Serap Aspirasi Revisi UU KPK, Begini Pandangan Akademisi Universitas Nasional
Berita

Serap Aspirasi Revisi UU KPK, Begini Pandangan Akademisi Universitas Nasional

Penyadapan perlu diatur dalam UU tersendiri. Sedangkan SP3 tak diperlukan karena KPK sudah mengedepankan asas kehati-hatian dalam penyidikan dan penuntutan. KPK mestinya memaksimalkan peran dewan penasihat, bukan malah membentuk dewan pengawas.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus menyerap aspirasi dari kalangan akademisi terkait pembuatan draf Revisi Undang-Undang (RUU) No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini, penyerapan aspirasi digelar melalui seminar bertajuk “Urgensi Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” di Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selasa (28/2/2017).

Meski RUU KPK tidak masuk dalam Prolegnas 2017, sepertinya DPR terus menyerap aspirasi masukan dari kalangan akademisi. Sebab sebelumnya, DPR bersama pemerintah ketika bakal merevisi UU KPK kerap mendapat penolakan dari masyarakat. Alasannya, RUU KPK justru melemahkan lembaga anti rasuah itu.

Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang DPR Inosentius Samsul mengatakan isu penting dalam RUU KPK antara lain penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), pembatasan masa kerja serta perekrutan penyelidik dan penyidik independen.

Penyadapan memang menjadi bagian yang kerap menjadi sorotan masyarakat. Sebab penyadapan memasuki wilayah privat seseorang. Menurutnya waktu dimulainya hingga berakhirnya proses penyadapan perlu diatur. Begitu pula hasil penyadapan mesti tepat sesuai penyidikan perkara. Nah, setelah rampung penanganan perkara, hasil penyadapan mesti dimusnahkan.

“Jangan sampai penyadapan serampangan tanpa ada bukti yang cukup, dan harus ada izin dari dewan pengawas,” kata dia. Baca Juga: Pencabutan Revisi UU KPK dari Prolegnas Harus Melalui Prosedur

Menurutnya, melalui draf RUU KPK, setidaknya bakal dikaitkan dengan lembaga lain yang memiliki kewenangan penyadapan. Kepolisan, BIN, BNN, dan Kejaksaan misalnya. Bila usul sebelumnya kewenangan penyidikan KPK mendapat izin dari pengadilan, maka dalam draf yang sedang disiapkan hanya perlu mengantongi izin dari Dewan Pengawas. Menurutnya penyadapan dilakukan 14 hari setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas.

“Kalau Dewan Pengawas menjadi bagian KPK, tentunya memberikan kontrol terhadap apa yang dilakukan KPK. Kemudian menyusun kode etik,” katanya.

Terkait dengan kewenangan SP3, Samsul berpendapat hukum acara ini berlaku agar tidak terjadi pelanggaran. Menurutnya kasus hukum yang diproses KPK ketika pelakunya meninggal dunia, maka harus dihentikan penyidikannya. Oleh sebab itu, KPK layak mendapatkan kewenangan SP3.

Menanggapi Samsul, Guru Besar Hukum Pidana Unas, Prof Mohammad Askin tak sependapat dengan usulan dalam draf RUU yang sedang dibuat DPR. Kewenangan penyadapan yang diberikan negara melalui UU kepada KPK sebagai senjata ketika menangani perkara yang dikategorikan extraordinary crime. Kejahatan luar biasa, begitu masyarakat mengenal tindak pidana korupsi.

Melakukan tindakan penyadapan memang melanggar hak asasi manusia (HAM). Namun, melakuan korupsi terhadap keuangan negara jauh lebih melanggar banyak HAM. Itu sebabnya, penyadapan dalam penegakan hukum dibenarkan dalam rangka memberantas tindak pidana. Hal itu dikuatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.006/PUU-I/2003, Putusan MK No.012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan MK No.5/PUU-VIII/2010. Ketiga putusan itu menegaskan KPK tetap dibenarkan dalam melakukan penyadapan. Ia sependapat agar penyadapan diatur dengan UU tersendiri.

