Regulasi yang Harus Dipersiapkan Jelang Implementasi Automatic Exchange of Information
Utama

Regulasi yang Harus Dipersiapkan Jelang Implementasi Automatic Exchange of Information

Pemerintah perlu mempercepat penyusunan regulasi pendukung agar waktu 30 Juni 2017 tidak terlewati.

Oleh:
NANDO NARENDRA
Bacaan 2 Menit
Seminar persiapan Indonesia menghadapi AEoI. Foto: NNP
Seminar persiapan Indonesia menghadapi AEoI. Foto: NNP
Indonesia berkomitmen ikut dalam era keterbukaan informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) pada September 2018 mendatang. Namun, Indonesia tidak serta merta ikut jika persyaratan AEoI belum terpenuhi. Salah satunya pemenuhan perangkat hukum dalam negeri.

Direktur Perpajakan Internasional pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan perlu ada tambahan regulasi agar Indonesia dianggap layak mengikuti era keterbukaan informasi. Sebagai salah anggota dari Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose, Indonesia diwajibkan memenuhi regulasi domestik paling lambat 30 Juni 2017.

“Kita perlu ada tambahan aturan untuk lebih menguatkan semua itu,” kata John kepada Hukumonline di sela-sela acara Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta, Jumat (03/3).

John menambahkan, jika tak memenuhi persyaratan hingga akhir Juni 2017, Indonesia harus menerima konsekuensi ditetapkan sebagai negara dengan status fail to meet its commitment. DJP sendiri saat ini fokus menyelesaikan sejumlah regulasi yang dinilai menghambat implementasi keterbukaan informasi yang berkaitan dengan upaya pembukaan data nasabah untuk kepentingan pajak.

Misalnya, revisi UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU KUP). Salah satu substansi dalam UU KUP dinilai menghambat otoritas pajak karena hanya memiliki akses informasi perbankan yang terbatas.

“DJP diberikan power penuh untuk mengakses data atau informasi keuangan milik nasabah. Ini standar internasional, bukan untuk DJP saja. Katakan, (misalnya) Singapura juga begitu, ini dalam rangka menjalankan AEoI. Indonesia ini harus memenuhi standar minimum, kalau tidak, kami tidak diikutkan (dalam AEoI),” jelas John.

Pasal 35 UU KUP mengatur otoritas dimungkinkan untuk dapat mengakses data perbankan selama ada permintaan dari Menteri Keuangan sepanjang wajib pajak (WP) sedang dalam pemeriksaan, penyidikan atau penagihan. Artinya, jika wajib pajak tidak dalam pemeriksaan, penyidikan, atau penagihan, otoritas pajak tidak dapat mengakses data perbankan WP.

Sebetulnya, DJP telah menerbitkan regulasi untuk mengatasi hambatan itu, yakni melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.010/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PMK No. 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi. Pasal 3A Angka 7 aturan tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pertukaran informasi secara otomatis, nasabah secara sukarela memberikan persetujuan/ pernyataan/ surat kuasa/ instruksi tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk memberikan informasi kepada DJP melalui otoritas terkait.

“Jadi kita sekarang sedang fokus mem-follow up penyelesaian UU KUP. Sekarang sudah sampai di DPR. Ini akan kita jadikan lex specialis, nanti itu akan mengatur mengenai pelaksanaan keterbukaan informasi,” tambah John.

Tak hanya UU KUP, John menilai ada peraturan lain yang dinilai menghambat implementasi AEoI terkait aspek kerahasiaan perbankan, antara lain UU No. 10 Tahun 1998  tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, lalu UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan UU No. 21 Tahun 2008  tentang Perbankan Syariah. Misalnya, Pasal 44A UU Perbankan mengatur akses terhadap data perbankan dapat dilakukan selama ada permintaan tertulis dari Menkeu dengan mencantumkan nama pejabat pajak, nama dan nomor rekening nasabah, maupun alasan permintaan.

