Rezim Perizinan Usaha Pertambangan, Bawa Perubahan Penting Bagi Negara
Berita

Rezim Perizinan Usaha Pertambangan, Bawa Perubahan Penting Bagi Negara

Jika Freeport menolak melakukan penyesuaian, maka salah satu pihak dalam Kontrak Karya 1991 dapat membawa sengketa ke Arbirtrase sebagaimana clause provisoire yang dipilih dan disepakati.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Kontrak Karya Freeport setelah disahkannya UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) sejatinya dipertaruhkan karena Undang-undang ini telah menghapus sistem Kontrak Karya bagi perusahaan pertambangan yang diganti dengan sistem izin usaha pertambangan. Artinya, rezim yang dipakai adalah rezim perizinan, bukan rezim kontrak. Kebijakan hukum mengarah pada rezim perizinan ini membawa perubahan penting.

Hal itu disampaikan Ketua Lakpesdam PBNU yang juga merupakan pengajar Hukum Bisnis Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Khamami Zada, dalam acara diskusi bulanan “Freeport: Tantangan Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Kedaulatan Nasional, Rabu (1/3), bertempat di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama(PBNU).

Perubahan penting yang dimaksud, menurut Khamami yakni: 1)dari aspek hubungan hukum, bersifat publik dengan menggunakan instrumen hukum administrasi negara, bukan hukum perdata; 2) dari aspek penerapan hukum dilaksanakan oleh pemerintah, bukan kedua belah pihak;3) tidak berlaku pilihan hukum, 4) sengketa diajukan ke PTUN, bukan arbitrase internasional, 5) hak dan kewajiban Pemerintah RI lebih besar;6) sumbernya adalah peraturan perundang-undangan, bukan kontrak;dan 7) akibatnya bersifat sepihak, bukan kesepakatan kedua belah pihak. (Baca Juga: Periksa Due Dilligence Freeport, Lihat Peluang Indonesia Menang di Arbitrase Internasional)

Menurut Khamami, UU Minerba memberikan arah yang jelas tentang keberlakuan Kontrak Karya. Pasal 169UU Minerbamenyatakan:(a) bahwa Kontrak Karya yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian dan (b) ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan.

Ketentuan Pasal 169 di atas sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan kepatutan. Dalam pengertian sebaliknya, jika bertentangan, maka perjanjian menjadi batal. (Baca Juga: PERADI Dukung Pemerintah Terkait Gugatan Freeport)

Namun demikian, menurut Khamami, dengan menggunakan asas pacta sunt servanda, maka Pemerintah RI tunduk pada asas mengikatnya perjanjian sehingga Pemerintah RI tidak bisa memaksakan secara sepihak untuk mengubah Kontrak Karya Freeport dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus, termasuk sejumlah isu strategis dalam Undang-undang ini, yaitu:
1. Luas wilayah dibatasi maksimal 100.000 hektar dan maksimal 25.000 hektar untuk wilayah operasi (Pasal 83).
2. Perpanjangan kontrak paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang masing-maisng 10 tahun. Pemegang izin operasi produksi yang telah memperoleh perpanjangan 2 kali harus mengembalikan wilayah operasinya kepada Pemerintah RI (Pasal 83).
3. Penerimaan negara dalam bentuk besaran royalty sebesar 4 persen untuk tembaga, 3,75 persen untuk emas, dan 3,25 persen untuk perak dari harga jual.
4. Kewajiban divestasi mulai berlaku setelah perusahaan berproduksi selama 5 tahun kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD atau badan usaha swasta nasional (Pasal 79 dan 112).
5. Kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dengan membangun pabrik pengolahan (smelter) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan pemurnian serta pemanfaatan mineral (Pasal 79, 102, 103, 104, 124).
6. Kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri (Pasal 141)

 
Dengan berlakunya UU Minerba tahun 2009, Kontrak Karya Freeport harus disesuaikan. Dengan kata lain, pada tahun 2010 sebagaimana amanat Undang-undang mestinya Kontrak Karya Freeport sudah harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan Undang-undang Minerba Tahun 2009. (Baca Juga: Freeport Pertimbangkan Gugat Indonesia ke Arbitrase Internasional)

“Tapi, hingga sekarang (tujuh tahun) belum ada perubahan Kontrak Karya Freeport,” kata Khamami.

