Ketika Terdakwa Sakit Permanen Tak Surutkan Langkah “Si Pemberantas Korupsi”
Pleno Kamar 2016:

Ketika Terdakwa Sakit Permanen Tak Surutkan Langkah “Si Pemberantas Korupsi”

Mulai dari berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia hingga berkoordinasi dengan Jaksa Pengacara Negara.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI/ASH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi : BAS
Ilustrasi : BAS
Ada kalanya muncul pertanyaan dalam persidangan sebuah perkara. “Mengapa terdakwa mendadak sakit ketika disidangkan di pengadilan?” Dalam beberapa sidang perkara korupsi, misalnya, terdakwa sering mengajukan izin berobat kepada majelis hakim. Bahkan, ada yang berupaya keras menunjukan dirinya mengidap sakit permanen.

Asal tahu saja, terdakwa yang dinyatakan sakit permanen akan dianggap tidak layak untuk disidangkan atau unfit to stand trial. Majelis hakim akan mengeluarkan penetapan untuk mengembalikan berkas perkara terdakwa kepada penuntut umum. Hal ini pernah terjadi pada perkara mantan Presiden (alm) Soeharto.

Kala itu, penuntut umum tidak pernah bisa menghadirkan Soeharto ke hadapan persidangan. Hingga akhirnya, majelis hakim yang diketuai Lalu Mariyun beranggotakan Soemarno, I Gde Putra, Mohammad Munawir, dan Sultan Mangun mengeluarkan sebuah penetapan.

Kala itu. Majelis menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto tak dapat diterima, membebaskan Soeharto dari tahanan kota, mengembalikan berkas perkara ke Kejaksaaan Negeri Jakarta Selatan, dan mencoret perkara pidana No. 842/Pid/b/2000/PN Jakarta Selatan pada tahun yang sedang berjalan.

Alasannya jelas, sejak awal penuntut umum tidak bisa menghadirkan terdakwa ke persidangan. Mulai dari sidang pertama pada 31 Agustus 2000, sidang kedua pada 14 September 2000, hingga sidang ketiga pada 28 September 2000 silam. Ketidakhadiran Soeharto lantaran sakit permanen.

Selain kasus Soeharto, masih ada beberapa kasus serupa. Menyikapi situasi semacam ini, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu rumusan kamar pidana ini selengkapnya berbunyi:
SEMA No. 4 Tahun 2016
A. Rumusan Hukum Kamar Pidana

7. Manakala terdakwa tidak pernah hadir di sidang pengadilan dengan alasan sakit permanan yang diperkuat dengan surat keterangan dokter, maka sikap majelis hakim yang mengadili dapat memerintahkan dilakukan pemeriksaan kesehatan ulang (second opinion) oleh Tim Dokter Rumah Sakit Umum Pusat atau Daerah.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, saat ditemui hukumonline di ruang kerjanya, Jumat (10/2), mengatakan pedoman itu diterbitkan karena akhir-akhir ini banyak terdakwa mangkir dari panggilan persidangan dengan alasan sakit. Surat dokter yang disampaikan ke majelis pun dibuat sepihak dari kuasa hukum atau terdakwa sendiri.

“Nah, itu alasannya sakit, dengan menunjukan surat keterangan dokter. Bisa itu dokter pribadi, bisa itu dokter ‘abal-abal’ yang penting ada surat keterangan dokter. Alhasil, faktanya banyak terdakwa dan atau kuasa hukum hanya mengulur-ulur penanganan perkara hingga habis masa penanganan karena tidak datang di persidangan,” katanya. (Baca Juga : Ngakunya Sakit, Tapi Kok Para Terdakwa Korupsi Ini…)

Menurutnya, jika terdakwa sejak awal tidak hadir di persidangan, maka pemeriksaan perkara tidak bisa dilakukan, seperti pada perkara almarhum Soeharto. Karena itu, majelis hakim dapat memerintahkan penuntut umum melakukan pemeriksaan ulang (second opinion), tetapi harus dilakukan di rumah sakit umum.

Ridwan menerangkan selama ini KUHAP hanya mengatur surat keterangan dokter dengan alasan terdakwa sakit. Padahal, surat keterangan dokter tersebut bisa menjadi alat bagi terdakwa untuk mangkir agar masa tahanan habis, sehingga mau tidak mau majelis hakim harus mengeluarkan terdakwa demi hukum.

Seharusnya, sambung Ridwan, rumusan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Peraturan Pelaksanaan KUHAP. Sebab, tidak hanya terjadi pada pemeriksaan pengadilan tingkat pertama, bisa juga dalam proses penyidikan. Ia mempersilakan jika aparat penegak hukum lain ingin mengeluarkan Surat Edaran serupa.

