian menimbang sebuah Undang-Undang (UU). “Dia (SEMA) hanya mengisi kekosongan hukum yang belum diatur UU terkait,” lanjutnya.  

Setidak-tidaknya, melalui SEMA Pleno Kamar ini, MA menjalankan fungsi pembinaan untuk mengatur peradilan sebagai guidance ini bagi para hakim. Dengan begitu, apabila rumusan hasil pleno kamar ini dikesampingkan oleh majelis hakim sesuai keyakinannya boleh saja. Sebab, prinsipnya para hakim ini memegang teguh asas independensi. “Artinya, SEMA ini tidak untuk mematok seperti sebuah “pagar” agar para hakim harus begini atau begitu.”  

Hasil pleno kamar tahun 2016 ini setidaknya disepakati beberapa poin rumusan hukum. Seperti, di kamar pidana disepakati 8 poin rumusan hukum; di kamar perdata disepakati 8 poin rumusan hukum perdata umum dan masing-masing 1 poin rumusan hukum perdata khusus PHI, sengketa parpol, dan arbitrase. Sementara di kamar agama disepakati 9 poin rumusan hukum; di kamar militer disepakati 5 poin rumusan hukum; di kamar tata usaha negara disepakati 6 poin rumusan hukum.

Nah, Hukumonline hanya mengupas beberapa rumusan hasil pleno kamar 2016 ini yang menarik dari sisi perdebatan hukumnya atau materi muatannya dinilai sebagai sebuah terobosan. Di kamar pidana, misalnya, BPK ditetapkan sebagai lembaga yang berwenang menghitung adanya (unsur) kerugian negara (wewenang tunggal). Sementara lembaga lain seperti BPKP, Inspektorat atau Satker Perangkat Daerah tetap berwenang memeriksa dan mengaudit keuangan negara, tetapi tidak berwenang menyatakan (men-declare) adanya kerugian negara. Kemudian rumusan ini diprotes oleh ICW beberapa waktu. (Baca Juga : ICW : SEMA 4/2016 Berpotensi Hambat Pemberantasan Korupsi)
Tags:

Berita Terkait