Sebagai solusinya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 4 Desember 2015 menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 25/POJK.03/2015 Tahun 2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Melalui aturan ini, LJK wajib menyampaikan laporan kepada otoritas pajak berupa informasi nasabah asing terkait perpajakan untuk diteruskan kepada otoritas negara mitra atau yurisdiksi mitra.

“Dari pihak perbankan sudah mengatakan, pada waktu dia (nasabah) isi formulir baik di bank, asuransi, pasar modal, atau perusahaan jasa keuangan lainnya. Mereka (nasabah) membuat pernyataan bahwa data mereka siap untuk di pertukarkan atau dibuka untuk tujuan misalnya yang diminta pemerintah,” kata John.

Dikatakan John, selain melakukan revisi atas empat undang-undang diatas, ada opsi dari pemerintah untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai payung hukum. Sejauh ini, Perppunya masih dibahas. Fokusnya mengatur penerapan AEoI terkait nasabah khusus Warga Negara Asing (WNA). Lantas apakah era AEoI ini tidak berlaku buat Warga Negara Indonesia (WNI)?

John menjelaskan, AEoI memang hanya untuk nasabah asing. Sementara, untuk keterbukaan informasi nasabah domestik, akan dibuat regulasi tersendiri yakni mengenai BEPS (Base Erosion and Profit Shifting). Aturan itu masih dalam tahap perancangan regulasi. Mengenai waktu terbitnya, John belum bisa menceritakan. Namun yang pasti, aturan itu disebut-sebut akan terbit dalam waktu yang tidak begitu lama lagi.

“Jadi jangan kita membuat celah sehingga kita tidak diikutkan. Semua masyarakat harus mendukung. Kita perlu ini (AEoI), supaya program-program pemerintah seperti Nawacita, Infrastruktur, bisa dibiayai oleh rakyatknya sendiri. karena kapasitas pajak kita besar sekali apalagi dengan adanya keterbukaan, semuanya menjadi kelihatan,” Tutup John.

Anggota Komisi XI DPR, Andreas Eddy Susetyo mengatakan Indonesia jika dinilai dari segi ketersediaan informasi, akses terhadap informasi, serta mekanisme pertukaran informasi mendapat rating “partially compliant”. Penilaian itu berangkat dari temuan Global Forum dimana otoritas pajak Indonesia hanya memiliki akses informasi perbankan yang terbatas.

“Di Indonesia ada undang-undang yang dianggap akses informasi itu tidak bisa berjalan secara otomatis. Artinya, kalau kita ingin meminta data nasabah kita yang ada di luar negeri, itu mereka bisa menolak permintaan kita. Padahal kepentingan kita yang jauh lebih besar daripada mereka,” kata Eddy.

Eddy menambahkan, pertemuan G-20 pada Juli 2017, OECD akan memberikan daftar negara-negara yang dianggap tidak koperatif (non-cooperative jurisdiction) yang mana dinilai dari tiga kriteria. Pertama, negara tersebut mendapat rating partially compliant maupun non-compliant saat peer review assessment. Di sini, dari kriteria itu Indonesia ditetapkan sebagai negara yang tidak kooperatif.

Kriteria kedua adalah tidak berkomitmen mengimplementasikan AEoI berdasarkan formatCommon Reporting Standard (CRS) paling lambat tahun 2018. Di sini, Indonesia telah berkomitmen di tahun 2018, hanya saja belum memiliki pedoman dan implementasi CRS. Kriteria ketiga, negara harus menandatangai Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC). Indonesia sendiri untungnya telah meratifikasi konvensi tersebut.

Bila ditelisik, komitmen Indonesia untuk mengimplementasikan AEoI telah dilakukan sejak Indonesia bergabung dalam Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose pada September 2009. Sebelum bergabungnya dalam Global Forum ini, G-20 Leaders’ London Summit telah mendeklarasikan bahwa era kerahasiaan perbankan untuk kepentingan perpajakan telah berakhir. Semboyannya berbunyi “The era of bank secrecy is over”.