“Jurus” sakit semacam ini juga pernah dilakukan Nunun Nurbaeti kala dipanggil menjadi saksi dalam sidang kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Sesuai surat keterangan dokter yang diterima penuntut umum KPK, ketidakhadiran Nunun karena “sakit lupat berat” atau vertigo migran.

Nunun yang akhirnya juga menjadi terdakwa dalam kasus tersebut sempat pergi ke Singapura dengan alasan menjalani perawatan. Namun, KPK mendapati fakta berbeda. Nunun hanya pasien rawat jalan. Dokter yang menangani pun bukan dokter spesialis penyakit seperti yang dinyatakan dokter pribadi Nunun di Indonesia.

Hingga ditetapkan KPK sebagai tersangka pada Februari 2011, Nunun tak kunjung kembali ke tanah air. Bahkan, ia sempat berpindah tempat ke Thailand. Berkat kerja sama KPK dengan Mabes Polri, Interpol, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian Thailand, Kedutaan Besar RI untuk Thailand, Nunun berhasil dipulangkan ke Indonesia pada Desember 2011.

Kejadian ini nampaknya menjadi pelajaran berharga bagi KPK. Pada Juni 2012, KPK menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait penilaian medis dan second opinion terhadap saksi, tersangka, terdakwa yang perkaranya ditangani KPK.

Kala itu, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, penandatanganMoU untuk menghindari atau mengantisipasi penyimpangan dalam proses penilaian medis dan second opinion. Sebab, situasi demikian kerap terjadi dalam beberapa kasus yang ditangani KPK. Ada beberapa hal yang disepakati KPK dan IDI.

Pertama, dalam hal penilaian medis, KPK dapat meminta IDI menunjuk dokter atau dokter spesialis untuk mengkaji dan memberikan keterangan tertulis mengenai kelayakan medis saksi, tersangka, atau terdakwa guna kepentingan proses penyidikan atau persidangan (fit to be questioned or fit to be stand trial). 

Kedua, KPK dapat meminta IDI menunjuk dokter atau dokter spesialis untuk mengkaji dan memberikan keterangan tertulis terhadap saksi, tersangka, atau terdakwa yang menolak memberi keterangandengan alasan sakit tanpa ada surat keterangan dan diagnosis dari dokter.

Ketiga, terkait second opinion, atas permintaan KPK, IDI menunjuk dokter untuk memberikan pendapat berdasarkan data atau hasil pemeriksaan kesehatan dokter sebelumnya untuk kepentingan penilaian medis. Secara tertulis dokter yang ditunjuk IDI juga memberikan penjelasan atas surat keterangan hasil penilaian medis dan second opinion itu untuk kepentingan KPK.

Unfit to stand trial
Dalam beberapa disiplin ilmu, seperti psikiatri dan psikologi forensik dikenal istilah unfit to stand trial atau not fit to stand trial. Istilah ini digunakan untuk seseorang yang tidak cakap atau tidak layak disidangkan di pengadilan. Setidaknya, keterangan dua ahli ini dapat memberikan gambaran kondisi seperti apa yang dapat dikategorikan unfit to stand trial.

Prof Marlina Setiawati Mahajudin, dr, Sp.KJ (K), ahli psikiatri pernah memberikan keterangannya dalam perkara No. 233/Pid.B/2012/PN.Bgl. Ia tercatat sebagai pengajar Ilmu Kedokteran Jiwa di Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga. Dahulu, Prof Marlina sempat ikut memeriksa mantan Presiden Soeharto.

Sebagaimana dikutip dari isi putusan perkara No. 233/Pid.B/2012/PN.Bgl atas nama terdakwa Sutikno Linuhung, Prof Marlina membuat kesimpulan bahwa terdakwa dalam psikiatri forensik telah memenuhi kriteria sebagai tidak cakap untuk dihadirkan di pengadilan atau not fit to stand trial.

Kesimpulan ini mengacu pada hasil pemeriksaan terdakwa yang dilakukan Prof Marlina bersama tim. Dimana, terdakwa mengalami kemunduran daya ingat pada hasil pemeriksaan neurobehavior, kelancaran verbal rendah, fungsi belajar rendah, serta konsentrasi, kemampuan menginterprestasikan informasi rendah dan memori rendah.

Dari hasil pemeriksaan diagnosa syaraf otak, terdakwa mengidap gangguan syaraf. Prof Marlina menyebutkan penyakit yang diderita terdakwa sama seperti yang dialami mantan Presiden Soeharto. Ciri-cirinya, antara lain, jika bertanya harus ada ada jeda/tempo, baru bisa menjawab dengan benar.

