Anomali Negara dalam Pusaran Freeport
Berita

Anomali Negara dalam Pusaran Freeport

Polemik antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia saat ini, nyaris tidak memberi ruang bagi perbincangan tentang Keselamatan Rakyat dan Lingkungan Hidup di Papua.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua. Foto: ADY
Pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua. Foto: ADY
Selain persoalan arbitrase yang sedang menghangat saat ini, Freeport sebenarnya telah lama menjadi salah satu tugas berat Pemerintah. Polemik yang saat ini sedang terjadi, sebenarnya bermula dari niatan Pemerintah yang mencoba mengakomodir kepentingan ekpsor mineral logam Freeport yang terbentur aturan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014. Relaksasi ekspor mineral yang diberikan Pemerintah melalui skema Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berimbas pada ketegangan antara Pemerintah dengan Freeport saat ini.

Kasus Freeport saat ini sebenarnya menjadi sebuah gamabaran, betapa sebuah kebijakan Negara, bisa dinegosiasikan oleh korporasi. Di awal, Freeport mampu mendesak pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2014 untuk memberikan toleransi pengunduran kewajiban pengolahan dan pemurnian melalui pembangunan smelter hingga 11 Januari 2017.

“PP ini dibuat dengan melanggar batas waktu akhir kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian melalui pembangunan smelter pada tahun 2014 yang diwajibkan undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Tentu saja ini kado indah bagi Freeport yang tak mau merogoh kantung lebih banyak untuk melakukan pemurnian komoditas di dalam Negeri,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)Nasional, Merah Johansyah, dalam rilis yang diterima hukumoline. (Baca Juga: Periksa Due Dilligence Freeport, Lihat Peluang Indonesia Menang di Arbitrase Internasional)

Menurut Johan, Freeport juga mampu membuat pemerintah kehilangan akal sehat dengan mengubah sendiri Peraturan Menteri ESDM No 11/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan. Dalam pasal 13 Permen ini, rekomendasi ekspor diberikan apabila pembangunan smelter telah mencapai kondisi 60 Persen. Namun dalam perkembangannya, Pemerintah menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016.

Permen ESDM Nomor 5/2017 ini memberikan lagi pengecualian, yakni diskon jika kualifikasi fisik smelter belum memenuhi target. Ituah sebabnya, kemajuan pembangunan smelter Freeport Indonesia di Gresik hanya 14 Persen, namun perpanjangan rekomendasi ekspor konsentrat Freeport tetap terus diberikan. JATAM mencatat, pelanggaran terhadap UU Nomor 4/2009 yang dilakukan Freeport dan Pemerintah sudah terjadi sebanyak 6 kali, dan rekomendasi ekspor yang dikeluarkan tersebut memberikan keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah ke luar Negeri.(Baca Juga: PERADI Dukung Pemerintah Terkait Gugatan Freeport)

Melalui ‘setengah lusin’ perpanjangan rekomendasi ekspor yang diperoleh selama 2014-2016 saja, Freeport telah mengekspor 4,55 juta ton konsentrat. Dari 4,55 juta ton konsentrat ini, Freeport berhasil memproduksi 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 t oz (Troy Ons) emas. Total uang yang diperoleh Freeport dari dua tahun menikmati fasilitas perpanjangan izin ekspor tersebut mencapai USD 256 miliar atau Rp 3.328 triliun. Angka tersebut hampir setara dua kali APBN Indonesia.

Pada 2010, Freeport memberikan kontribusi 18,3 triliun ke pendapatan negara, namun sejak 2012, Freeport tak lagi membayar dividen sehingga hanya berkontribusi 9,5 triliun  dari 1.332 triliun pendapatan negara. Sementara di tahun 2015, Freeport bahkan hanya menyetor 5,1 triliun dari 1.496 triliun pendapatan negara atau hanya 0,3 persen dari pendapatan negara. Maka dalam empat tahun sejak 2012 hingga 2016, rata-rata kontribusi Freeport dalam pendapatan Negara hanya 0,4 persen.(Baca Juga: Freeport Pertimbangkan Gugat Indonesia ke Arbitrase Internasional)