Pilihan-Pilihan Penyelesaian
Penyesuaian Kontrak Karya merupakan amanat UU Nomor 4/2009. Freeport yang memegang Kontrak Karya 1991 terkena dampak dari pemberlakuan Undang-undang ini.Namun sayangnya, Freeport masih menolak melakukan penyesuaian dan meminta Pemerintah RI untuk konsisten dengan kontrak karya yang telah disepakati.

“Situasi bisa buntu jika tidak ada kesepakatan kedua belah pihak. Parahnya lagi, Kontrak Karya 1991 tidak mengatur ketentuan mengenai perubahan-perubahan kontrak sehingga menyulitkan posisi Pemerintah untuk memaksa Freeport untuk melakukan penyesuaian berdasarkan UU Minerba Tahun 2009,” ujar Khamami.

Jika Freeport menolak melakukan penyesuaian, maka salah satu pihak dalam Kontrak Karya 1991 dapat membawa sengketa ke Arbirtrasesebagaimana clause provisoire yang dipilih dan disepakati oleh para pihak dalam Pasal 21 Kontrak Karya tentang penyelesaian sengketa.

Sayangnya, clause provisoire dalam Kontrak Karya 1991 tidak menentukan arbitrase ad hoc atau arbitrase institutional dan juga badan arbitrase tertentu yang disepakati yang akan menyelesaikan sengketasehingga memungkinkan dilakukan kesepakatan baru di luar kontrak, yang disebut clause compromissoire.

NamunKhamami menambahkan, pada pasal 154 UU Minerba menyatakan bahwa Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Hal ini bisa menjadi dasar bahwa arbitrase yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa Kontrak Karya 1991 adalah badan arbitrase nasional, seperti BANI,” katanya.

Hal yang sama, di mana pilihan hukum yang digunakan tidak diatur dalam Kontrak Karya 1991 sehingga diperlukan clause compromissoire di luar kontrak untuk memilih hukum Indonesia. Pada prinsipnya, pilihan hukum adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa kontrak mereka.

Menurut Khamami, jika tidak disebutkan dalam kontrak, maka teori-teori Hukum Perdata Internasional dapat digunakan. Teori lex loci contractus menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasional adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak dibuat. Sebagai perkembangan dari teori ini, muncul teori lex loci solutionis, yakni hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah tempat di mana kontrak tersebut dilaksanakan.

Di sisi lain, ada teori The Proper Law of The Contract yang menyatakan bahwa the proper law dari suatu kontrak adalah sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, atau jika kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi yang terjadi.

Ada pula teori The Most Characteristic Connection yang menegaskan bahwa apabila para pihak dalam suatu kontrak internasional tidak menentukan sendiri pilihan hukumnya, maka akan berlaku hukum dari negara di mana kontrak yang bersangkutan memperlihatkan the most characteristic connection, yaitu prestasi yang besar, kuat, dan khas/spesifik.

Jika digunakan teori lex loci contractusdanlex loci solutionis, maka hukum Indonesia yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa, tapi jika teori The Proper Law of The Contract yang digunakan, maka kedua belah pihak harus bersepakat untuk menentukan pilihan hukum atau digunakan sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi yang terjadi.

“Jika teori The Most Characteristic Connectionyang digunakan maka perlu dirumuskan negara di mana kontrak yang bersangkutan memiliki prestasi yang besar, kuat, dan khas/spesifik,” pungkas Khamami.

Tags:

Berita Terkait