5 Catatan Komnas HAM untuk Pilkada Jakarta 2017
Berita

5 Catatan Komnas HAM untuk Pilkada Jakarta 2017

Rekomendasinya disampaikan ke KPU, Bawaslu dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pemilih di Lapas dalam pilkada DKI Jakarta 2017. Foto: RES
Pemilih di Lapas dalam pilkada DKI Jakarta 2017. Foto: RES
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 telah berlangsung beberapa waktu lalu. Hampir seluruh warga Jakarta antusias mengikuti perhelatan lima tahunan itu. Walau secara umum berjalan lancar, Komnas HAM punya beberapa catatan penting.

Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, mengatakan sedikitnya ada 5 temuan Komnas HAM dalam Pilkada Jakarta 2017. Pertama, ada persoalan terkait data pemilih yang belum terkonsolidasi dan mutakhir sehingga memicu dugaan pelanggaran hak pilih warga Jakarta yang ada di beberapa tempat seperti rutan, rutan di 6 polres, rumah susun, rumah sakit (RS) dan panti sosial. Misalnya, pengelola Rutan Salemba mengusulkan 2.746 tahanan calon pemilih, tetapi setelah diverifikasi KPU hanya 497 yang punya hak pilih. (Baca juga: Pilkada yang Berintegritas).

Begitu pula dengan lapas kelas I Cipinang, dari 2 ribu warga binaan yang diusulkan hanya 1.176 yang dinyatakan KPU DKI Jakarta sebagai pemilih. Kemudian rutan Pondok Bambu, diusulkan 544 warga binaan bisa ikut mencoblos, tapi yang lolos verifikasi oleh KPU DKI Jakarta hanya 157 orang. Di rusun Rawa Bebek, Ketua RW 17 mendata ada 1.200 orang calon pemilih, tapi yang terverifikasi sebagai pemilih hanya 710 orang. (Baca juga: Pesta Demokrasi Ala Warga Rutan).

“Hasil pemantauan Komnas HAM di 5 wilayah administrasi kota dan 1 kabupaten (Kepulauan Seribu), telah ditemukan beberapa persoalan yang berdampak pada pemenuhan hak sebagian warga untuk memilih,” kata Sandra dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Selasa (21/2).

Kedua, tidak ada tempat pemungutan suara (TPS) khusus di sejumlah rumah sakit yang dipantau Komnas HAM seperti RS Persahabatan, RSUD Pasar Minggu, RS Fatmawati, RS Tarakan, rutan kepolisian dan panti sosial. TPS ini mengakomodasi warga yang kesulitan menggunakan hak pilihnya karena kondisi fisik (sakit) atau dibatasi kebebasannya (tahanan). Bahkan di panti sosial Bina Laras Jakarta Barat, ada 429 warga tidak terdata dan tidak dapat memilih.

Ketiga, minimnya pemahaman petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) terkait prosedur dan mekanisme pemungutan suara bagi pemilih. Akibatnya, sejumlah warga tidak dapat menggunakan hak suaranya. Misalnya, petugas KPPS melarang warga yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) untuk mencoblos karena tidak membawa surat undangan (formulir C6). Bahkan, ada warga yang membawa C6 orang lain dan surat kuasa kemudian dibolehkan mencoblos. Ada juga warga yang tidak punya formulir C6 tapi membawa E-KTP dan KK asli tapi tidak diperkenankan mencoblos. (Baca juga: Mengintip Dasar Hukum Pilkada Putaran Kedua).

Keempat, sosialisasi kurang dan prosedur pengurusan surat keterangan pindah memilih (formulir A5) sangat kaku. Hal ini menyebabkan warga yang berada di rutan polres, dirawat di RS dan tinggal di rusun tidak dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada Jakarta. Misalnya, pihak KPU DKI melakukan sosialisasi ke polres beberapa hari menjelang pencoblosan, tentu saja ini menyulitkan pihak polres untuk menyiapkan kebutuhan data dan teknis pelaksanaan pemungutan suara.

Kelima, Komnas HAM menemukan kurangnya perhatian dan fasilitasi terhadap pemilih kalangan disabilitas, warga yang sakit dan di kawasan rusun.

Kabag Pelayanan Pengaduan Komnas HAM sekaligus memantau pelaksanaan Pilkada di Jakarta Timur, Rima Salim, mengatakan untuk RS Persahabatan pada Pemilu 2014 ada TPS khusus. Tapi untuk Pilkada Jakarta 2017 itu tidak bisa dilakukan karena pihak KPU DKI Jakarta hanya sanggup membuat TPS keliling.

Sayangnya, TPS keliling itu hanya berlangsung sekitar 1 jam yakni 12.00-13.00. Waktu yang disediakan tidak cukup untuk melayani pasien yang ingin menggunakan hak pilihnya. “Harusnya dibentuk TPS khusus seperti Pemilu 2014,” ujar Rima.

Untuk warga binaan di rutan menurut Rima masalah teknis yang dihadapi yakni sulitnya mengurus surat keterangan bagi calon pemilih yang belum memiliki E-KTP.

Guna memperbaiki penyelenggaraan Pilkada Jakarta 2017, Komnas HAM merekomendasikan 5 hal. Pertama, memperbaiki DPT dengan koordinasi yang lebih baik antar instansi seperti pengelola RS, rutan, rusun, Bawaslu dan Dinas pendudukan dan catatan sipil Jakarta. Kedua, mengupayakan adanya TPS khusus dan/atau TPS keliling di RS, panti sosial, dan rutan kepolisian.

Ketiga, memastikan pemahaman yang sama antar petugas di seluruh KPPS terutama prosedur dan mekanisme pemungutan suara. Keempat, mempermudah pengurusan surat A5 bagi para pasien di RS dan tahanan di rutan kepolisian. Selain itu memaksimalkan sosialisasi aturan tentang pemilih dalam DPT (C6), surat keterangan pindah memilih (A5) dan pemilih tambahan (DPTb) terhadap seluruh warga Jakarta termasuk timses tiap pasangan calon, instansi terkait seperti Dirjen Pemasyarakatan, Polda Metro Jaya, kepala RS, pengelola apartemen dan rusun.

Kelima, memastikan ketersediaan surat suara cadangan untuk menghindari kurangnya surat suara di TPS sekaligus melakukan pengawasan ketat terhadap surat suara cadangan itu. Tak ketinggalan Sandra mengatakan Komnas HAM akan melayangkan temuan dan rekomendasi itu kepada KPU dan Bawaslu DKI Jakarta serta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Tags:

Berita Terkait