Setahun kemudian, Amerika Serikat (AS) menerbitkan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). Penerbitan FACTA itu sendiri dilatarbelakangi lantaran makin meningkatnya penggelapan pajak secara global. Tepat pada November 2011, Indonesia yang diwakili Menteri Keuangan menandatangani Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC). Pasal 6 MAC mengatur pelaksanaan mengenai keterbukaan informasi secara otomatis. Dua tahun berikutnya, tepatnya September 2013, G-20 dan OECD menyatakan komitmen bersama untuk standar pertukaran informasi secara otomatis.

Dalam pertemuan Leaders’ Saint Petersburg Summit tersebut, dideklarasikan dukungan atas pelaksanaan AEoI baik secara bilateral maupun multilateral. Februari tahun 2014, dibuat standar pertukaran informasi secara otomatis yang disebut Common Reporting Standard (CRS) yang disepakati G-20 dan OECD. Pada bulan Juli, OECD kemudian merilis full version standar pertukaran informasi dalam Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) dan CRS. Oktober 2014, Indonesia meratifikasi MAC melalui Perpres Nomor 159 Tahun 2014 tentang Pengesahan Convention on MAC (Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan).

Sebulan kemudian, G-20 Leaders’ Brisbane Summit mendeklarasikan komitmen untuk mengimplementasikan AEoI  secara resiprosikal berdasarkan CRS mulai tahun 2017 atau tahun 2018, termasuk Indonesia. Awal tahun 2015, tepatnya pada Januari, Indonesia menyiapkan instrumen ratifikasi MAC kepada Coordinating Body (CB) Secretariat MAC di Paris, Perancis. Lima bulan berselang atau pada Juni tahun yang sama, Menteri Keuangan RI menandatangani MCAA yang mana dalam Annex bagian F mencantumkan bahwa mulai September 2018, Indonesia berkomitmen memulai AEoI.

Pada 31 Mei 2017, Indonesia dapat dipilih sebagai negara atau yurisdiksi mitra lantran telah memiliki perangkat hukum penunjang pertukaran data. Regulasi yang dimaksud itu adalah Peraturan OJK (POJK) Nomor 25/POJK.03/2015 Tahun 2015 dan Rancangan Surat Edaran OJK (RSEOJK) tentang AEoI/CRS. Saat ini, Indonesia diberikan kesempatan hingga paling lambat 30 Juni 2017 untuk memenuhi ketersediaan perangkat hukum domestic. Bila tidak bisa memenuhi, Indonesia akan ditetapkan sebagai negara dengan status “Fail to meet its commitment”.

“Saya lihat, Indonesia harus bisa memenuhi ketentuan internasional tersebut supaya bisa dianggap sebagai negara kooperatif. Bukan hanya KUP, Bank, Perbankan Syariah, dan Pasar Modal. sehingga bisa secara regular bisa serahkan informasinya,” kata Eddy.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadadmenegaskan bahwa OJK mendukung pemerintah dalam implementasi AEoI. Salah satu bentuk dukungan OJK adalah dengan menyusun regulasi teknis untuk implementasi AEoI agar LJK dapat menyampaikan data nasabah untuk dipertukarkan informasinya dalam rangka pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra.

“OJK sebagai otoritas lembaga jasa keuangan, mendukung implementasi AEOI sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan saat ini,” kata Muliaman.

Muliaman menambahkan, OJK sedang menyiapkan ketentuan pelaksanaan lebih lanjut berupa Surat Edaran OJK (SEOJK)yang khusus mengatur mengenai AEoI, antara lain mengatur mengenai tata cara pelaksanaan uji tuntas (due diligence) kepada nasabah asing dan tata cara penyampaian informasi keuangan nasabah asing kepada otoritas pajak.Muliaman menyebut, Rancangan SEOJK ini akan terbit paling lambat pada bulan April mendatang.