“Meski hal tersebut membatasi privasi seseorang, tetapi ada kepentingan yang lebih besar untuk melindungi HAM berupa terjadi kerugian keuangan negara yang diterima dari rakyat melalui pemungutan pajak,” ujarnya. Baca Juga: Ingat, Rencana Revisi UU KPK Hanya Ditunda Bukan Dibatalkan

Tak perlu SP3
Terkait dengan kewenangan SP3, penerbitan surat penghentian penyidikan banyak diwarnai kompromi antar pihak terlibat dalam penyelesaian kasus. Karena itu, yang melandasi KPK tidak diperbolehkan menerbitkan SP3 untuk mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Nah, KPK selama ini dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menandakan kasus yang ditangani telah mengantongi bukti yang cukup (kuat).  

“Dengan demikian SP3 tidak diperlukan dan dapat dipastikan bahwa kasus korupsi yang diajukan ke pengadilan optimis bahwa pengadilan akan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Idealnya penentuannya tetap melalui hakim dengan putusan yang seadil-adilnya, bukan dengan cara menerbitkan SP3,” kata dia.

Hakim Agung Adhoc Tipikor itu menunjuk putusan MK No.006/PUU-I/2003 dan putusan No.012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan KPK tetap sah untuk tidak berwenang mengeluarkan SP3 dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 40 UU KPK. Dengan tidak dapatnya KPK menghentikan proses penydikan dan penuntutan terhadap perkara yang ditangani, maka KPK diwajibkan mengedepankan asas kehati-hatian dalam menyidik perkara.

Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FISIP Unas, Prof Hanif Nurcholis menambahkan sejak dibentuknya KPK, lembaga anti rasuah menunjukan prestasinya dalam penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Ia menilai dalam pemberantasan korupsi, kelemahan tidak pada ketiadaan SP3 maupun penyadapan.

Menurutnya, berdasarkan Pasal 6 dan 8 UU KPK mengamanatkan pemberantasan korupsi dilakukan secara terpadu antar penegak hukum. Dengan begitu, pemberantasan korupsi diharapkan dapat terintegrasi antar lembaga penegak hukum.  “(Ini soal, red) bagaimana mengkoordinasikan  dan supervisi terhadap  lembaga penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan 8 UU 30 Tahun 2002,” ujarnya.

Dewan Pengawas rawan intervensi
Terkait dengan dewan pengawas, Askin menilai perlunya kajian mendalam. Menurutnya keberadaan dewan pengawas rawan menjadi pintu masuk untuk mempengaruhi atau intervensi terhadap kinerja KPK. Tak hanya itu, ini berpotensi menjadikan KPK tidak leluasa dari tekanan kekuasaan manapun.

Pembentukan KPK, menurutnya sebagai lembaga independen yang bebas dari tekanan apapun, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Ia yakin, dengan KPK menjadi lebih mandiri, setidaknya dapat melakukan penegakan hukum menjadi lebih baik. Terlebih, KPK telah memiliki dewan penasihat yang berfungsi memberikan nasihat dan masukan terhadap kinerja KPK.

KPK, mestinya memaksimalkan fungsi dan peran dewan penasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya ke komisoner KPK. Hal itu diatur dalam Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24 UU KPK. “Hemat saya, tim penasihat inilah yang perlu diberdayakan secara maksimal,” tukasnya.

Dosen Fakultas Hukum Unas, Azmi Syahputra mengatakan perlu dibentuknya lembaga pengawas lantaran tak adanya lembaga yang sempurna dalam menjalankan tugasnya. Ia menilai tak masalah ketika adanya lembaga yang melakukan pengawasan dalam rangka mengontrol kinerja KPK.

Namun, ia mewanti-wanti agar pemilihan terhadap anggota dewan pengawas dilakukan secara selektif. Setidaknya, pengawasan dilakukan secara independen pula tanpa adanya intervensi dari pihak penguasa terhadap proses penegakan hukum di KPK.

“Kita sebagai civitas akademik yang akan menilai semangat untuk merevisi UU KPK, apakah untuk meningkatkan peran dan fungsi KPK atau justru memperlemah peran dan fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi,” katanya.
Tags:

Berita Terkait