DPR Terkorup dalam Survei Persepsi Masyarakat 2017
Utama

DPR Terkorup dalam Survei Persepsi Masyarakat 2017

Ada beberapa faktor yang penyebab. Keterlibatan anggota legislatif dalam kasus-kasus korupsi dan kinerja lembaga legislatif.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Peluncuran hasil Global Corruption Barometer 2017 di Jakarta, Selasa (7/3). Foto : RES.
Peluncuran hasil Global Corruption Barometer 2017 di Jakarta, Selasa (7/3). Foto : RES.
Transparency International (TI) mencoba memotret kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah di berbagai negara, termasuk negara-negara asia pasifik melalui persepsi dan pengalaman masyarakat. Potret tersebut tergambar dalam survei opini publik yang dinamakan "Global Corruption Barometer" (GCB).

Berdasarkan hasil GCB 2017 yang dilansir TI, polisi dianggap masyarakat negara asia pasifik sebagai lembaga terkorup. Hasil ini sedikit berbeda dengan survei GCB 2017 yang dilakukan di Indonesia. Meski polisi masih dipersepsikan masyarakat sebagai salah satu lembaga yang korup, tetapi yang menduduki peringkat teratas adalah DPR.

Sekretaris Jenderal Transparency Internasional Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan, masyarakat Indonesia mempersepsikan lembaga legislatif sebagai lembaga terkorup, setidaknya selama tiga tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pemberitaan kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif di media.

Kemudian, faktor lainnya adalah kinerja lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi utamanya (legislasi, anggaran, pengawasan) maupun kinerja pemberantasan korupsi di internal mereka yang tidak maksimal. Bahkan, perkembangan terakhir, DPR justru getol merevisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK). Baca Juga: Presiden Tak ‘Happy’ IPK Hanya Naik 1 Poin, Korupsi Sektor Swasta Mulai Dibidik
Objek Tahun 2013 Tahun 2017
DPR 89 % 54 %
Birokrasi 79 % 50 %
DPRD - 47 %
Ditjen Pajak - 45 %
Polisi 91 % 40 %
Kementerian - 32 %
Pengadilan 86 % 32 %
Pengusaha 54 % 25 %
Tokoh agama 31 % 7 %
Sumber : TII

Walau begitu, Dadang menjelaskan, secara umum, GCD 2017 menggambarkan optimisme masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah di tengah-tengah meningkatnya eskalasi kasus-kasus korupsi. Apalagi, model kasus korupsi sekarang bukan lagi korupsi administratif, melainkan grand corruption atau political corruption.

Ia mencontohkan, salah satunya penanganan kasus korupsi e-KTP. Upaya-upaya tersebut dipercaya masyarakat sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, ada kekhawatiran masyarakat jika mereka ikut berperan dalam pemberantasan korupsi, akan ada konsekuensi, seperti kriminalisasi.

“Ada kriminalisasi, menyempitnya ruang ekspresi. Ini jadi tugas kita bersama untuk mengingatkan pemerintah bahwa keterbukaan politik, ruang ekspresi publik tetap harus dijamin karena itu akan memperkuat mempercepat upaya pemberantasan korupsi yang dijalankan (pemerintah),” katanya dalam peluncuran GCB 2017 di Jakarta, Selasa (7/3).

Kekhawatiran masyarakat ini tercermin dari hasil survei GCB 2017. Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko mengungkapkan, meski banyak masyarakat Indonesia yang menolak suap, yaitu sekitar 33 persen, tetapi hanya 11 persen masyarakat yang memilih “melaporkan korupsi” sebagai bentuk partisipasi dalam pemberantasan korupsi.

Padahal, menurut Wawan, 78 persen responden setuju bahwa masyarakat biasa dapat berperan dalam melawan korupsi. Akan tetapi, 38 persen responden merasa takut akan konsekuensi melaporkan korupsi, 14 persen tidak tahu dimana tempat melapor, 12 persen tidak tahu bagaimana cara melapor, dan 12 persen merasa tidak ada efeknya melaporkan korupsi.

Hal ini bertolak belakang dengan hasil survei GCB 2017 di asia pasifik. Dalam upaya pemberantasan korupsi, sebagian besar masyarakat di asia pasifik memilih berpartisipasi dengan cara "melapor". Sebab, cara ini dipandang sebagai cara yang paling efektif bagi masyarakat untuk berperan dalam pemberantasan korupsi. Baca Juga: 3 Catatan Jokowi untuk Tingkatkan Indeks Persepsi Korupsi

Karena itu, sambung Wawan, TII merekomendasikan akses dan jaminan terhadap pelapor, saksi, dan korban, khususnya pada kasus-kasus korupsi. Mengenai DPR yang dianggap masyarakat sebagai lembaga terkorup, TII merekomendasikan agar lembaga legislatif (DPR dan DPRD) melakukan upaya lebih keras dalam menegakan integritas dan nilai-nilai antikorupsi.

“(TII juga merekomendasikan) Reformasi birokrasi oleh pemerintah (pusat dan daerah) menjadi ujung tombak bagi penyediaan pelayanan publik yang prima kepada masyarakat. Inisiatif seperti Saber Pungli, bisa menjadi inovasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama dalam memberantas kasus korupsi di Indonesia," ujarnya.

Untuk diketahui, survei GCB 2017 dilakukan untuk memotret kinerja pemberantasan korupsi berdasarkan pendapat dan pengalaman masyarakat di masing-masing negara dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Survei dilakukan selama Juli 2015 sampai Januari 2016 oleh TI kepada hampir 22.000 responden di 16 negara asia pasifik.

Survei berbasis pada responden rumah tangga dengan rentang usia 18 sampai 55+ tahun. Metode survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka dan phone call. Ada lima indikator GCB, yaitu tingkat korupsi, kinerja pemerintah, korupsi di lembaga negara, suap layanan publik, dan masyarakat melawan korupsi.

Di Indonesia sendiri, survei dilakukan terhadap 1.000 responden yang tersebar secara proporsional di 31 provinsi. Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara tidak dilakukan survei karena kendala waktu pengambilan data. Responden diwawancara pada medio 26 April 2016-27 Juni 2016 dengan batasan pada pengalaman dan pengetahuan dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Tags:

Berita Terkait