Menurut Johan, perbandingan antara Kontribusi Pajak, Royaltidan Dividen Freeport pada Pendapatan Negara amatlah kecil, rata-rata kontribusi 0,4 persen dari Pendapatan Negara tersebut harus ditebus dengan berbagai permasalahan yang timbul akibat hadirnya Freeport di Papua. Pemerintah telah terlalu toleran,bahkan rela mengubah peraturannya sendiri, karena tak berhasil memaksa Freeport untuk patuh pada peraturan. “Termasuk memberlakukan Papua dengan tidak adil dan membiarkan kekerasan terus menerus terjadi, hanya untuk melayani Freeport,” ujarnya.

JATAM Menyoroti kehadiran Freeport yang telah mendorong eskalasi kekerasan terhadap rakyat Papua, penggusuran kampung dan penangkapan sewenang-wenang, serta penghancuran lingkungan hidup yang massif. “Jelas bahwa kesejahteraan yang selama ini diklaim telah dihadirkan oleh Freeport adalah omong kosong, kesejahteraan semu belaka. Mempertahankan operasi Freeport justru merugikan dan mewariskan kerusakan tak terkendali dan tak terpulihkan,”  kata Johan.

Menurutnya, harus ada proses penegakan hukum atas pelanggaran undang-undang dan pelanggaran HAM yang selama ini telah dilakukan. Freeport pun harus dituntut melakukan pemulihan atas kerusakan alam yang ditimbulkan selama 50 tahun beroperasi di Papua.

Persoalan Lingkungan Hidup
Polemik antara Pemerintah dan PT. Freeport Indonesia saat ini, nyaris tidak memberi ruang bagi perbincangan tentang Keselamatan Rakyat dan Lingkungan Hidup di Papua. Data JATAM menyebutkan, dua konsesi Tambang Blok A di Kabupaten Paniai dan Blok B pada tahun 2012 di Kabupaten Mimika luasannya mencapai 212.950 hektar, hampir seluas Kabupaten Bogor.

“Perusahaan ini meracuni dan menjadikan sungai sebagai tempat sampah, membuang limbah beracun (merkuri dan sianida). Lima sungai yaitu sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe telah menjadi tempat pengendapan tailing tambang mereka. Sungai Ajkwa di Mimika bahkan telah menjadi tempat pembuangan limbah tailing selama 28 tahun, sejak 1988 hingga 2016. Hingga tahun 2016, areal kerusakan dan pendangkalan karena tailing sudah sampai ke laut,” ujar Johan.

Pada pertengahan tahun lalu, PT Freeport Indonesia juga membangun perluasan tanggul baru di barat dan timur ke arah selatan. Akibat aliran tailing yang sudah sampai laut dan tak terkendali juga mengancam sungai baru, sungai Tipuka, hanya demi mengejar produksi 300 ribu ton bijih per hari.

Untuk diketahui, agar mendapatkan 1 gram emas, maka dibuang 2.100 Kg limbah batuan dan tailing, dihasilkan pula 5,8 Kg emisi beracun logam berat, timbal arsen, merkuri dan sianida, bisa dibayangkan bagaimana pengrusakan atas air dan lingkungan terjadi.

Bukan Cuma meracuni dan menjadikan sungai sebagai tempat pengendapan dan pembuangan limbah tailing, sejak 1991 hingga 2013, pajak dari pemanfaatan sungai dan air permukaan Freeport pun tak pernah dibayar. Menurut Pemerintah Provinsi Papua, keseluruhan tunggakan Freeport sebesar 32, 4 Triliun untuk pajak pemanfaatan air permukaan.

“Sayangnya dalam polemik ini, Pemerintah Indonesia dan Freeport sengaja mengabaikan fakta kehancuran dan kerusakan ruang hidup rakyat Papua, yang dirundingkan sebatas perubahan divestasi saham 51 persen, penetapan nilai pajak dan royalti baru, tak sebutir kalimat pun memperbincangkan tentang keselamatan rakyat dan alam Papua,” pungkas Johan.

Tags:

Berita Terkait