Lain halnya dengan ilmu psikologi forensik. Ahli Reza Indragiri Amril yang pernah memberi keterangan dalam perkara No. 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst atas nama terdakwa Hendra Saputra mengatakan bahwa ada dua terminologi psikologi forensik untuk melihat apakah seseorang bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya?

Terminologi pertama adalah competence to stand trial atau kompetensi untuk menjalani persidangan dan terminologi kedua berkaitan dengan fitnes to stand trial atau kebugaran dalam arti kesiapan kondisi psikologis dalam menjalani persidangan. Spesifik, fitnes to stand trial itu berbicara mengenai apakah seseorang dalam kondisi waras atau tidak waras.

“Seseorang yang dikatakan tidak waras berarti dinyatakan unfit. Jadi, jika seseorang dinyatakan unfit, maka dia dinyatakan tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Sebaliknya jika seseorang dinyatakan memiliki fitnes, maka dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya,” demikian keterangan Reza.

Perkara dihentikan akibat sakit permanen
Selain perkara mantan Presiden Soeharto, masih ada beberapa perkara serupa yang pernah dihentikan pengadilan lantaran terdakwa sakit permanen. Khusus untuk KPK, hukumonline hanya mencatat tiga perkara yang dikembalikan majelis hakim kepada penuntut umum karena terdakwa dianggap tidak layak disidangkan.

1. Mantan bupati Lombok Barat Iskandar
Perkara Iskandar mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 2008. Mantan Bupati Lombok Barat ini didakwa KPK melakukan melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus tukar guling (ruislag) aset Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. Ia dianggap telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp1,64 miliar.

Namun, di tengah proses pemeriksaan perkara, majelis hakim yang diketuai Gusrizal mengeluarkan penetapan. Majelis memerintahkan penuntut umum menghentikan pemeriksaan perkara Iskandar sampai kondisi kesehatan Iskandar pulih, sehingga dia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Penetapan majelis ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan hasil observasi tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Iskandar mengidap demensia. Penderita demensia biasanya akan mengalami penurunan kemampuan mental secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, pikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian.

Hasil observasi pun diperkuat oleh keterangan dua dokter, Arya Goefinda dokter ahli penyakit dalam khusus usia lanjut dan Charles Efert D, yang dihadirkan sebagai ahli di persidangan. Selain demensia, Iskandar juga ternyata mengidap penyakit lain, seperti infeksi saluran kandung kemih, batu empedu, ginjal, diabetes melitus, tekanan darah tinggi dan pembengkakan prostat.

Gejala demensia itu sebenarnya sudah diperlihatkan Iskandar selama menjalani persidangan. Hal tersebut nampak saat pemeriksaan saksi pada tanggal 26 November 2008. Iskandar tiba-tiba buang air kecil di persidangan dan berhalusinasi bahwa dia masih menjabat sebagai bupati dan bukan sebagai terdakwa kasus korupsi.

Alih-alih membaik, kondisi kesehatan Iskandar semakin menurun hingga akhirnya meninggal di Mataram, Nusa Tenggara Barat pada Januari 2010.

2. Mantan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) Teuku Syaiful Achmad
Sedianya, pada 2015, penuntut umum KPK akan membacakan surat dakwaan Teuku di Pengadilan Tipikor Jakarta. Syaiful diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Dermaga Sabang pada kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang. Syaiful diduga memperkaya diri sendiri Rp7,49 miliar. (Baca Juga : Terdakwa Sakit Permanen, KPK Koordinasi dengan JPN Kembalikan Uang Negara)

Syaiful diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama mantan Kepala PT Nindya Karya cabang Sumatera Utara dan Aceh Heru Sulaksono yang perkaranya sudah diputus di Pengadilan Tipikor Jakarta. Selain Heru, ada satu terdakwa lain, yaitu Ramadhan Ismy yang juga perkaranya sudah diputus sebelumnya di pengadilan.

Namun, apa daya, Syaiful yang beberapa kali dihadirkan ke persidangan dengan menggunakan kursi roda dan didampingi istrinya sama sekali tak bisa merespon lawan bicaranya. Apapun yang dikatakan dan ditanyakan ketua majelis hakim Casmaya, Syaiful hanya terdiam. Bahkan, istri Syaiful diizinkan majelis untuk duduk mendampinginya.

