Ketua MK: Jangan Sampai Hukum Internasional Menegasi Hukum Bisnis Indonesia
Berita

Ketua MK: Jangan Sampai Hukum Internasional Menegasi Hukum Bisnis Indonesia

MK berperan dalam membangun perekonomian nasional. Meski hanya menyelesaikan perkara-perkara uji materi di MK, namun MK erat kaitannya dengan stabilitas ekonomi.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: RES
Dalam CEO Gathering yang diadakan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi satu-satunya narasumber dalam diskusi dua arah yang melibatkan para pengusaha. Diksusi tersebut dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai peran MK dalam membangun perekonomian nasional dan memberikan kepsatian hukum bagi dunia usaha.

Sebelum diskusi dimulai, dalam pemaparannya Arief menyampaikan beberapa hal mengenai perekonomian Indonesia, salah satunya adalah mengenai hukum internasional. Dalam hal perdagangan, sangat dimungkinkan Indonesia membuat perjanjian dengan Negara lain. Atau bergabungnya Indonesia ke dalam salah satu organisasi dunia yang ‘memaksa’ Indonesia mematuhi hukum yang berlaku secara internasional.

Meski demikian, Arief mengingatkan mengenai posisi hukum bisnis terhadap hukum internasional. Menurut Arief, jangan sampai hukum Internasional, baik itu melalui perjanjian kerjasama perdagangan atau ratifikasi bidang perdagangan, justru mempengaruhi hukum bisnis yang berlaku di dalam negeri. Hal tersebut penting untuk menjaga kedaulatan Indonesia dalam membangun perekonomian nasional.

“Jangan sampai hukum internasional menegasi hukum di dalam negeri. Atau hukum internasional mempengarui hukum bisnis di Indonesia,” kata Arief di Jakarta, Senin (27/2).

Arief juga menegaskan bahwa MK memiliki peran dalam membangun perekonomian nasional. Meski hanya menyelesaikan perkara-perkara uji materi di MK, namun MK erat kaitannya dengan stabilitas ekonomi. Pasalnya, tak jarang uji materi dilakukan terhadap UU yang berhubungan dengan ekonomi, misalnya saja mengenai UU Keuangan Negara, UU Koperasi ataupun perkara antara buruh dan pengusaha. (Baca Juga: Taktik Pemerintah dari Masa ke Masa ‘Merayu’ Investor Bangun Infrastruktur)

MK pernah mengeluarkan putusan menolak pembubaran OJK, dan yang teranyar adalah putusan MK yang menolak pembatalan sebagian atau seluruhnya UU Pengampunan Pajak. Beberapa contoh uji materi tersebut merupakan UU yang berhubungan dengan stabilitas nasional. Putusan MK memberikan kepastian hukum bagi iklim usaha di Indonesia.

Berdasarkan catatan MK, UU Ketenagakerjaan merupakan UU yang paling banyak di review baik oleh pengusaha maupun buruh. Arief mengatakan hal tersebut terjadi karena posisi yang tidak seimbang antara buruh dan pengusaha. Sehingga di sini peran MK menjadi penting untuk mewujudkan hubungan yang harmonis antara pelaku usaha dan pekerja. Lagi-lagi, tujuannya unuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui putusan-putusan.

“Tetapi MK tidak  memiliki kewenangan untuk eksekusi atas putusan-putusan tersebut, seperti yang ada di lembaga peradilan lainnya,” jelas Arief. (Lebih Jelas Tentang Skema PINA, Baca: Jalan Kelauar Atasi Kesulitan Pembiayaan Infrastruktur di Sektor Energi dan Konektivitas)

Karena tak memiliki kewenangan eksekusi, maka dalam beberapa hal putusan MK tidak implementatif. Hal tersebut diakui oleh Arief terkait pajak kendaraan berat yang dikenalan pajak kendaraan bermotor. Ketua Asosiasi Industri Kendaraan Bermotor, Gunadi, mengeluhkan soal implementasi pajak kendaraan bermotor yang terbaru. Menurut Gunadi, alat atau kendaraan berat yang tidak bisa dipindahkan seharusnya tidak dikenai pajak, sesuai putusan MK.

Arief sepakat atas hal tersebut. Bahkan pada medio 2016 lalu, MK memutuskan bahwa alat berat bukanlah kategori kendaraan bermotor. “Kendaraan berat termasuk ke dalam alat produksi, tidak bisa dikenakan pajak kendaraan bermotor. Putusan menjadi tidak implementatif karena ada kelemahan di implementasi, MK tidak bisa mengeksekusi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait