Walau Peluang Ada, Sidang HUM Terbuka Sulit Diwujudkan
Utama

Walau Peluang Ada, Sidang HUM Terbuka Sulit Diwujudkan

Terhalang oleh keterbatasan SDM, tumpukan perkara kasasi dan PK.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Diskusi Legal Update yang membahas kemungkinan sidang HUM terbuka, di Jakarta, Rabu (01/3). Foto: NEE
Diskusi Legal Update yang membahas kemungkinan sidang HUM terbuka, di Jakarta, Rabu (01/3). Foto: NEE
Dorongan agar pemeriksaan perkara Hak Uji Materiil (HUM) di lingkungan Mahkamah Agung dilakukan secara ‘terbuka’ – sebagaimana halnya pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi -- sudah lama muncul. Ide keterbukaan itu juga digaungkan sejumlah kalangan, bahkan melalui Mahkamah Konstitusi. Tetapi sampai sekarang gagasan itu sulit diwujudkan, bahkan mungkin suli direalisasikan dalam waktu dekat.

Koordinator Tim Asistensi Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung, Aria Suyudi dalam diskusi Legal Update yang diselenggarakan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Rabu (01/3) kemarin, menjelaskan setiap tahun ada sekitar 13.000 perkara yang ditangani Mahkamah Agung. MA adalah puncak peradilan dari empat lingkungan peradilan di bawahnya sehingga banyak perkara berlanjut ke tingkat kasasi atau peninjauan kembali (PK). Perkara HUM ada di bawah lingkungan peradilan Tata Usaha Negara (TUN).

Meskipun MA kini memiliki 47 orang hakim agung, tak semua bertugas menangani perkara HUM. Yang benar-benar terlibat hanya 7 orang hakim agung lingkungan TUN. Jika persidanganterbuka dilakukan secara terbuka, justru memakan waktu lebih banyak, dan berpotensi menurunkan kinerja penanganan keseluruhan perkara. (Baca juga: Pengujian Perkara HUM Terbuka Kandas).

“Kalau saya lihat, peluangnya pasti ada. Pertimbangannya perkara HUM ini cuma kurang dari 100 perkara setahunnya, padahal Mahkamah Agung ada 13.000 perkara, mereka dituntut perform,” kata Aria.

Aria menjelaskan hakim agung berkutat pada tumpukan perkara. Dalam satu hari hakim agung bisa menyelesaikan 5-6 perkara pada tahap pemeriksaan judex jurist. Jika diterapkan peradilan terbuka sebagaimana halnya di Mahkamah Konstitusi, ia khawatir, akan banyak menyita waktu.

Wakil Ketua Umum II DPP Ikadin, Susilo Lestari, berpendapat mengubah proses persidangan secara terbuka yang diikuti para pemohon judicial review di MA hanya bisa dilakukan dengan mengubah aturan HUM yang berlaku selama ini. Kuncinya adalah kehendak MA untuk menggelar sidang HUM secara terbuka. (Baca juga: Pemerintah Dukung Sidang HUM Bersifat Terbuka).

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSaKo) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari mengatakan salah satu problem hukum di Indonesia adalah paradigma hukum lama yang telanjur mengakar di sistem hukum Indonesia. Sistem hukum yang mengadopsi berbagai tradisi civil law dan common law telah menghasilkan sistem peradilan yang juga tidak terlalu konsisten dengan teori hukum. Pada awalnya MA mewarisi logika pengujian materiil dari tradisi peradilan common law. Proses judicial review yang dilakukanadalah bagian dari rechtsvinding (penemuan hukum) bersamaan dengan proses kasasi/PK.

Menurut Feri seharusnya sejak awal kewenangan judicial review dipusatkan pada satu lembaga saja yaitu Mahkamah Konstitusi. Sehingga MA hanya fokus pada perkara-perkara pidana, perdata, administrasi, dan militer. Hal ini karena ada perbedaan konsep yang digunakan dalam judicial review secara teoritis dengan konsep Mahkamah Agung di Indonesia yang menangani perkara secara judex jurist. “Kalau kemudian Mahkamah Agung mencoba menerima konsep judicial review, mestinya tidak ada alasan karena konsep ini adalah konsep peradilan yang terbuka,” jelasnya. (Baca juga: Sidang HUM Tertutup, Buruh ‘Gugat’ UU MA).

Feri berharap bahwa MA akan mengubah proses persidangan menjadi terbuka diikuti para pihak dalam perkara judicial review. “Jangan sampai hakim hanya membaca teks, dan merasakan berimajinasi dengan perasaan keadilannya terhadap teks tapi tidak mendengarkan pihak-pihak pencari keadilan, menurut saya tidak tepat lagi di era seperti sekarang ini,” tambahnya.

Peluang mungkin saja ada, tetapi kata Aria, belum saatnya dilaksanakan. “Kalau menurut saya, kita katakan saja masih belum saatnya.”
Tags:

Berita Terkait