Sebelumnya, OJK juga telah menerbitkan POJK Nomor 25/POJK.03/2015. Lalu, OJK juga telah membangun sistem pelaporan yang diberi nama sistem penyampaian nasabah asing atau “SiPINA” sebagai sarana untuk penyampaian informasi keuangan nasabah asing. Sistem ini pada awalnya digunakan untuk mendukung implementasi Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA)yang kemudian dikembangkan untuk pelaporan AEoI.

“Sistem ini sudah selesai kami bangun pada akhir tahun 2016 dalam rangka mendukung implementasi FATCA. Sehingga segera setelah penandatanganan Intergovernmental Agreement (IGA) dengan Pemerintah Amerika Serikat, Lembaga Jasa Keuangan dapat memenuhi kewajiban pelaporan sesuai dengan tenggat waktu sesuai IGA,” paparnya.

Perbedaan Antara FACTA dengan AEoI
KriteriaFATCAAEoI-CRS
PerjanjianIntergovernmental Agreement/ IGA (bilateral) MCAA (multilateral atau bilateral)
Metode pertukaran Antara Indonesia dengan Amerika Serikat Antara Indonesia dengan banyak negara
Sanksi terhadap Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Pengenaan withholding tax sebesar 30% dari pemasukan yang bersumber dari AS; dan
Sanksi sesuai POJK No. 25/POJK.03/2015
Sanksi POJK No.25/POJK.03/2015
Penentuan nasabah pre-existing vs. nasabah baru Nasabah pre-existing: nasabah pemilik rekening sampai dengan tanggal 30 Juni 2014.
Nasabah baru: nasabah pemilik rekening mulai dari tanggal 1 Juli 2014.
Nasabah pre-existing: nasabah pemilik rekening sampai dengan tanggal 30 Juni 2017
Nasabah baru: nasabah pemilik rekening mulai dari tanggal 1 Juli 2017
Rekening yang dilaporkan (Reportable Account)U.S Person.
Non-Financial Foreign Entity(NFTE) Pasif
Non-participating Foreign Financial Institution
Reportable Jurisdiction Person.
Non-Financial Entity(NFE) pasif dengan controlling
Investment Entityyang dianggap sebagai NFE pasif
Thresholdsaldo/nilai rekening untuk nasabah yang dikecualikan dari pelaporan Rekening dengan saldo ≤$50,000; atau khusus untuk kontrak anuitas atau kontrak dengan nilai tunai adalah yang bersaldo dengan ≤$250,000 Tidak ada.
Kewajiban melaporkan nasabah yang tidak kooperatif Ada. Tidak ada.
Kewajiban pelaporan atas rekening yang ditutup Harus dilaporkan saldo atau nilai pada saat penutupan. Hanya status bahwa rekening telah ditutup saja yang dilaporkan tanpa saldo atau nilai pada saat penutupan.
Penunjukkan Responsible Officer di LJK Ada. Tidak ada.
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, Maret 2017.

Terkait dengan ketentuan dalam UU Perbankan maupun UU Pasar Modal yang mana mengatur kerahasiaan bank dan kerahasiaan rekening nasabah di Pasar Modal, Muliaman mengatakan OJK berniat untuk menyelesaikan kendala tersebut. Menurutnya, akan dilakukan revisi atas ketentuan dalam kedua Undang-undang tersebut. Draf revisi UU Perbankan pun sudah masuk Prolegnas.(Baca juga: DPR Bakal Kebut Pembahasan RUU Prioritas Prolegnas 2017).

Dikatakan Muliaman, OJK bersama Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia telah bertemu dengan Presiden untuk mencari jalan keluar jangka pendek atas kendala hukum yang ada. Pada pertemuan itu, disepakati kemungkinan penerbitan Perppu.

Muliaman berharap, penerapan AEoI akanmemberikan banyak manfaat bagi Indonesia, antara lain pemerintah dapat memperoleh informasi keuangan wajib pajak Indonesia yang masih menanamkan dananya di negara atau yurisdiksi mitra secara resiprokal. 
Tags:

Berita Terkait