Alhasil, setelah penuntut umum meminta pemeriksaan tim dokter IDI, Syaiful dinyatakan sakit permanen dan unfit to stand trial. Tim dokter IDI menemukan riwayat stroke dan hemodialisis. Selain itu, pada pemeriksaan neurologi secara klinis dan radiologis, Syaiful mengidap demensia vaskuler (penurunan kemampuan kognitif).

Demensia vaskuler itu merupakan akibat penyakit stroke yang sebelumnya diderita Syaiful. Begitu pula dengan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa Syaiful. Terdapat gangguan dalam fungsi kognitif atau kemampuan berpikir yang menyebabkan Syaiful kesulitan memberikan informasi secara rinci, detail, dan terstruktur.

Karena itu, tim dokter IDI menyimpulkan kondisi Syaiful tidak cakap, mampu, dan kompeten untuk menjalani pemeriksaan dalam rangka penyidikan dan persidangan. Hal ini didukung pula dengan keterangan penuntut umum dan istri Syaiful. Dengan demikian, majelis berpendapat Syaiful tidak mampu menjalani pemeriksaan di persidangan. Majelis hakim pun mengeluarkan penetapan tanggal 15 Oktober 2015 untuk mengembalikan berkas perkara Syaiful kepada penuntut umum.

3. Direktur Utama PT Pantai AAN Bambang Wiratmadji Soeharto
Masih di tahun 2015, penuntut umum KPK melimpahkan perkara Bambang Wiratmadji Soeharto ke Pengadilan Tipikor Jakarta. Akan tetapi, sejak awal, penuntut umum sulit menghadirkan Bambang ke persidangan. Hanya tim pengacara Bambang yang selalu hadir di persidangan dengan membawa surat keterangan dokter. (Baca Juga : Terbaring Sakit Bambang W Soeharto Urung di Sidang)

Sampai akhirnya, masing-masing menghadirkan dokter ke persidangan. Pengacara Bambang menghadirkan dokter pribadi Bambang, RWM Kaligis, sedangkan penuntut umum menghadirkan tim dokter IDI. Dokter pribadi menyatakan penyakit Bambang sangat serius. Bahkan, Bambang berisiko tinggi untuk mati karena stroke atau serangan jantung.

Bahkan, Kaligis menegaskan penyakit Bambang sudah menahun. Atas dasar itu, Kaligis “memvonis” Bambang tidak layak disidangkan atau unfit to stand trial. Berbeda dengan hasil pemeriksaan tim dokter IDI. Walau didiagnosa mengidap sejumlah penyakit, Bambang dianggap tidak sakit permanan dan layak untuk menjalani persidangan.

Sepakat dengan hasil pemeriksaan tim dokter IDI, majelis hakim yang diketuai John Halasan Butar Butar menolak permohonan pengacara untuk menghentikan pemeriksaan perkara Bambang. Pada 2 November 2015, majelis menetapkan untuk melanjutkan persidangan terdakwa dengan didampingi dokter pribadi atau dokter umum.

Terlebih lagi, berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter IDI, Bambang mampu hadir menjalani pemeriksaan dan observasi. Saat diperiksa tim IDI, Bambang pun dalam keadaan sadar, dapat memahami setiap tahap jalannya peradilan, serta masih mampu mengutarakan hal-hal terkait pembelaan dirinya.

Sesuai pemeriksaan tim IDI pula, Bambang diketahui cenderung menyampaikan ekspresi emosi depresi dengan menunjukan gejala sakit dan penurunan daya ingat. Namun, di pertengahan dan akhir wawancara, Bambang dapat menjelaskan harapannya dengan cukup rinci, seperti menjelaskan pasal-pasal yang mendukung dirinya unfit to stand trial.

“Sejak awal pemeriksaan, nampaknya terperiksa (Bambang) menunjukan keinginan untuk dinyatakan unfit to stand trial berkaitan dengan persepsi bahwa dirinya mengalami multiple heart dinamic yang bersifat permanen. Di saat yang sama, terperiksa menyatakan keluhan jantungnya bersifat sementara atau temporary,” ujar John membacakan penetapan majelis.

Meski majelis telah memerintahkan persidangan dilanjutkan, Bambang tak kunjung hadir di persidangan karena sakit. Sampai suatu ketika Bambang muncul di persidangan dalam kondisi terbaring di tempat tidur sembari ditemani istrinya. Ketika majelis menanyakan kondisinya, Bambang hanya mengeluh sakit.

Melihat kondisi Bambang, majelis memerintahkan dokter pribadi Bambang dan tim dokter IDI melakukan observasi bersama. Akan tetapi, tim bersama tidak jadi dibentuk karena pengacara terdakwa menyatakan tidak sanggup. Hingga akhirnya majelis mengeluarkan penetapan untuk mengembalikan perkara Bambang ke penuntut umum.

Penuntut umum KPK, Ali Fikri mengatakan, penetapan tersebut dikeluarkan majelis pada 2016, yakni sekitar empat atau lima bulan lalu. “(Ketika itu) Majelis menetapkan (Bambang) tidak layak disidang. Menunggu yang bersangkutan bisa disidangkan kembali,” tuturnya kepada hukumonline.

Peran jaksa pengacara negara
Meski ada beberapa perkara yang “gagal” dimajukan ke persidangan, tak lantas menyurutkan langkah KPK untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Penuntut umum perkara Syaiful, Iskandar Marwanto misalnya. Iskandar sempat menyatakan bahwa pihaknya akan terus berkoordinasi dengan jaksa pengacara negara (JPN).

Ketika Syaiful dinyatakan majelis sakit permanen dan unfit to stand trial, Iskandar tetap berupaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Pasalnya, berdasarkan putusan terdakwa-terdakwa sebelumnya, telah terjadi kerugian negara, sehingga upaya pengembalian kerugian negara pun harus tetap ditindaklanjuti.

Memang, UU Tipikor tidak mengatur mengenai gugatan untuk terdakwa yang dinyatakan sakit permanen atau unfit to stand trial. UU Tipikor hanya mengatur gugatan untuk terdakwa yang meninggal dunia, diputus bebas, dan dianggap tidak memenuhi unsur, meski telah nyata terjadi kerugian negara.
UU Tipikor
Pasal 32
(1) Dalam hal penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Pasal 33
Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Meski begitu, Iskandar merasa upaya menggugat terdakwa yang sakit permanen melalui JPN patut dicoba. Bahkan, ia menganggap langkah tersebut sebagai penemuan hukum. “Maka, ini pun satu temuan hukum bagi majelis dan upaya baru kita untuk menindaklanjuti jika ada kasus-kasus seperti ini ke depan,” katanya.

Senada, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta juga mengatakan KPK bisa berkoordinasi dengan JPN. “Kalau menyangkut kerugian keuangan negara, sepanjang buktinya kuat dapat dilakukan gugatan (perdata) ganti kerugian, termasuk kepada ahli warisnya,” ujarnya.

Terkait koordinasi KPK dengan JPN terkait penerapan Pasal 33 UU Tipikor, setidaknya sudah dua gugatan yang dilayangkan JPN ke pengadilan. Pertama, gugatan terhadap ahli waris almarhum Yusuf Setiawan (terdakwa kasus Damkar) yang ditangani Kejaksaan Agung yang putusannya sudah dieksekusi sekitar Rp23,5 miliar.

Kedua, gugatan terhadap ahli waris mantan Bupati Lombok Barat Iskandar yang diajukan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (NTB). Gugatan ini kandas karena MA menganggap kerugian negara sudah dibebankan kepada terdakwa lain dan sudah dibayar lunas, sehingga almarhum Iskandar dan ahli warisnya tidak dapat dibebani lagi membayar kerugian negara.

Terlepas dari itu, sesuai Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, JPN yang menjalankan fungsi Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara (Datun), dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Saat memaparkan capaian kinerja Kejaksaan beberapa waktu lalu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum menegaskan, bidang Datun juga memiliki peranan penting dalam upaya pencegahan terhadap potensi penyimpangan dalam pelaksanaan proyek strategis nasional.

Berdasarkan laporan tahunan Kejaksaan tahun 2016, bidang Datun berhasil menyelamatkan keuangan negara Rp20,3 triliun dan tanah seluas 7.902 meter persegi, serta pemulihan keuangan atau kekayaan negara senilai Rp49,2 miliar. Di tahun sebelumnya, 2015, Datun berhasil menyelamatkan dan memulihkan keuangan negara Rp1,151 triliun.

Salah satu perkara Datun yang menarik perhatian di tahun 2015 adalah gugatan Pemerintah RI kepada Yayasan Supersemar. Dalam perkara ini JPN bertindak mewakili Presiden RI menggugat Yayasan Supersemar. Gugatan ini berkaitan perkara mantan Presiden Soeharto yang dahulu “gagal” di bawa ke persidangan.

Meski perjalanan gugatan cukup berliku, JPN berhasil memenangkan perkara di tahap peninjauan kembali (PK). Mahkamah Agung (MA) menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada pemerintah sejumlah AS$315,002 juta dan Rp139,438 miliar. Sayang, hingga kini putusan itu belum juga dieksekusi. (Baca Juga : Eksekusi Supersemar Tunggu Hasil Mediasi
Tags:

Berita Terkait